Makan malam hari ini terasa menggembirakan bagi para lare winih. Dari siang hingga senja mereka telah berlatih olah bela diri di Padang Parilang. Rasanya lelah sekali, namun ada satu hal yang membuat mereka tetap senang dan bersemangat, yaitu mereka telah bisa saling melihat kekuatan antar lare-lare winih sekarang.
"Jadi, ternyata, kau bisa berubah menjadi seekor kadal raksasa, Tobil?" ujar Mayang Srini.
Tobil Kadaluwarsa dari Kerajaan Kelateng Alas tampak nyengir.
"Bukan kadal raksasa, melainkan biawak," katanya setelah menelan makanannya.
"Ah, itu tak ada bedanya. Bentuk mereka sama, bukan?" kata Mayang Srini lagi.
"Terserah kau saja," sahut Tobil, kembali nyengir, pura-pura tak peduli.
"Nah, kulihat jari-jari tangan dan kakimu panjang sekali, Giras," kata Laksmi Larasati.
"Rasanya itu bukan jari, Laksmi. Mungkin lebih tepatnya cakar," sela Arumdalu membetulkan.
"Ya, itu cakar," kata Giras dari Kerajaan Gamping Wedi. "Aku suka melihat kucing-kucing hutan bertarung. Cakar mereka amat tajam. Kurasa sekarang aku mempunyai cakar yang lebih tajam dari mereka."
"Dan kau hebat, Mijil. Tubuhmu bisa tembus pandang. Kau tak perlu repot-repot mencari tempat bersembunyi dari musuh kalau begitu," kata Arumdalu.
Mijil dari Kerajaan Curug Santer langsung membalas,
"Kau tak kalah hebat, Arum. Kau sosok manusia pohon yang luar biasa," kata Mijil sungguh-sungguh. "Begitu kita jatuh ke jurang, kau mengeluarkan sulur-sulur banyak sekali. Kami semua tersangkut di sulur-sulur tadi, dan kemudian kami bisa mencari pijakan sendiri sehingga semuanya selamat sampai di atas tebing."
"Ah, kau terlalu berlebihan," ujar Arumdalu tersipu.
"Aku juga terselamatkan karena engkau, Arumdalu," sela Andhaka. "Itulah gunanya menjaga persatuan di antara lare winih. Kita bisa saling mendukung dan melindungi, bukan?"
"Dan kau berubah menjadi seekor kalong raksasa, Giwangkara," kata Arumdalu. "Kau bisa terbang sendiri."
Giwangkara dari Kerajaan Gowok Gading itu tersenyum tipis, lalu berkata,
"Tapi ada satu lare winih yang tidak jatuh ke jurang sama sekali," ujarnya agak tertahan.
Semuanya memerhatikan Giwangkara, sedangkan Giwangkara memandang dan memberi isyarat ke arah Pandan Selasih.
"Oh. Kau... tak jatuh sama sekali, Lasih?" ujar Andhaka sepontan.
Semua lare winih menatap Pandan Selasih.
"Ya," ujar Lasih hati-hati. "Ya. Para pengawalku menarikku agar bertiarap. Jadi aku tidak jatuh ke jurang sama sekali."
Beberapa saat semuanya terdiam.
"Lasih, aku mengakui bahwa kau memang lebih diistimewakan di istana ini ketimbang kami. Kau bahkan dikawal," kata Andhaka kemudian. "Hal itu membuat iri. Tapi, lama-lama aku mulai terbiasa dengan keadaanmu. Jadi, Lasih, maafkan aku jika selama ini aku telah mendiamkan-mu."
Pandan Selasih sedikit terkesiap, sementara lare-lare winih yang lainnya saling pandang dan bergumam-gumam.
"Maafkan aku juga, Lasih," kata Laksmi Larasati, "karena aku juga telah mendiamkanmu."
Beberapa lare winih yang lain ikut meminta maaf pada Pandan Selasih, namun tidak semua. Ada beberapa yang tetap diam saja.
"Kalian tak perlu meminta maaf padaku," ujar si Baju Merah itu. "Kelihatannya keadaan ini bukan masalah besar, karena pihak istana juga tidak mempermasalahkannya. Tapi aku tidak bisa berjanji apa-apa pada kalian, bagaimana aku akan bersikap jika keistimewaan seperti itu terus saja diberikan padaku."
KAMU SEDANG MEMBACA
HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]
FantasyLasih, anak perempuan berusia sepuluh tahun, diundang ke Istana Hinggiloka oleh Maharaja Mahagraha. Di sana ia diperlakukan istimewa oleh Sang Maharaja, melebihi anak-anak lain yang juga diundang. Maka beredar selentingan Lasih sesungguhnya anak kan...