Anak-anak tidak membahas lebih lanjut tentang dengkuran naga itu. Mereka terus bergerak, namun setelah beberapa saat berjalan menyusuri lorong, Laskar Lare Winih kembali mendapati sumbatan. Batu-batu lonjong itu menggunung, menyumbat lorong hingga mencapai langit-langitnya. Gundukan itu menghalangi jalan mereka sebelum tiba di ujung lorong buntu tersebut.
"Aku yakin, ujung lorong buntu inilah yang kita cari," kata Pandan Selasih.
"Lalu apa yang akan kita lakukan, Lasih?" ujar Laksmi Larasati.
"Ayo kita bongkar sumbatan ini," sahut Lasih mantap. "Kita singkirkan tumpukan batu-batu ini."
Terdorong oleh rasa penasaran, tanpa diminta dua kali, para lare winih mulai menyingkirkan batu-batu tadi satu demi satu. Mereka bekerja dengan semangat tinggi. Wajah-wajah mereka sampai banjir peluh dibuatnya.
Namun sumbatan itu ternyata cukup tebal. Sampai beberapa lama kemudian mereka belum berhasil menembusnya. Akhirnya mereka duduk-duduk karena kelelahan.
"Kurasa percuma saja usaha kita. Mungkin saja lorong ini benar-benar buntu," keluh Arumdalu.
Para lare winih saling pandang.
"Kita tak boleh menyerah. Mungkin tinggal sedikit lagi kita bisa menembusnya," kata Pandan Selasih. "Kita belum mengerahkan segala kekuatan, bukan?"
"Apa maksudmu?" tanya Andhaka.
"Ingat, kita adalah lare winih yang mempunyai kekuatan khusus. Kita teruskan menembus lorong ini, namun kali ini dibarengi kekuatan khusus itu," sahut Pandan Selasih.
Seperti ada tambahan tenaga baru, dengan mata berbinar mereka bersemangat untuk kembali meneruskan pekerjaan itu.
Mereka berdiri diam. Setelah memusatkan pikiran beberapa saat, tubuh sejumlah lare winih mulai bergetar-getar, bergelombang, melumer, berlanjut malih rupa atau berubah rupa. Jari-jari tangan Andhaka membesar seukuran pisang. Jari-jari itu merah membara mengepulkan asap. Sementara itu Dibal berubah menjadi seekor singa muda. Ia mengaum, memperlihatkan taring-taringnya yang tajam. Kuku-kuku runcing mencuat dari kaki depannya. Di bagian lain, Tobil malih rupa menjadi seekor biawak dengan ekornya yang bercabang dua. Lalu Giras, jemari kaki dan tangannya memanjang menjadi cakar yang tampak setajam pedang. Kemudian Giwangkara berubah menjadi seekor kalong besar. Sedangkan Arumdalu terlihat menjulurkan kedua tangannya yang memanjang menjadi sulur-sulur berwarna hijau. Untuk yang lainnya; Pandan Selasih, Mayang Srini, Laksmi Larasati, dan Mijil, serta Pangeran Arcapada memang tidak malih rupa, karena mereka memiliki kemampuan tersendiri tanpa perlu mengubah wujud badan mereka.
Prajurit pengawal Lasih terbelalak dan terpana menyaksikan perubahan-perubahan itu. Ia sampai mundur beberapa langkah saking kagetnya. Dibal, dengan jahilnya, malah mengaum keras pada si Prajurit. Maka sontak prajurit itu terlonjak dan wajahnya memucat.
Selanjutnya Laskar Lare Winih itu kembali menyingkirkan batu-batu telur tadi. Giras, yang bercakar panjang, menggaruk tumpukan batu hingga berguguran. Lalu Andhaka, dengan telapak tangannya yang besar, meraup batu-batu itu dan menyisihkannya ke tepi lorong. Dibal, Tobil, dan Arumdalu melakukan hal yang sama seperti Giras, menggaruk tumpukan batu. Yang lainnya bekerja mengikuti Andhaka, yaitu menyisihkan batu-batu ke tepi lorong. Mereka semua melakukannya secara bergiliran karena lorong itu memang tidak terlalu lebar. Sesuai dengan perkiraan, mereka bisa bekerja lebih cepat dibanding sebelumnya.
"Nah! Bagian atas sudah terbuka!" seru Pandan Selasih senang. "Ayo, diperlebar lagi, supaya kita bisa melewatinya."
Tumpukan batu itu kembali berguguran dan segera disisihkan.
"Ayo, sedikit lagi. Sedikit lagi kita bisa melewatinya," ujar Pandan Selasih, terus memberi semangat.
Akhirnya terbukalah lubang yang cukup besar di atas tumpukan batu itu. Sesuai arahan Lasih, Laskar Lare Winih itu supaya kembali ke wujud semula. Maka badan-badan mereka kembali bergelombang, melumer, lalu kembali menjadi tubuh seperti sediakala. Kemudian satu per satu mereka melewati bagian yang terbuka di dekat langit-langit itu, dan menyeberang ke lorong di depan mereka.
"Kalian semua hebat sekali," puji Pandan Selasih setelah semuanya menyeberang. "Dengan bekerjasama, kita bisa melewati rintangan."
Pujian seperti itu sebetulnya cukup basi, namun tampaknya para lare winih senang menerimanya. Mereka tersenyum gembira.
"Ayo kita teruskan memeriksa lorong ini," ujar Pandan Selasih.
Maka kemudian mereka kembali menyusuri lorong tersebut. Namun tak lama kemudian mereka terhenti lagi. Mereka mendapati ujung lorong yang buntu. Setelah sejenak memeriksa tempat itu mereka saling pandang dan menggeleng.
"Denah lorong buntu ini betul-betul buntu," kata Pangeran Arcapada. "Tidak ada sumbatan dan tak ada tanda-tanda kalau dinding lorong ini bisa dibuka seperti pintu rahasia."
"Tapi, tak mungkin lorong buntu ini benar-benar buntu," ujar Dibal. "Untuk apa dibuat lorong yang seperti ini. Apa gunanya?"
"Kurasa kita periksa sekali lagi di sekitar bagian buntu ini," usul Andhaka. "Bukan hanya dinding terakhir saja, tapi dinding-dinding di sekitarnya kita periksa juga."
Yang lainnya setuju. Maka Laskar Lare Winih itu kembali memeriksa dengan lebih teliti. Namun mereka harus kembali kecewa karena mereka tidak menemukan petunjuk apa-apa mengenai pintu rahasia itu.
"Ah, percuma saja," gerutu Mayang Srini. "Keputusan Lasih untuk memeriksa lorong ini sama sekali tak berguna. Padahal kita sudah berlelah-lelah."
Hampir semua menghela napas. Rasanya mengecewakan sekali karena semangat besar mereka ternyata tidak membawa hasil apa-apa. Lasih sendiri lalu bertanya pada prajurit pengawalnya apakah ia tahu tentang pintu rahasia yang mereka cari. Prajurit itu menggeleng.
Akhirnya Pandan Selasih memutuskan mereka kembali saja ke telundakan batu awal. Dan dengan lesu, karena tak ada pilihan lain, lare-lare winih kembali mendaki tumpukan batu untuk keluar dari lorong buntu itu.
"Hei, lihat di depan sana! Apa itu?" ujar Laksmi tiba-tiba. Ia yang berada paling depan kembali melangkah mundur, tidak jadi menyeberangi gundukan batu.
Bergantian yang lain melihat ke arah lorong di depan yang ditunjukkan oleh anak perempuan berkulit hitam manis itu.
Terlihat samar-samar cahaya biru di arah depan lorong. Cahaya biru itu bergerak-gerak dan semakin lama semakin bertambah banyak jumlahnya.
"Oh, kelihatannya mereka sedang menuju ke kita?" ujar Arumdalu cemas.
Rrrrr.... rrrrr.... rrrrr...
Terdengar suara dengkuran dari arah belakang mereka.
Para lare winih terlonjak. Mereka saling pandang. Apa yang harus diperbuat sekarang? Karena di depan sana terdapat titik-titik cahaya biru yang bergerak-gerak, sementara di belakang mereka ada suara dengkuran naga.
***
Selanjutnya: Bagian 61 - WIRUKECU
KAMU SEDANG MEMBACA
HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]
FantasyLasih, anak perempuan berusia sepuluh tahun, diundang ke Istana Hinggiloka oleh Maharaja Mahagraha. Di sana ia diperlakukan istimewa oleh Sang Maharaja, melebihi anak-anak lain yang juga diundang. Maka beredar selentingan Lasih sesungguhnya anak kan...