Pandan Selasih menerima kain kecil yang diulurkan oleh Gadung Lelono.
"Sebaiknya pakailah kembali kain penutup ini, Nak," kata prajurit itu.
Pandan Selasih memasang kain kecil itu untuk menutupi wajahnya lagi. Kain itu terlepas ketika ia terjungkal dari kuda tadi bersama kantong bekalnya.
"Oh... saya tidak mengerti Paman, mengapa Neman-Neman itu tiba-tiba pergi?" kata anak perempuan itu. Jari-jarinya gemetaran membersihkan kantong bekalnya. "Menurut Paman, apakah penyebabnya karena makhluk-makhluk itu melihat... eh, melihat wajah saya?"
Gadung Lelono menggeleng ragu.
"Aku tidak tahu pasti, Nak. Tapi kuakui aku memang heran. Jika perginya gerombolan Neman itu karena mereka melihat wajahmu, itu sungguh luar biasa. Mungkin wajahmu bisa disebut sebagai wajah bertuah!"
"Wajah bertuah?" tanya Lasih mengerutkan alis.
"Ya, wajah bertuah. Wajah yang bisa memberi keajaiban!" sahut Gadung Lelono. "Oh, kita teruskan nanti saja percakapan ini, Nak. Kita harus menolong prajurit-prajurit yang terkapar itu dahulu."
Gadung Lelono dan Pandan Selasih berkeliling memeriksa para prajurit. Beberapa orang dari mereka sudah bangkit duduk sambil mengerang menahan sakit. Luka-luka mereka mengeluarkan banyak darah. Sedangkan beberapa prajurit lainnya benar-benar sudah tergeletak tidak berdaya.
Dibantu oleh Gadung Lelono, para prajurit itu menyobek pakaian-pakaian mereka sendiri, lalu dibebatkan pada bagian tubuh yang terluka. Itu untuk menghentikan perdarahan. Sebagian prajurit sudah mampu bangkit berdiri kembali, namun ada sejumlah prajurit lainnya yang benar-benar terluka parah. Maka Gadung Lelono dan prajurit yang sudah cukup pulih itu segera berkemas lebih lanjut. Mereka mendirikan lagi kereta yang terguling, lalu prajurit-prajurit yang terkapar itu dinaikkan ke atas kereta. Mereka juga memeriksa kuda-kuda penarik kereta itu. Syukurlah ada satu kuda yang masih bisa bangkit, sedangkan satu kuda lagi tengah sekarat. Maka kuda milik Gadung Lelono lalu dijadikan sebagai pengganti untuk kuda yang hampir mati itu.
"Semua sudah siap?" ujar Gadung Lelono beberapa waktu kemudian. "Baiklah, ayo segera kita tinggalkan tempat ini."
Rombongan berkereta itu mulai bergerak. Gadung Lelono bertindak sebagai kusir kereta, sementara ruangan kereta dipenuhi oleh prajurit-prajurit terluka yang tak sadarkan diri, sedangkan prajurit yang masih cukup kuat mengikuti mereka dengan berjalan kaki. Derit roda kereta mengiringi perjalanan rombongan tersebut. Pandan Selasih sendiri duduk di bangku kusir di samping Gadung Lelono.
Selama beberapa saat Gadung Lelono dan Pandan Selasih berdiam diri. Namun tiba-tiba Pandan Selasih terisak dan badannya bergetar.
"Apa yang sedang kau pikirkan, Nak? Nenekmu?" tanya Gadung Lelono lembut.
Anak perempuan itu mengangguk, lalu menyusut ujung matanya.
"Mengapa tadi kita tidak menunggu dulu di deket rumah, Paman?" ujarnya lemah, terdengar menyesal.
"Nak, jika kita tetap berada di sana, di dekat rumah kalian yang telah hancur itu, tampaknya kita malah tidak bisa berbuat apa-apa. Lagipula ada gerombolan Neman beringas di sana, bukan?" ujar Gadung Lelono. Lalu lelaki itu menambahkan dengan nada menghibur, "Sekarang tenangkanlah dirimu. Aku akan mengatur agar peristiwa ledakan itu diperiksa secepatnya. Jangan larut oleh kesedihan. Meskipun aku tidak bisa menjanjikan berita baik, namun Nenekmu mungkin saja masih selamat."
Lasih mengangguk-angguk.
"Sebaiknya kita berbicara hal-hal yang lain saja," tambah Gadung Lelono.
"Iya, Paman," kata Pandan Selasih lirih.
Selama beberapa jenak mereka berdiam diri lagi.
"Paman, tampaknya Paman mengetahui banyak hal tentang Neman-Neman itu," ujar Pandan Selasih kemudian. "Ceritakanlah pada saya tentang makhluk itu, Paman."
Gadung Lelono mendehem.
