Bagian 58 - SURAT IJIN

49 3 0
                                    

Pandan Selasih masuk ke Ruang Pustaka. Ia hendak mengembalikan buku-buku yang dipinjamnya. Prajurit pengawalnya menunggu di luar.

"Demi Naga Laut, benarkah buku-buku ini sudah kaubaca semua, Nak?" tanya Nyai Kapti sangsi.

Lasih tersenyum dan mengangguk.

"Saya seorang lare winih, Nyai. Saya mempunyai kemampuan membaca cepat."

"Oh, itu bagus sekali," ujar Nyai Kapti terkesan. "Eh ya, bagaimana pendapatmu tentang musibah yang menimpa Jeng Kanthil? Soalnya ada pihak-pihak yang menuduh bahwa pembunuh itu bisa jadi salah satu dari lare winih."

Pandan Selasih tertegun sejenak.

"Saya tidak bisa menyalahkan para penuduh itu, Nyai. Karena memang ada beberapa dari kami yang bisa berubah menjadi makhluk jadi-jadian. Seperti menjadi kalong besar, atau juga makhluk bercakar panjang."

"Jadi, kau percaya akan tuduhan itu?"

Lasih mengangguk cukup mantap.

"Ya ampun. Hati-hati kalau begitu, Nak. Karena bisa jadi salah satu temanmu itu seorang pembunuh."

"Dan kau sama saja seperti mereka, bocah kecil," sambung suara seorang lelaki yang muncul dari sudut rak buku.

"Menteri Druwiksa?" ujar Lasih kaget.

Menteri Druwiksa tersenyum sinis.

"Kau sendiri tidak bebas dari tuduhan itu, karena kau juga seorang lare winih," desis Sang Menteri.

"Saya tidak kenal dengan Rahajeng Kanthilsari," kata Lasih. "Jadi, buat apa saya membunuhnya? Tidak ada untungnya untuk saya."

"Aku bisa mencarikan alasannya," kata Menteri Druwiksa dingin.

"Terserah Anda," sahut Lasih tak peduli.

"Oh, sebaiknya kita berbicara hal yang lain saja," sela Nyai Kapti. "Lagipula tuduhan untuk lare winih hanya sebagian kecil saja. Bagian yang lainnya, yang lebih besar, adalah terkait Pesta Windon. Ada pihak-pihak lain yang berkepentingan dengan jabatan raja atau ratu. Saya rasa kemungkinan besar salah satu calon peserta Pesta Windon itu sebagai dalangnya."

"Kita memang sedang dirundung kutukan," gerutu Menteri Druwiksa. "Yang membunuh Rahajeng Kanthilsari, secara langsung, adalah sesosok makhluk dongeng. Bayangkan. Makhluk dongeng! Jika Anda mau, Nyai Kapti, Anda bisa bergabung dengan saya untuk persiapan upacara Phujanbantala, Phujanbaruna, serta Phujanprabata. Hanya dengan cara itulah kutukan ini bisa diatasi."

"Saya masih mempertimbangkannya," sahut Nyai Kapti.

"Tak usah ragu, Nyai. Masyarakat kita mempunyai kearifan tersendiri untuk mengatasi segala permasalahan," kata Menteri Kearifan dan Kebijaksanaan itu. "Dengan upacara-upacara itu maka segala makhluk jejadian akan musnah disambar geledek. Mungkin termasuk lare winih tertentu."

Kalimat terakhir Menteri Druwiksa mengandung sindiran yang cukup jelas bagi Pandan Selasih. Dan sebagaimana biasa, Lasih mudah sekali tersulut kemarahannya bila disindir semacam itu.

"Jabatan Anda sebagai Menteri Kearifan dan Kebijaksanaan sama sekali tidak menggambarkan Anda seorang yang arif dan bijaksana. Tahukan Anda, bahwa makhluk-makhluk dongeng itu muncul karena dikerahkan oleh Ludira Mahalaya? Dan segala perubahan cuaca di sekitar Istana Hinggiloka terjadi karena ada lare winih yang mempunyai kekuatan mengendalikan cuaca? Ah, Anda kelihatannya tidak mempunyai pengetahuan akan hal itu. Makanya Anda ngotot menyelenggarakan upacara-upacara kuno itu."

Menteri Druwiksa melotot marah.

"Kau sangat kurang ajar," geramnya gemas. "Kau pikir aku percaya pada ocehanmu?"

"Pandan Selasih," sela Nyai Kapti. "Sebaiknya kau pergi dari sini. Aku tidak akan melayanimu jika kau dalam keadaan marah seperti itu."

Ingin rasanya Lasih berteriak: 'Menteri Druwiksa yang seharusnya Anda suruh pergi, bukan saya!'

Namun Lasih masih punya sedikit kesabaran. Setelah mengucapkan terima kasih pada Nyai Kapti, anak perempuan itu bergegas pergi tanpa memandang sedikitpun pada Menteri Druwiksa.

Di luar Ruang Pustaka, ada dua prajurit yang menyambut Lasih. Yang satu pengawalnya, yang lain prajurit berseragam biasa. Prajurit yang berseragam biasa menyorongkan segulung klaras.

"Mahapatih Parasara menugaskan saya untuk memberikan klaras ini pada Pandan Selasih."

Lasih mengangguk dan menerimanya. Ia membuka gulungan itu dan membacanya. Isinya bahwa malam ini para lare winih diijinkan meninjau ruang bawah tanah.

Pandan Selasih tersenyum lebar.

Setengah berlari Lasih dikawal kembali ke Bangsal Atmaja. Ia segera memberitahukan hal itu pada lare-lare winih yang lain.

"Apa? Kau bilang malam ini juga kita akan menyusuri ruang bawah tanah?" ujar Andhaka kaget.

"Benar. Memangnya mengapa?" Lasih balik bertanya. "Tak ada bedanya antara malam dengan siang di dalam ruang bawah tanah, bukan?"

"Ya, kau benar," kata Andhaka mengakui, setelah tertegun sejenak.

"Oh ya, kalian semuanya sudah selesai menyalin denah lorong-lorong bawah tanah itu kan? Sudah? Bagus sekali, mari kita bersiap-siap makan malam. Setelah itu kita segera turun ke sana."

***


Selanjutnya: Bagian 59 - HALANGAN YANG SERAGAM

HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang