Bagian 18 - PERLAKUAN ISTIMEWA

78 5 0
                                    

Dayang-dayang Istana Hinggiloka mengantar Pandan Selasih kembali ke kamar anak perempuan itu. Di sana mereka dengan cekatan mengganti seprai dan sarung bantal dengan seprai dan sarung bantal berwarna merah. Merah terang menyala! Dan pakaian-pakaian milik Lasih semuanya ditukar dengan pakaian baru berwarna merah pula. Terakhir Lasih diberi selimut yang berwarna merah juga.

Untuk beberapa waktu Pandan Selasih hanya bisa diam melihat hal itu berlangsung di depan matanya. Lasih terpana. Apalagi kemudian barang-barang miliknya yang lain juga diganti dengan yang berwarna merah - termasuk sapu tangan, ikat rambut, sandal, dan sisirnya beserta beberapa lagi benda lainnya.

"Apakah semua ini kehendak Maharaja?" bisik Pandan Selasih lirih, menanyakan sesuatu yang ia sendiri sudah tahu jawabannya.

Para dayang hanya mengangguk.

Sementara itu teman-teman sekamarnya menonton peristiwa itu dengan wajah keheranan. Mayang Srini, Arumdalu, dan Laksmi mulai berbisik-bisik bertiga saja. Hal ini membuat Pandan Selasih merasa tak enak.

Kedua dayang tadi meninggalkan ruangan setelah memastikan malam ini Pandan Selasih memakai gaun tidur berwarna merah menyala.

"Ada apa denganmu, Lasih? Mengapa barang-barangmu ditukar menjadi berwarna merah semua?" tanya Mayang Srini.

"Aku tidak tahu," sahut Pandan Selasih, merapikan penutup wajahnya yang kini berwarna merah pula.

"Kau tidak tahu? Masa sih, aneh sekali kalau kau sampai tidak tahu, Lasih," ujar Mayang Srini lagi dengan nada tidak percaya.

"Aku berkata yang sesungguhnya, Mayang. Aku benar-benar tidak tahu," ujar Pandan Selasih mencoba tetap tenang. Lasih sadar bahwa hal ini memang akan menimbulkan tanda tanya bagi anak-anak yang lain."Tadi aku baru saja menghadap Maharaja. Beliau yang menghendaki ini semua."

"Benarkah?" tanya ketiga anak perempuan lainnya bersamaan.

"Aku sudah hampir seminggu tinggal di sini, tapi aku belum pernah bertatap muka dengan Maharaja Mahagraha. Apalagi sampai berbincang-bincang dengan beliau," kata Laksmi. "Kurasa kau pasti lare winih istimewa, Lasih."

Lasih tertegun.

"Kurasa itu memang perlakuan istimewa," ujar Arumdalu sependapat, lalu berkata, "Apakah Maharaja menyebut-nyebut nama kami juga?"

"Tidak, Arum. Dan aku juga hanya sebentar saja bersama Maharaja. Beliau hanya menanyakan tentang keadaanku. Terakhir, mulai sekarang, aku diminta untuk berpenampilan serbamerah, dan tak boleh mengikuti latihan olah bela diri," sahut Pandan Selasih.

"Nah, bayangkan. Maharaja sampai memberi kekhususan-kekhususan seperti itu secara langsung padamu. Jadi, benar kan bahwa kau ini istimewa?" kata Arumdalu. Lalu dengan nada sedih berkata, "Jadi, kalau begitu, apakah kami kurang istimewa di mata Maharaja ya?"

"Ayolah Arum, Laksmi, Mayang, kalian semua istimewa. Buktinya kalian dipilih menjadi lare winih. Barangkali saat ini aku yang sedang diperhatikan, atau sedang lebih diistimewakan. Kurasa lain kali giliran kalian yang diperlakukan semacam ini."

Ketiga teman sekamar Lasih itu saling berpandangan.

"Ah, aku tidak yakin," ujar Mayang Srini kemudian. "Kurasa kau memang mempunyai sesuatu, Lasih. Sesuatu yang membedakan dirimu dengan kami. Satu hal yang sudah pasti adalah kau mengenakan penutup wajah."

Pandan Selasih tertegun lagi. Tapi ia segera ingat ucapan Maharaja, bahwa ia boleh menanggalkan penutup wajah itu selama berada di Istana Hinggiloka.

