Larut malam Andhaka mengumpukan para lare winih di salah satu sudut Bangsal Atmaja.
"Terus terang pertemuan ini atas usulan Dibal," kata Ketua lare winih itu. "Dan aku setuju dengan pendapatnya."
Mereka semua duduk lesehan. Tampak Lasih duduk paling belakang.
"Kita tahu, ada sesuatu di sekitar sini yang membuat kita memiliki kekuatan tertentu yang pada awalnya tidak ada," lanjut Andhaka. "Menurut Pangeran Arcapada, penyebabnya mungkin kabut asap berkelip, serupa yang menguar di Moksa Praja, yang telah mempengaruhi lare winih kelompok pertama. Nah, kita akan padamkan semua penerangan di Bangsal Atmaja ini. Kita lihat apakah ada kabut asap berkelip itu juga, jika suasananya gelap gulita."
"Tapi tolong kita jangan sampai berpencar," tambahnya lagi segera, "soalnya kita tidak tahu apa yang bakal terjadi."
Para lare winih yang lain mengangguk setuju.
"Tunggu! Bagaimana dengan para prajurit penjaga? Mereka mungkin akan melaporkan kita jika semua obor dan senthir dimatikan," kata Mayang Srini.
"Aku sudah memeriksanya," sahut Andhaka. "Malam ini kembali tidak ada penjagaan. Tak ada satu pun prajurit yang menjaga pintu jeruji bangsal saat ini."
"Ah, tapi sebenarnya kita tidak usah mempedulikan hal-hal semacam itu, Andhaka," ujar Dibal cepat. "Tujuan kita adalah mengetahui apa yang sebenarnya sedang menimpa kita. Jika kita sampai dilarang untuk mencari tahu, aku usulkan untuk melawan siapapun yang berani menghalangi kita!"
"Hei, Dibal! Kau tidak menyebutkan kesepakatan itu tadi," potong Andhaka. "Kita akan melakukannya dengan damai, bukan? Kalau kita melawan pihak istana, itu sudah bagian dari pemberontakan!"
"Oh ya? Kurasa kau yang tidak paham maksud rencanaku," sahut Dibal enteng.
"Demi langit gelap. Aku tidak menyangka kau akan berbelok di tengah jalan seperti ini," ujar Andhaka dengan nada tersinggung. "Kau tahu siapa yang memimpin di sini bukan?"
"Ya ampun! Tolonglah jangan berdebat. Kita akan membuang-buang waktu saja," sela Laksmi Larasati.
"Baiklah, aku yang berhak mengatur sekarang," kata Andhaka lagi dengan cepat. "Kita akan padamkan obor di sepanjang koridor ini, lalu ruang tidur anak perempuan, lalu ruang tidur anak laki-laki, serta koridor yang menuju dapur. Kupikir akan cukup gelap gulita nanti. Dan ingat, tetaplah berombongan, jangan sampai ada yang memisahkan diri. Bisa dipahami?"
Sambil berkata Andhaka mengisyaratkan untuk memadamkan obor-obor yang berada di sekitar tempat itu. Dengan menyisakan satu batang obor sebagai penerangan, para lare winih kemudian mendatangi tempat-tempat yang tadi disebutkan oleh Andhaka untuk memadamkan segala jenis penerangan yang ada.
Sebentar kemudian Andhaka meniup obor terakhir yang dipegangnya.
Suasana gelap gulita dan sunyi. Hanya terdengar napas memburu para lare winih yang telah berjalan kian-kemari memadamkan api.
Suasana benar-benar gelap gulita sekarang. Dan para lare winih memerhatikan sekitar mereka, kalau-kalau terlihat sesuatu seperti kabut asap berkelip atau yang semacamnya.
Ternyata, setelah beberapa jenak, tak telihat hal-hal yang menarik. Namun mereka terkejut karena mendapati kabut berkelip menguar dari tengah-tengah rombongan itu.
"Hei, ada kabut asap berkelip di tengah-tengah kita!" pekik Pandan Selasih.
Yang lainnya cepat memerhatikan seputaran mereka. Tampak kabut tipis berwarna biru pucat berkelap-kelip menguar, kemudian meredup padam di atas kepala-kepala mereka. Namun terus disusul kabut berkelip yang menguar lagi, datangnya dari badan para lare winih, dan kemudian meredup padam lagi di udara.
KAMU SEDANG MEMBACA
HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]
FantasiLasih, anak perempuan berusia sepuluh tahun, diundang ke Istana Hinggiloka oleh Maharaja Mahagraha. Di sana ia diperlakukan istimewa oleh Sang Maharaja, melebihi anak-anak lain yang juga diundang. Maka beredar selentingan Lasih sesungguhnya anak kan...