Bagi Lasih, sebetulnya ia jauh lebih suka jika pemisahan lare winih itu benar-benar dilaksanakan. Ia berharap Andhaka tidak menundanya, apalagi tanpa kepastian seperti ini. Sebab bagi anak perempuan itu, tak ada gunanya berkumpul bersama orang-orang yang tidak menginginkan keberadaannya.
Di ruang makan pada siang itu, suasana tidak lebih baik. Orang-orang memandangi Pandan Selasih, baik sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Lasih tidak lagi memakai kain penutup di wajahnya. Ia memang membiarkan saja semua orang mengenali wajahnya kini. Ia sudah memutuskan hal itu.
Anak perempuan berpakaian serbamerah itu memang masih duduk satu meja dengan para lare winih yang lain, namun tak ada yang mengajaknya berbicara. Keadaannya memang tidak nyaman. Namun Lasih berusaha sekuat tenaga untuk bisa bersabar dan menunggu saja apa yang akan terjadi kemudian.
Apa yang bakal terjadi biarlah terjadi.
Setelah acara makan siang, Nyai Adicara kembali mengumpulkan para lare winih. Jadwal sore ini adalah kembali berlatih olah bela diri. Mereka berkumpul di salah satu areal terbuka di pekarangan istana.
"Aku sudah mendengar apa yang telah terjadi pada kalian di kebun istana," ujar Nyai Adicara. "Terlepas dari semua itu, aku menghargai usaha Andhaka untuk tetap mempertahankan persatuan di antara kalian. Andhaka telah menunda memisahkan Pandan Selasih dari lare winih yang lain, sehingga Dibal Patigaman juga menunda memisahkan diri. Untuk itu aku berikan tambahan nilai dua puluh biji untuk Andhaka. Ya, untuk kali ini kau bisa melakukan hal yang benar, Nak. Selamat untukmu!"
Nyai Adicara tersenyum sekilas, sedangkan Andhaka tampak kaget, namun akhirnya nyengir juga. Tampaknya anak laki-laki itu tidak mengira akan memperoleh anugerah itu dari Nyai Adicara.
Selanjutnya para lare winih mulai berlatih olah bela diri. Seorang lelaki berpakaian pendekar mengajari mereka bagaimana cara menggunakan senjata tongkat panjang.
"Setelah kalian mengenal bermacam-macam jenis senjata, untuk kali ini kalian akan berlatih menggunakan senjata yang seragam, yaitu sebilah tongkat," kata si pelatih. "Ada banyak cara bagaimana menggenggam sebuah tongkat. Jika kalian sudah cukup berpengalaman nanti, kalian akan bisa mengetahui dari perguruan silat mana seorang pendekar berasal - dilihat dari caranya menggenggam sebilah tongkat ini. Paham?"
Para lare winih mengangguk-angguk.
Pandan Selasih menyaksikan semua itu dari tepi lapangan. Ia duduk bersebelahan dengan Nyai Adicara. Lasih tahu, ia masih belum dibolehkan untuk belajar olah bela diri. Maharaja belum mencabut larangan itu.
"Maaf, Nyai Adicara. Apakah saat ini waktu bebas lagi untuk saya?" tanya anak perempuan itu.
Nyai Adicara mengangguk lalu berkata,
"Benar. Tapi apakah kau tidak ingin melihat teman-temanmu berlatih di sini?"
"Larangan Maharaja belum dicabut, bukan? Saya lebih senang jika diijinkan ikut berlatih, tidak hanya menonton seperti ini. "
Nyai Adicara melihat sekilas pada si Baju Merah itu.
"Kalau begitu, terserah kau bagaimana menghabiskan waktu bebasmu ini," ujar wanita itu.
"Terima kasih, Nyai," ujar Pandan Selasih tersenyum tipis, terlihat bersemangat. Sambil mengeratkan ikatan rambutnya, anak perempuan itu segera beranjak pergi meninggalkan lapangan.
Setengah berlari Lasih menuju arah Ruang Pustaka. Koridor-koridor yang dilaluinya terbilang cukup lengang, tidak menampakkan lagi suasana tegang. Lasih berpikir, barangkali Maharaja telah berhasil mendinginkan suasana istana. Tetapi, apakah Maharaja setuju mengadakan upacara Phujanbantala, seperti usulan Menteri Druwiksa, ataukah memilih mengatasi masalah perang keuangan, seperti yang diungkapkan Menteri Tarta dan dirinya? Lasih tak tahu, dan tidak ingin memikirkannya untuk saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]
FantasyLasih, anak perempuan berusia sepuluh tahun, diundang ke Istana Hinggiloka oleh Maharaja Mahagraha. Di sana ia diperlakukan istimewa oleh Sang Maharaja, melebihi anak-anak lain yang juga diundang. Maka beredar selentingan Lasih sesungguhnya anak kan...