Tiba-tiba Lasih terpikir untuk membuka penutup wajahnya di hadapan teman-teman sekamarnya. Mungkin tidak akan terjadi apa-apa. Maka pelan-pelan Pandan Selasih membuka ikatan tali dan menarik penutup wajah itu. Maka tampaklah wajahnya yang amat cantik memesona.

"Nah, sudah kubuka penutup wajahku untuk kalian," kata Pandan Selasih, sedikit menahan napas, mengira-ngira seperti apa pendapat teman-teman sekamarnya.

"Wah! Lasih, kau ternyata cantik sekali," ujar Arumdalu setelah melongo sesaat.

"Iya, kau cantik sekali Lasih," tambah Laksmi terpesona. "Mengapa kau selalu menutupinya? Untuk apa? Wah, kurasa Dibal Patigaman pasti akan semakin menaksir dirimu jika melihat wajahmu ini."

Untuk sesaat tampaknya mereka lupa sedang membahas perlakuan istimewa Maharaja pada Lasih.

"Aku sudah memutuskan untuk menanggalkan penutup wajahku jika aku sedang bersama kalian di dalam kamar," kata Pandan Selasih. "Nah, kuharap kalian tidak berlebihan lagi dalam menilaiku sebagai lare winih istimewa. Kita semua adalah sama-sama lare winih, jadi kurasa kita sama-sama istimewa. Selama ini aku menutupi wajahku atas permintaan Nenekku, namun Maharaja menyilakan aku untuk membukanya selama berada di dalam Istana Hinggiloka."

Arumdalu dan Laksmi mengangguk-angguk, sementara Mayang Srini tidak berkata apa-apa.

"Tapi, apakah tidak ada hal lainnya yang kau sembunyikan dari kami, Lasih?" ujar Mayang Srini lirih. Menilik nada ucapannya, kata-kata Mayang Srini mengandung sindiran.

"Apa maksudmu?" Lasih balik bertanya.

"Yah, mungkin saja kau memiliki sesuatu. Misalnya suatu kekuatan, atau hal-hal yang semacam itu. Kurasa, jika kau mau, tidak apa-apa kau menceritakannya pada kami," kata Mayang Srini. "Itu bila kau menganggap kami ini benar-benar temanmu."

Pandan Selasih tiba-tiba paham maksud Mayang Srini. Rasanya, apalagi kalau bukan tentang 'wajah bertuah', yang konon seseorang yang memilikinya bisa mengendalikan makhluk-makhluk lain. Pandan Selasih kembali ingat telah menceritakan tentang Neman-Neman yang patuh padanya itu kepada Mayang Srini dan Andhaka di dalam kereta.

"Lasih memiliki suatu kekuatan?" sela Arumdalu. "Ah, aku tidak mengerti maksudmu, Mayang. Apakah kau tidak terlalu mengada-ada?"

"Aku kan hanya bertanya saja," kelit Mayang Srini

"Iya, tapi kedengarannya kau memojokkan Lasih," tambah Laksmi. "Tapi, sudahlah. Aku sudah senang bisa mengenal wajah cantik Lasih. Lagipula, tak perlu kita menceritakan keunggulan kita pada orang lain, bukan? Kata orang bijak, tak perlu menjelaskan tentang dirimu kepada orang lain, karena jika mereka temanmu mereka tidak perlu itu, dan jika mereka musuhmu mereka tidak percaya itu."

Pandan Selasih tampak tersenyum tanggung.

"Hmm, hari sudah sangat larut. Sebaiknya kita tidur saja," kata anak perempuan bergaun merah itu.

Yang lainnya mengangguk setuju.

Tapi Pandan Selasih sendiri agak sulit tidur. Ia berbaring di ranjang dengan mata terbuka. Udara yang gerah membuatnya gelisah dan tetap terjaga. Terpikir olehnya tentang penutup wajah dan pakaian serbamerahnya. Mau tak mau ia merasa penasaran tentang kedua hal itu. Maka dalam hati Lasih bertekad untuk mencari tahu alasan mengapa ia diperlakukan demikian. Namun sebagian hatinya yang lain mengatakan bahwa ia harus hati-hati dan tidak ceroboh akan hal ini. Maka ia berniat mengungkapnya dengan cara sehalus mungkin.

***

HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang