Dalam hari-hari terakhir ini cuaca di langit Istana Hinggiloka semakin tidak menentu. Cerah dan buruk saling berganti dengan cepat. Sebagian kecil penghuninya sudah paham bahwa ada campur tangan pihak tertentu pada cuaca itu sebagai cuaca kiriman. Namun sebagian besar tampak bingung, bertanya-tanya, apa gerangan sesungguhnya yang sedang terjadi di sini.
Sebetulnya Maharaja Mahagraha bisa saja mengumumkan bahwa cuaca yang terjadi adalah cuaca kiriman. Juga mengumumkan bahwa Pangeran Arcapada mempunyai kemampuan mengendalikan cuaca. Namun Panji Pataka memberi pertimbangan lain, bahwa kemampuan Sang Pangeran belum menetap, masih berubah-ubah kekuatannya. Jika semua orang tahu kemampuan Sang Pangeran saat sekarang ini, dikhawatirkan ada pihak-pihak yang mengail di air keruh, memanfaatkannya untuk kepentingan tertentu yang merugikan kerajaan.
Dalam keadaan ini Menteri Druwiksa cukup diuntungkan. Menteri Kearifan dan Kebijaksanaan ini leluasa berkoar-koar bahwa bumi memang sedang mengamuk. Bahwa di tempat lain mengalami hal serupa, laut dan gunung juga mengamuk. Ia terus menyebarkan pemahaman bahwa cara mengatasi semua ini adalah dengan penyelenggaraan upacara-upacara pemujaan kuno, yaitu Phujanbantala, Phujanbaruna, dan Phujanprabata; pemujaan terhadap bumi, laut, dan gunung.
Pengaruh Menteri Druwiksa memang semakin meningkat. Berdasarkan kabar yang dikirimkan melalui burung-burung merpati, beberapa Kerajaan Bagian tengah bersiap-siap untuk menyelenggarakan upacara-upacara tadi. Setelah Kerajaan Tanjungnawa dengan upacara Phujanbaruna-nya dan Kerajaan Kelateng Alas dengan upacara Phujanprabata-nya, Kerajaan Ngesti Ageng menyusul pula dengan persiapan upacara serupa. Maka di dalam Istana Hinggiloa terbentuk sekumpulan orang yang mendukung gagasan Menteri Druwiksa. Mereka terdiri dari pegawai istana biasa hingga sejumlah menteri. Mereka mendesak agar upacara-upacara itu segera dilaksanakan. Ini bisa menjadi masalah tersendiri.
Sementara itu penyelidikan perkara pembunuhan terhadap Rahajeng Kanthilsari belum memperoleh kemajuan. Dari sejumlah besar penghuni istana yang diperiksa belum ditemukan titik terang, pihak mana yang bertanggungjawab atas peristiwa itu. Diperkirakan wanita pesohor tersebut memang dibunuh oleh makhluk bernama Dindang Patrem, hanya saja belum diketahui siapa dalangnya. Menurut Menteri Druwiksa, Jeng Kanthil adalah salah satu tokoh penting yang mendukung upacara-upacara pemujaan kuno itu. Maka dalangnya pastilah orang-orang yang tidak setuju dengan upacara-upacara tersebut. Sebuah tuduhan yang gegabah. Namun dalam keadaan serba tak menentu seperti saat itu, tuduhan tadi terasa masuk akal.
Rahajeng Kanthilsari sendiri telah dimakamkan di tempat pemakaman umum ibukota. Mantan suaminya tidak hadir dalam acara pemakaman itu. Satu-satunya kerabatnya yang masih hidup adalah pamannya. Tapi ia juga tidak datang karena si Paman itu sudah tua dan sakit-sakitan, dan dia tinggal cukup jauh di Kerajaan Ngesti Ageng, kerajaan asal almarhumah.
Selanjutnya mengenai kecelakaan yang menimpa Pandan Selasih. Kecelakaan itu telah membuka jati diri Lasih sebagai seorang Jalmatiron, atau manusia buatan, yang berdarah hijau. Timbul pertanyaan, pihak mana yang telah membuatnya?
Secara nalar, yang paling mungkin melakukan rekayasa pembuatan Jalmatiron adalah Ludira Mahalaya. Sebab, di Moksa Praja dahulu, Jalmatiron yang berupa kembaran Pangeran Arcapada juga hasil rekayasa yang dilakukan olehnya. Akan mudah baginya untuk menciptakan 'seorang Pandan Selasih'. Namun sayang tak ada bukti bahwa Ludira Mahalaya-lah yang telah melakukannya. Isu bahwa Pandan Selasih adalah mata-mata Ludira Mahalaya juga tidak bisa dijadikan pegangan untuk mengaitkan Lasih dengan lelaki itu, karena lagi-lagi belum ada bukti.
Dengan sedikitnya petunjuk tentang Pandan Selasih sebagai seorang Jalmatiron, Maharaja memutuskan bahwa hanya orang-orang tertentu saja yang diberitahu akan hal ini. Para lare winih yang lain, untuk sementara ini termasuk yang belum diberitahu, karena kenyataan ini bisa membuat mereka amat terguncang. Jika diberitahu, dikhawatirkan perhatian mereka akan terpecah. Mengingat sekarang ini mereka tengah diperlukan dalam keadaan bersiaga.
Hal-hal di atas adalah hasil pertemuan antara Maharaja Mahagraha, Mahapatih Parasara, Panglima Turangga Seta, serta Panji Pataka. Hadir juga Pangeran Arcapada atas permintaan Maharaja Mahagraha sendiri.
Sebetulnya ada beberapa dugaan penting lainnya, namun tidak terlalu dibicarakan dalam pertemuan itu karena dapat mengeruhkan suasana. Misalnya, bahwa ada kemungkinan bukan hanya Pandan Selasih seorang sebagai Jalmatiron di Istana Hinggiloka, namun bisa saja ada sejumlah Jalmatiron lain yang berkeliaran. Pemikiran semacam ini memang bisa memperburuk suasana sehingga hanya hal-hal yang sudah nyata saja yang dibahas dalam kesempatan tersebut.
***
Selanjutnya: Bagian 70 - PANGERAN ARCAPADA BERTANYA
KAMU SEDANG MEMBACA
HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]
FantasiLasih, anak perempuan berusia sepuluh tahun, diundang ke Istana Hinggiloka oleh Maharaja Mahagraha. Di sana ia diperlakukan istimewa oleh Sang Maharaja, melebihi anak-anak lain yang juga diundang. Maka beredar selentingan Lasih sesungguhnya anak kan...