"Yah, tak kusangka kita bisa bertemu dengan mahkluk-makhluk itu," ujar Gadung Lelono setengah merenung. "Aku tidak akan percaya jika tidak melihatnya secara langsung."
"Kata Paman, Neman adalah makhluk dongeng. Benarkah?" ujar Pandan Selasih.
Gadung Lelono mengangguk.
"Begitulah, Nak. Sepengetahuanku Neman memang hanya ada dalam dongeng di masyarakat, terutama bagi mereka yang tinggal di dekat hutan lebat dan gunung tinggi, di daerah utara. Bisa dibilang Neman adalah makhluk penunggu hutan dan gunung di wilayah utara itu. Itulah yang diceritakan oleh orang-orang tua kita. Mungkin tujuannya supaya anak-anak mereka waspada bila masuk hutan atau mendaki gunung."
Gadung Lelono berhenti sebentar, menghela napas.
"Makhluk berkaki enam itu terkenal kejam," sambungnya. "Setelah mangsanya sekarat, ia akan memecahkan batok kepala korbannya dengan gigitan gigi-giginya yang kuat, lalu melahap isinya. Ya, ia hanya memburu isi kepalanya! Hal itu dilakukan pada korban yang masih dalam keadaan setengah hidup dan setengah mati. Bisa kau bayangkan betapa menyakitkan dan mengerikannya keadaan itu. Korban-korbannya lalu ditinggalkan begitu saja dengan kepala rusak sehingga wajahnya tidak dapat dikenali lagi."
Pandan Selasih bergidik ngeri.
"Beruntunglah kita tidak sampai menyaksikan hal seburuk itu terjadi," sambung Gadung Lelono lagi.
Untuk beberapa saat keduanya kembali berdiam diri. Kembali hanya terdengar keriut badan kereta, derit roda-rodanya, serta dengusan kuda-kuda yang menarik kereta tersebut.
"Kata Paman, Neman-Neman itu berasal dari daerah utara," kata Pandan Selasih setelah beberapa saat lengang. "Apakah saat ini kita sedang berada di daerah utara?"
Gadung Lelono menggeleng.
"Bukan, Nak. Saat ini kita berada di selatan. Bukan di daerah utara. Itulah sebabnya aku heran, mengapa Neman-Neman itu bisa ada di sini," kata Gadung Lelono. "Mereka menyerang dan melumpuhkan pasukanku dengan mudah sekali. Untunglah kau bisa mengusir mereka, Nak. Kami semua berterima kasih padamu."
"Tapi saya tidak sengaja melakukannya, Paman. Saya sendiri juga tidak mengerti. Sebenarnya saya hanya berteriak-teriak ketakutan saja," kata Pandan Selasih jujur, lalu menyambung, "Dan Paman tadi sempat mengatakan bahwa penyebabnya adalah wajah saya yang mungkin bertuah!"
Gadung Lelono terkesiap selintas.
"Yah, itu hanya dugaanku saja," kata Gadung Lelono lambat-lambat. "Seseorang dengan wajah bertuah adalah seseorang yang ditakdirkan bisa mengendalikan makhluk-makhluk lain. Wajahnya memancarkan kekuatan yang bisa memengaruhi makhluk-makhluk lainnya agar patuh padanya."
Pandan Selasih tercengang.
"Tapi... tapi saya rasa itu tidak mungkin," geleng Pandan Selasih pelan. "Saya ingat, saya sering meminta Dakem dan Pantun untuk menginap di rumahku. Mereka teman-temanku. Jika wajah saya memang bertuah, tentu mereka berdua akan menurut pada saya. Tapi kenyataannya tidak begitu. Mereka menolaknya. Mereka bilang bahwa orang tuanya tidak mengijinkan. Tapi kalau mereka memang bertekad, tentunya mereka akan memaksakan diri. Tidak, Paman. Saya tidak sependapat jika wajah saya ini bertuah."
Pandan Selasih membetulkan penutup wajahnya yang sedikit miring.
"Tapi," lanjut anak perempuan itu, dengan nada bingung sendiri, "tapi... Nenek meminta saya untuk menutupi wajah ini. Apakah Nenek menganggap wajah ini bertuah sehingga harus ditutupi? Apakah Nenek beranggapan sama seperti yang Paman duga?"
Gadung Lelono menatap Pandan Selasih sesaat, lalu menggeleng, mengisyaratkan bahwa lelaki itu tidak bisa memastikan hal tersebut.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]
FantasyLasih, anak perempuan berusia sepuluh tahun, diundang ke Istana Hinggiloka oleh Maharaja Mahagraha. Di sana ia diperlakukan istimewa oleh Sang Maharaja, melebihi anak-anak lain yang juga diundang. Maka beredar selentingan Lasih sesungguhnya anak kan...