Bagian 40 - RUANG PRIMPEN

66 4 0
                                    

Sepeninggal Panji Pataka dan Pangeran Arcapada, para lare winih masih berada di Ruang Upiksa bersama Nyai Adicara dan Menteri Kinanthi. Mereka saling pandang, tak tahu harus berbuat apa. Mereka hanya menunggu sesuai arahan Panji Pataka tadi.

Untuk meredam gelisah sekaligus mengisi waktu, para lare winih berkeliling melihat-lihat berbagai benda yang dipajang di ruangan itu. Anak-anak pun mengajukan berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan hal-hal yang mereka lihat.

 Anak-anak pun mengajukan berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan hal-hal yang mereka lihat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Menteri Kinanti mengusap perutnya yang hamil besar. Wajahnya tampak pucat, tapi ia tetap bersungguh-sungguh melayani pertanyaan-pertanyaan dari lare winih.

"Saya ingin melihat potongan batu karang Tosan Taranggana, Menteri Kinanthi," kata Dibal. "Apakah ada juga di sini?"

"Saat ini tidak, Nak," sahut Kinanthi Maheswari. "Saat ini sedang dicoba ditumbuhkan di tempat lain, alih-alih di Moksa Praja. Hanya Aki Guru yang tahu letaknya. Pada saat ini ukurannya tidak lebih besar dari telapak tangan orang dewasa, karena telah dicuil-cuil sebagian untuk membuat cincin-cincin akik yang kalian pakai sekarang."

Para lare winih memerhatikan cincin-cincin mereka. Terus terang mereka mengagumi khasiat batu karang Tosan Taranggana itu. Namun ternyata ada benda lain yang tak kalah menarik perhatian mereka, yaitu batu permata manikam selabrani.

"Kalau tentang manikam selabrani, apakah kita akan melihat tambangnya?" tanya Andhaka.

"Kita tidak ada jadwal berkunjung ke pertambangan," sela Nyai Adicara. "Lagipula tambang manikam selabrani sangat dirahasiakan."

"Ya, betul sekali," kata Menteri Kinanthi. "Soalnya benda itu sangat mahal, bahkan boleh dikatakan lebih berharga dibandingkan dengan emas."

Kinanthi Maheswari diam sebentar, kemudian melanjutkan dengan penuh penekanan. "Sangat mungkin benda itu akan menggantikan kedudukan emas yang selama ini diakui sebagai salah satu lambang kemakmuran. Maka tidak banyak orang yang diberitahu perihal keberadaan tambangnya."

Para lare winih tampak terpesona mendengar ada sesuatu benda yang lebih berharga ketimbang emas.

Tiba-tiba kotak cahaya di ruangan itu berangsur menjadi terang kembali. Semuanya berpaling melihatnya.

"Cuaca sudah membaik kembali," ujar Laksmi Larasati riang.

"Tunggu. Kurasa ini bukan pertanda baik," gumam Kinanthi Maheswari.

Para lare winih memandang heran pada wanita itu.

Terlihat pula Nyai Adicara bersikap sama seperti Kinanthi Maheswari. Ia tampak tidak terlalu senang cuaca menjadi cerah kembali. Tentu saja hal ini membingungkan para lare winih.

Namun belum sempat mereka bertanya, kotak cahaya itu kembali meredup. Kali ini tampak lebih gelap. Untung saja lentera masih menyala. Dan sesudahnya kotak cahaya terus berubah-ubah. Kadang terang benderang, lalu meredup, sebentar kemudian terang lagi. Begitulah selama beberapa waktu.

HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang