Halilintar menyala, disusul suara geledek yang memekakkan telinga. Pangeran Arcapada sampai terlonjak kaget. Saat ini ia tengah berada di puncak salah satu menara tengah, tepatnya di menara tempat Lasih terjatuh. Ia sendirian, sedang memeriksa tempat itu, kalau-kalau ada sesuatu yang menarik sehubungan jatuhnya anak perempuan itu. Sang Pangaran merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ia cukup mengenal Lasih. Tak mungkin Lasih jatuh begitu saja, karena si Baju Merah itu bukan seorang anak yang ceroboh. Pasti telah terjadi sesuatu. Namun Pangeran Arcapada tidak menemukan apa-apa. Bahkan bekas-bekas darah Lasih tampaknya juga sudah dibersihkan.
Halilintar menyala lagi, disusul ledakan geledek. Pangeran Arcapada melihat keluar jendela menara. Tampak langit sangat gelap. Udara juga terasa dingin, suasana menara juga sunyi, membuat Sang Pangeran sedikit bergidik.
"Apakah itu cuaca kiriman lagi?" gumamnya. Terpikir olehnya untuk mengerahkan kemampuan Mangsa Buana, kemampuan mengendalikan cuaca, untuk mengetahui apakah cuaca buruk itu kiriman atau bukan. Namun ia mengurungkan niatnya. Sang Pangeran merasa ia harus menghemat tenaga, tak perlu mengetahui asal cuaca tersebut, setidaknya untuk saat ini.
"Maaf, Pangeran. Anda sendirian saja?" seseorang menyapanya.
Pangeran Arcapada berpaling.
"Paman Gadung Lelono?"
"Saya, Pangeran. Cuaca tampak buruk sekali, ya?" sahut lelaki bercambang tebal itu.
Kilat menyambar, menerangi puncak menara itu.
"Apakah Paman sudah tahu apa yang telah menimpa Pandan Selasih?" tanya Sang Pangeran.
Gadung Lelono mengangguk.
"Ya, Pangeran, saya sudah diberitahu. Saya prihatin sekali. Anak perempuan itu sungguh malang. Oh ya, bolehkah saya tahu apa yang sedang Pangeran lakukan di sini? Orang-orang lain tengah berada di Bangsal Atmaja, dan pagar jeruji besinya juga sudah dinyalakan. Kami semua khawatir jika keadaan hari ini semakin memburuk."
"Aku sedang memeriksa tempat ini, Paman. Siapa tahu ada sesuatu yang kutemukan, suatu petunjuk apa sebenarnya yang telah menimpa Lasih. Tapi ternyata aku tidak menemukan apa-apa."
Gadung Lelono melihat sejenak ke luar jendela.
"Sebetulnya apa yang terjadi dengan Lasih itu melibatkan anak buah saya," kata lelaki itu.
Pangeran Arcapada berpaling, menatap bingung pada Pimpinan Pasukan Khusus itu.
"Pangeran tidak salah dengar. Beberapa anak buah saya memang terlibat," ujar Gadung Lelono lirih. "Dini hari tadi, beberapa dari mereka sedang mengadakan pertemuan di sini, membahas situasi terakhir Istana Hinggiloka. Salah seorang dari mereka pergi sebentar ke kamar kecil, namun ketika ia kembali, ia melihat Pandan Selasih tampak sedang menguping pembicaraan mereka. Pangeran tahu, isi pembicaraan itu amat penting dan rahasia. Maka tanpa pikir panjang anak buah saya tadi meringkus Lasih. Ia mencekiknya dari belakang! Saya akui, anak buah saya itu sudah berlebihan dalam bertindak. Cekikan yang awalnya hanya untuk gertakan saja itu berubah menjadi kecelakaan. Anak buah saya tadi kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Demikian pula Pandan Selasih, anak perempuan itu malah lebih parah, jatuh tergulung-guling ke bawah.
"Begitulah yang terjadi, Pangeran. Kejadian ini adalah sebuah kecelakaan."
"Ceroboh sekali anak buah Paman," ujar Pangeran Arcapada tersulut marah. "Itu kan membahayakan nyawa orang."
Gadung Lelono mengangguk-angguk.
"Pangeran benar sekali. Saya langsung memecatnya dari keanggotaan Pasukan Khusus," kata Gadung Lelono bernada geram. "Tapi ada yang harus Pangeran ketahui. Beredar isu bahwa Pandan Selasih ditengarai sebagai mata-mata Ludira Mahalaya. Ini mengejutkan sekali, namun tentu tidak boleh dipercaya begitu saja. Sayangnya anak buah saya itu rupanya termakan oleh isu tadi sehingga akhirnya bertindak kelewat batas."
Pangeran Arcapada menarik napas panjang.
"Kasihan Lasih," gumam Sang Pangeran. "Banyak desas-desus yang menyerangnya. Mungkin karena ia diperlakukan istimewa sehingga ada beberapa pihak yang mungkin merasa 'iri'. Pasti Paman sudah tahu, setelah Lasih jatuh, sekarang ini ia dikawal oleh tiga orang prajurit sekaligus. Bayangkan Paman, tiga orang pengawal!"
Gadung Lelono mengangguk-angguk.
"Apakah itu tidak terlalu berlebihan, Paman? Aku sendiri jarang sekali dikawal, kecuali jika aku keluar dari benteng istana. Tapi sekarang Lasih dikawal kemana-mana. Tidak Paman, aku tidak merasa iri pada Lasih, aku hanya heran saja."
"Saya paham, Pangeran," ujar Pimpinan Pasukan Khusus itu. "Baiklah Pangeran, sekarang mari saya antar Anda ke Bangsal Atmaja. Anda perlu berlindung ke sana. Keadaan memang sedang tidak pasti, sehingga kita semua harus bersiap siaga. Serbuan Wirukecu semalam di ruang bawah tanah sudah berhasil kami atasi. Kami sudah menutup semua jalan masuk dengan gundukan batu, tapi ada kemungkinan Satwatiron-Satwatiron jenis lainnya akan menyusul datang."
Pangeran Arcapada mengangguk.
Mereka berdua lalu menuruni tangga batu melingkar.
"Selama ini, serangan-serangan Satwatiron ke Istana Hinggiloka terkesan hanya setengah hati," lanjut Gadung Lelono. "Kami menduga serangan-serangan itu hanya uji coba saja sebelum dilakukan serangan besar-besaran. Nah, padahal serangan uji coba itu saja sudah sangat merepotkan, apalagi jika Satwatiron-Satwatiron itu menyerang secara bersama-sama. Tentu jauh lebih sulit untuk diatasi."
***
Selanjutnya: Bagian 68 - JALMATIRON
KAMU SEDANG MEMBACA
HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]
FantasyLasih, anak perempuan berusia sepuluh tahun, diundang ke Istana Hinggiloka oleh Maharaja Mahagraha. Di sana ia diperlakukan istimewa oleh Sang Maharaja, melebihi anak-anak lain yang juga diundang. Maka beredar selentingan Lasih sesungguhnya anak kan...