"Mengherankan sekali, sampai kapan kita harus menunggu?" gumam Prajurit Ketua Regu, tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya. Saat itu ia bersama para pengungsi masih duduk-duduk, menunggu kabar dari sejumlah prajurit yang diutus untuk melihat keadaan Istana Hinggiloka. Tapi utusan itu tidak kunjung kembali.
Semuanya memandang ke arah benteng istana. Asap hitam tipis masih menguar. Panji-panji di puncak-puncak menara mengalun pelan diembus angin. Istana Hinggiloka terlihat mencekam.
"Kelihatannya ada yang tidak beres," ujar Pangeran Arcapada. "Seharusnya mereka cepat kembali kemari."
"Mungkinkah Istana Hinggiloka sudah dikuasai oleh Ludira Mahalaya, Pangeran?" kata Andhaka. "Dan prajurit-prajurit itu ditahan di sana. Sedangkan pasukan Dindang Patrem yang tadi diburu oleh Dok Wisanaka hanyalah sisa-sisa pertempuran saja."
"Atau istana itu sebetulnya dalam keadaan kosong," ujar Dibal menimpali. "Maharaja, Permaisuri, dan orang-orang penting sudah meninggalkan istana sejak lama, melewati lorong khusus."
Semuanya saling berpandangan.
"Itu semua mungkin saja," kata Pandan Selasih, lalu berpaling pada Prajurit Ketua Regu, dan berkata, "Tapi saya rasa, perlu dikirim lagi utusan untuk memeriksa ke sana, Tuan Prajurit. Mungkin kami para lare winih bisa ke sana."
"Kecuali dirimu, Nak. Kau belum bugar dan masih dalam perawatan," sela Ki Waskita si Kepala Tabib pada Pandan Selasih. "Kau sebaiknya tidak ikut ke sana."
Prajurit Ketua Regu tampak berpikir-pikir.
"Kita tunggu beberapa waktu lagi," katanya, "sambil kita pantau keadaan benteng istana dari sini saja. Jika ada sesuatu yang tampaknya membahayakan, maka kita harus melanjutkan pengungsian ini, menuju hutan utara."
Yang lainnya mengangguk-angguk sependapat. Mereka terus memandangi benteng istana itu sambil sesekali berbicara.
Dalam pada itu senja telah datang. Langit barat berwarna jingga. Namun prajurit-prajurit utusan itu tetap saja belum tampak batang hidungnya.
Barulah beberapa saat sebelum matahari terbenam, terlihat rombongan orang bergerak dari arah benteng istana menuju ke para pengungsi. Jumlahnya cukup banyak. Mereka memanggul sesuatu di pundak, kelihatannya seperti gulungan-gulungan kain dan tongkat-tongkat bambu.
"Lihat, akhirnya ada yang datang kemari," kata Prajurit Ketua Regu.
"Tapi siapa mereka? Mereka juga memanggul-manggul sesuatu," kata Pangeran Arcapada.
Prajurit Ketua Regu segera menyiagakan prajurit pengawal. Mereka dan para pengungsi memandangi rombongan yang datang itu dengan wajah bertanya-tanya.
Akhirnya rombongan dari benteng istana itu tiba di tempat para pengungsi. Prajurit yang diutus tadi segera menjelaskan apa yang terjadi.
"Banyak sekali prajurit yang terluka di sana, Ketua. Istana kekurangan tenaga, maka kami diminta untuk membantu mengatasinya dengan membalut luka-luka mereka. Kebanyakan terluka parah dan nyaris kehabisan darah. Itulah yang kami lakukan, mendahulukan mereka yang nyaris tewas, sehingga menunda memberi kabar ke sini," ujar prajurit utusan.
Prajurit Ketua Regu mengangguk-angguk memaklumi.
"Dan kami supaya membawa kain-kain tenda ke sini," lanjut si Utusan. "Untuk malam ini para pengungsi diminta tidur dalam tenda. Benteng istana akan diperiksa dahulu secara menyeluruh sebelum dinyatakan aman untuk ditempati lagi."
Maka kesibukan segera terjadi. Rombongan yang datang dari istana itu dengan cekatan mendirikan tenda-tenda. Prajurit Ketua Regu sibuk berunding membagi peruntukan tenda-tenda itu. Ada barisan tenda untuk lare winih, untuk peserta Pesta Windon, untuk para menteri, untuk pegawai istana, dan lainnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]
FantasyLasih, anak perempuan berusia sepuluh tahun, diundang ke Istana Hinggiloka oleh Maharaja Mahagraha. Di sana ia diperlakukan istimewa oleh Sang Maharaja, melebihi anak-anak lain yang juga diundang. Maka beredar selentingan Lasih sesungguhnya anak kan...