Bagian 35 - WISMA BIDARA (2)

62 6 0
                                    

"Di mana Nenek-ku?" ujar Pandan Selasih pada lelaki kerdil yang tadi mengunci pintu.

"Sebaiknya kau bicara di ruang tengah," sahut si Kerdil itu.

Kelihatannya tak ada pilihan bagi Lasih selain menuruti lelaki tersebut. Maka ia melangkah mengikuti si Orang Kerdil.

Wisma Bidara tampaknya sudah lama tidak dihuni. Udaranya pengap dan barang-barangnya terlihat berdebu. Sarang laba-laba tampak membentang di sana-sini. Lasih dan si Kerdil melangkah perlahan di lantai papan yang berkeriut ketika diinjak.

Di ruang tengah tampak seseorang duduk membelakangi mereka. Ketika mendengar kedatangan Lasih dan si Kerdil, ia memutar tubuhnya di atas kursi putar. Tampak seorang lelaki botak dengan bentuk kepala menyerupai telur tersenyum aneh menyambut anak perempuan berbaju merah itu.

"Kau, Pandan Selasih, si Putri Merah?" ujar si Lelaki Gundul. Suaranya agak serak.

"Di mana Nenek-ku?" ujar Pandan Selasih sedikit bergetar.

"Nenek-mu?" kata lelaki gundul dengan nada bingung yang dibuat-buat. "Mengapa kau bertanya padaku? Oh ya, tentu saja karena kau sudah membaca surat itu, bukan? Surat dari 'temanmu'?"

Dalam hati Lasih mengeluh, mengapa ia bisa begitu bodoh. Kata 'temanmu' pada surat itu mestinya sudah cukup baginya untuk curiga, sebab tak jelas siapa sebenarnya pengirimnya. Teman akrab Lasih selama ini hanyalah Dakem dan Pantun dari Desa Larang Dubang. Rasanya mustahil surat itu ditulis oleh Dakem atau Pantun. Lasih tergerak untuk menuruti isi surat itu semata-mata karena berkaitan dengan neneknya, yang katanya 'selamat'.

"Jadi, percuma saja aku datang kemari?" kata Lasih.

"Tidak. Tak ada yang percuma," ujar lelaki gundul. "Pertama-tama, bukalah penutup wajahmu."

"Aku tidak mau memperlihatkan wajahku. Wajahku sangat buruk. Kau tak akan suka melihatnya."

Lelaki gundul mengernyitkan dahi.

"Bukalah penutup wajahmu! Lalu kita akan berbicara secara baik-baik."

Lasih berdiam diri.

"Apakah kau lebih memilih dibuka secara paksa?" ancam si Gundul. Ia memberi isyarat pada rekannya, si Orang Kerdil.

Si Kerdil segera menghampiri Lasih, meraih kedua tangan anak perempuan itu lalu dilipatnya ke belakang. Lasih berontak, tapi lelaki kerdil itu memegangi pergelangan tangannya amat erat sehingga anak perempuan itu tak bisa membebaskan diri. Sementara si Gundul segera merenggut kain penutup wajah Pandan Selasih dengan kasar.

Wajah Pandan Selasih terbuka!

Terlihat kedua lelaki itu terbelalak.

Untuk beberapa saat suasana hening.

Tiba-tiba Lasih seperti mendapat ilham. Ia berseru tegas pada kedua orang itu.

"Pergi kalian dari sini! Ayo pergi! Enyah kalian dari hadapanku!"

Kedua lelaki itu malah saling pandang keheranan.

"Pergi kalian! Ayo pergi!"

Si Gundul dan si Kerdil tidak beranjak dari tempatnya. Dan Lasih segera sadar bahwa siasatnya menggunakan kekuatan 'wajah bertuah' sia-sia saja.

"Kurasa anak ini agak sinting, Kakang," ujar si Kerdil.

"Ya, mungkin kau benar. Tapi hal itu bukan urusan kita. Yang penting kita sudah yakin sekarang, karena kita sudah melihat wajahnya," sahut si Gundul. "Nah, anak ini sudah tidak berguna lagi. Saatnya bagi kita untuk menghilangkan jejak. Ayo lekas, mana kain dan talinya?"

Lasih didudukkan dengan paksa ke lantai oleh si Gundul, lalu kedua tangan dan kaki anak perempuan itu diikatnya erat-erat. Sebuah gentong kayu bersumbu panjang diletakkan di dekat anak itu, lalu ujung sumbu itu dinyalakan. Percikan-percikan nyala apinya merambati sumbu yang mengular dilantai.

"Ledakan rumah ini akan menghapuskan segalanya," kata si Gundul dengan nada puas. "Mari kita pergi. Kau sudah menyiapkan rakitnya, bukan? Baguslah kalau begitu. Kita lewat pintu belakang."

Maka si Gundul dan si Kerdil meninggalkan Pandan Selasih yang terduduk di lantai bersama gentong kayu yang telah dinyalakan sumbunya. Anak itu tidak bisa berteriak karena mulutnya juga telah dibebat dengan kain.

Si Gundul dan si Kerdil mendayung rakit mereka. Rakit bambu itu melaju perlahan menuju seberang sungai. Dan kemudian terdengar ledakan yang amat dahsyat. Bola api membubung di Wisma Bidara. Rumah besar itu hancur berkeping-keping, asap membubung tinggi, menyebarkan abu membara. Yang tersisa di bekas rumah itu hanyalah cekungan besar berisi bara merah yang terlihat menyala dan meredup silih berganti.

 Yang tersisa di bekas rumah itu hanyalah cekungan besar berisi bara merah yang terlihat menyala dan meredup silih berganti

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang