Bagian 73 - SIASAT MIJIL

42 3 0
                                    

Rombongan pengungsi terus melangkah sesuai arahan Prajurit Ketua Regu.

"Oh, lihat di depan sana!" seru Menteri Druwiksa. "Ada awan yang menggeliat-geliat. Aneh sekali, ya?"

Para pengungsi memandang ke arah yang ditunjukkan Menteri Kearifan dan Kebijaksanaan itu. Memang di depan sana, di arah hutan utara, terlihat gumpalan awan yang tampak aneh. Menggeliat-geliat, berwarna kelabu hitam.

"Oh itu... itu bukan awan!" seru Pangeran Arcapada. "Itu gerombolan burung Dok Wisanaka, Dok kuku-beracun. Demi Yang Mahakuasa, mereka terbang ke arah kita!"

Anak laki-laki itu teringat peristiwa di Telaga Muara, di balik air terjun Grojogan Sungsang, beberapa waktu lalu.

"Benarkah itu burung-burung Dok Wisanaka?" sahut Kinanthi Maheswari dan beberapa orang. Mereka berganti-ganti memandang Pangeran Arcapada dan pada burung-burung yang terbang mendekat.

"Persis sekali," kata Sang Pangeran. "Waktu itu, kami lare winih kelompok pertama tengah berlatih silat di Telaga Muara. Dan kami di serang oleh burung-burung itu. Hati-hati, tajinya sangat panjang dan beracun!"

Orang-orang saling pandang cemas.

"Bagaimana kalian mengatasinya di sana?" tanya Kinanthi Maheswari lagi.

"Kami tidak melakukan apa-apa," sahut Pangeran Arcapada. "Waktu itu nyaris semua lare winih tumbang karena keracunan akibat goresan taji dan cakar mereka. Lalu, tiba-tiba, gerombolan burung Dok itu pergi begitu saja meninggalkan kami yang terluka, seperti ada yang memerintah mereka."

Tanpa membuang waktu lagi, orang-orang segera berjaga-jaga. Para prajurit pengawal menghunuskan senjata. Juga para lare winih, mereka segera malih rupa dan bersiaga.

Pangeran Arcapada terlihat menggerak-gerakan kedua tangannya untuk menciptakan angin. Namun angin itu berembus lemah. Sang Pangeran segera sadar bahwa ia dalam keadaan lelah setelah beraksi di sekitar Bangsal Atmaja tadi. Tenaganya belum pulih benar. Ketika ia memandang para lare winih yang lain, terlihat wajah-wajah mereka juga amat letih. Tenaga mereka pun sudah cukup terkuras.

Ternyata hal itu disadari oleh beberapa orang, seperti Kinanthi Maheswari, Nyai Kapti, dan Kesuma Gandawangi.

"Para lare winih terlihat sudah lelah sekali," ujar Kesuma Gandawangi.

Tiba-tiba Kinanthi Maheswari mengusap perut sambil meringis.

"Menteri Kinanthi.... Apakah... apakah Anda merasa akan melahirkan?" ujar Nyai Kapti sambil memegang pundak wanita hamil itu.

"A-aku harap... t-tidak sekarang," gagap Kinanthi Maheswari. "Waktunya amat tidak tepat."

Suara kepakan sayap burung-burung Dok Wisanaka terdengar bergemuruh. Mereka telah tiba di sekitar rombongan pengungsi itu. Para prajurit dan lare winih telah siap menyambutnya.

Tepat ketika burung-burung Dok itu mulai menukik turun, terdengar suara nyaring yang mencegahnya.

"Jangan! Jangan turun!! Terbang lagi kalian!!"

Suara itu kedengarannya tak asing bagi para lare winih. Mereka berpaling ke sumber suara. Tampak seorang anak perempuan berbaju merah-merah, kepalanya dibebat dengan kain berwarna merah pula. Ia tengah mengacungkan jarinya kepada burung-burung Dok Wisanaka sambil berteriak-teriak.

Anak perempuan itu adalah Pandan Selasih. Ia berdiri berdampingan dengan Ki Waskita, si Kepala Tabib. Rupanya Pandan Selasih ikut serta mengungsi bersama rombongan tabib Griya Tamba. Tiga orang prajurit pengawal Lasih terlihat berdiri di belakang mereka.

HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang