Ya, itulah namaku, Pandan Selasih. Orang-orang menyapaku dengan panggilan Lasih. Aku cucu semata wayang Nyai Sirih, seorang dukun bersalin yang telah pensiun. Kami berdua tinggal di sebuah rumah panggung di Desa Larang Dubang.
Nenekku gemar mengunyah daun sirih, mungkin karena itulah orang-orang menyapanya dengan sebutan Nyai Sirih. Nenekku juga sering meludah, dan karena ia mengunyah sirih, dicampur buah pinang, kapur, serta bahan-bahan lainnya, maka air ludahnya berwarna merah. Tapi tentang daun-daun sirih itu, Nenekku jarang sekali membelinya soalnya kami menanam pohon sirih sendiri di pekarangan.
Rumah kami agak jauh dari tetangga. Terletak di pinggiran desa, lebih dekat ke hutan malah. Maka aku tak punya banyak teman. Biasanya, orang-orang desa yang pergi repek, yaitu mencari kayu bakar di hutan, mereka akan menitipkan anaknya di rumah kami. Aku akan senang sekali karena itu artinya aku punya teman bermain. Tapi hanya dua orang anak yang cukup sering bermain bersamaku, dua anak perempuan bernama Dakem dan Pantun. Karena orang-orang tua mereka memang pencari kayu bakar untuk dijual. Sementara itu Nenek menghendaki agar aku bermain di sekitar rumah kami saja. Maka setiap waktu aku sangat menantikan kedatangan Dakem atau Pantun. Itulah sebagian hari-hariku, yang lebih sering berada dalam kesepian.
Sejak kecil, sejak aku bisa mengingat, aku memang selalu bersama Nyai Sirih, Nenekku. Neneklah yang selalu menjaga dan mengurusiku setiap hari. Mulai dari memandikan aku ketika kecil, mendongeng menjelang tidur, hingga mengajariku membaca dan menulis huruf-huruf prajan. Aku tak pernah tahu siapa kedua orang tuaku, maka seringkali kuanggap Nenek adalah sekaligus ibuku. Demikian pula aku adalah cucu sekaligus anak bagi Nenek. Aku kadang merasa iri pada Dakem dan Pantun, karena mereka mempunyai Bopo dan Biyung, atau Ayah dan Ibu. Juga mempunyai kakek dan nenek, serta paman dan bibi. Sedangkan aku, aku tidak tahu siapa saja kerabatku. Dan Nenek selalu mengalihkan pembicaraan bila aku bertanya-tanya tentang siapa karib-kerabat kami yang lain. Wajahnya menjadi berkerut sedih. Jadi, meskipun aku sangat ingin tahu, namun aku merasa lebih kasihan padanya. Aku tidak tega membuatnya bersedih. Maka kuputuskan aku tidak akan mendesak-desak terus bila Nenek memang tidak berkenan membicarakannya.
Ketika suatu malam Nenek mengatakan bahwa kami harus berpisah, hatiku separuh sedih, separuhnya lagi bingung. Perlahan butir-butir air mata bergulir di pipiku. Nenek segera memelukku. Namun seperti biasa, tak ada air mata bagi Nenek. Ya, seingatku Nenek tidak pernah sekali pun menangis, betapapun sedih keadaannya. Nenekku, Nyai Sirih, adalah perempuan yang tegar.
"Aku akan memastikan kau akan baik-baik saja, Nak," hibur Nenek.
"Jika saya berpisah dari Nenek, itu bukanlah hal yang baik-baik saja, Nek. Memangnya Nenek mau pergi ke mana?" tanyaku tersedu.
"Lasih, apakah kau ingat dua orang tamu kita, dua orang lelaki, beberapa hari yang lalu?" Nenekku balik bertanya.
Aku mengangguk. Aku tentu ingat sekali, sebab selama ini tak pernah ada tamu asing yang bertandang ke rumah kami. Lagipula cukup mengherankan, karena salah satu dari mereka mendandaniku dengan pakaian serbamerah, dan kemudian melukis diriku. Lalu kedua tamu itu pamit sambil membawa lukisan itu.
"Mereka Gadung Lelono si Prajurit dan Warak si Pelukis, dua orang utusan raja Kerajaan Sanggabuana," kata Nenek. "Nah, Tuan Gadung Lelono akan datang kembali sewaktu-waktu. Ia akan menjemputmu, Lasih. Kau akan dibawa ke Istana Hinggiloka, istana Kerajaan Sanggabuana. Maharaja sendiri yang menghendakinya. Tentu saja Nenek tidak mungkin menolaknya. Jadi yang akan pergi meninggalkan rumah ini bukannya Nenek, melainkan kau.
"Tahukah kau, Maharaja Mahagraha sedang memersiapkan calon-calon penerus pemerintahan Kerajaan Sanggabuana? Beliau telah mengamati sejumlah anak di segenap wilayah kerajaan ini, lalu memilihnya untuk menjadi calon penerus tadi. Dan salah satu anak yang terpilih adalah kau. Ya, Maharaja telah memilihmu."
Dadaku tiba-tiba berdebar kencang. Maharaja berkenan memilihku! Tapi mengapa aku sampai terpilih oleh beliau? Aku merasa sebagai anak perempuan yang biasa-biasa saja. Memangnya apa keistimewaanku? Memang sih, aku sudah cukup lancar membaca dan menulis, tapi....
"Tapi tenanglah, Nak. Kau tidak sendirian. Nanti kau akan bergabung dengan anak-anak terpilih lainnya. Yang Nenek tahu kalian semua akan dilatih selama beberapa waktu di istana. Hanya saja sayang sekali tidak diberitahukan sampai berapa lama waktunya. Yah, sebetulnya Nenek sangat berat berpisah darimu, Lasih. Kau tahu Nenek sangat sedih. Tapi, bagi Nenek, kesedihan saja tidak akan memperbaiki apa-apa jika kita tidak bertindak untuk mengubahnya. Nah, salah satu tindakanku untuk melindungimu adalah dengan cara menutupi wajahmu."
Suara Nenek bergetar. Tampaknya itu akibat rasa sedih yang menggumpal di dalam hatinya. Setidaknya begitulah menurutku. Namun kelak aku akan mengetahui bahwa perasaan yang berkecamuk di benak Nenek bukan semata-mata rasa sedih belaka. Melainkan berhubungan dengan hal yang begitu mengejutkan tentang diriku. Suatu hal yang sama sekali tak kuduga, yang paling mengguncangkan perasaanku sepanjang hidupku!
***
KAMU SEDANG MEMBACA
HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]
FantasyLasih, anak perempuan berusia sepuluh tahun, diundang ke Istana Hinggiloka oleh Maharaja Mahagraha. Di sana ia diperlakukan istimewa oleh Sang Maharaja, melebihi anak-anak lain yang juga diundang. Maka beredar selentingan Lasih sesungguhnya anak kan...