Setelah sarapan bersama Pangeran Arcapada, Pandan Selasih kembali ke Bangsal Atmaja. Semalaman ia telah membaca buku-buku kisah Putri Merah. Ia merasa amat mengantuk sekarang.
Di ruang tidur tampak lare-lare winih perempuan duduk-duduk sambil mengobrol. Mereka berhenti berbicara ketika Lasih masuk. Tapi Lasih tidak terlalu peduli. Anak perempuan berpakaian serbamerah itu hanya memandang mereka sepintas, lalu dengan santai menjatuhkan dirinya di tempat tidur. Ia memejamkan matanya yang telah terasa begitu berat.
Rasanya baru beberapa kejap ia memejamkan mata, pundak Lasih terasa diguncang-guncang.
"Bangun, Nak. Tolong bangun," terdengar suara seorang wanita membangunkan Lasih.
Dengan berat Lasih membuka sebelah matanya. Dilihatnya seorang perempuan berpakaian kebaya berenda putih memandanginya. Melihat model pakaiannya wanita itu adalah salah satu dayang istana.
"Ada... ada apa?" ujar Lasih dengan suara serak.
"Anda ditunggu oleh para lare winih di ruang makan. Sudah saatnya santap siang," ujarnya sedikit membungkuk.
"Sekarang sudah waktunya makan siang?" ujar anak perempuan itu kaget.
Rasanya baru saja ia selesai sarapan. Dan Lasih cukup heran bahwa ia ditunggu kedatangannya oleh para lare winih itu. Bukankah mereka sudah tidak peduli lagi padanya?
Pandan Selasih bangkit duduk, mengucek kedua matanya untuk menghilangkan kantuk.
"Apakah salah satu lare winih yang menyuruh Nyai membangunkan aku?"
"Bukan. Aki Guru yang meminta saya membangunkan Anda. Beliau akan makan siang bersama seluruh lare winih," sahut si Dayang.
"Aki Guru? Aki Guru berkenan makan siang bersama para lare winih?" ujarnya. "Baiklah, Nyai. Aku segera ke sana. Terima kasih."
Ruang makan penuh orang seperti biasanya. Namun kali ini suasananya senyap. Orang-orang saling berbicara dengan suara rendah. Bagaimanapun, keadaan belum benar-benar pulih sejak mereka semua bermalam di Bangsal Atmaja tadi malam. Dan kebanyakan lebih memilih diam, lebih menekuni makanan masing-masing ketimbang saling berbicara.
Panji Pataka duduk di kepala meja. Ia dan para lare winih belum mulai makan. Tampaknya mereka sedang menunggu kedatangan Lasih.
"Selamat siang semuanya," sapa Lasih agak kaku.
Panji Pataka tersenyum. Juga lare winih, meskipun terlihat agak berat mengulaskannya.
Lalu, setelah Panji Pataka memimpin doa, mereka semua mulai menikmati hidangan makan siang. Dan sebagaimana meja-meja yang lainnya di ruang makan itu, meja lare winih juga senyap. Mereka memilih menekuni hidangan daripada bercakap-cakap.
"Aku lega bahwa semalam tidak ada serangan lanjutan," ujar Panji Pataka, mengelap mulutnya dengan serbet. Ia dan para lare winih sudah selesai makan.
"Tapi kita tak boleh lengah," lanjut lelaki tua itu. "Kalian harus tahu, para lare winih kelompok pertama sudah disiagakan di perbatasan ibukota. Dan kalian, sebagai lare winih kelompok kedua, akan disiagakan di sekitar Istana Hinggiloka ini."
Panji Pataka menyapukan pandangan pada mereka.
"Tentu saja kami tidak serta merta membebankan ini semua kepada para lare winih. Prajurit perang kerajaan juga telah disiagakan di tempat-tempat tertentu. Kalian ibaratnya adalah benteng tambahan. Dan sebetulnya, kekuatan-kekuatan yang telah kalian miliki adalah untuk menjaga keselamatan diri kalian sendiri. Karena pasukan di bawah kendali Ludira Mahalaya, terus terang, agak sulit diperkirakan kekuatannya. Jadi, masing-masing orang di sini memang, paling tidak, harus bersiaga untuk diri sendiri. Nah, baiklah, ada pertanyaan?"
Andhaka mengangkat tangan.
"Aki Guru, maaf, apakah jadwal pelatihan untuk kami tetap dilanjutkan?" tanya anak laki-laki berambut panjang itu. "Mengingat semakin banyak kejadian di istana ini, saya pikir bisa mengacaukan jadwal itu sendiri."
Panji Pataka minum seteguk dari gelasnya.
"Ya, aku sependapat dengan ucapanmu yang terakhir, Nak. Memang mulai banyak gangguan yang memengaruhi kegiatan kalian," katanya lelaki tua itu. "Aku sudah memutuskan, untuk jadwal selanjutnya hanya aku yang tahu. Tepatnya hanya aku dan Maharaja saja yang tahu. Jadwal yang diberikan oleh Nyai Adicara boleh kalian abaikan saja.
"Oh ya, satu hal lagi, sejak perginya Nyai Adicara dari istana ini, segala penilaian darinya aku nyatakan tidak berlaku lagi. Juga pemberian hukuman. Semuanya sudah dibatalkan."
Para lare winih mengangguk-angguk. Pandan Selasih sendiri cukup senang, sebab hukumannya untuk membersihkan lantai kamar anak perempuan selama tiga hari berturut-turut berarti tidak perlu dilanjutkan lagi.
"Namun dengan pergantian jadwal itu bukan berarti kalian menjadi tidak sungguh-sungguh dalam berlatih. Kalian justru harus lebih bersungguh-sungguh lagi. Kalian mengerti?" lanjutnya.
Para lare winih kembali mengangguk.
"Aki Guru, apakah jadwal kegiatan lare winih yang lalu telah bocor ke tangan orang-orang yang tidak berkepentingan?" tanya Pandan Selasih.
"Mungkin saja," kata Panji Pataka. "Misalnya peledakan Wisma Bidara. Tampaknya ada orang luar yang tahu jadwal kegiatan lare winih, jika dilihat dari peristiwa itu. Ada dua kemungkinan, 'mereka' mencuri jadwal, atau 'mereka' diberi jadwal oleh orang dalam."
"Maksud Aki, orang dalam yang memberi jadwal itu itu adalah Nyai Adicara?" tanya Lasih lagi.
Panji Pataka mengangkat bahu, mengisyaratkan bahwa hal itu mungkin saja begitu.
"Baiklah, kita sudah selesai makan siang," kata Aki Guru itu. "Setelah ini kita berkumpul di Ruang Kepatihan. Kita harus segera membagi-bagi tugas di antara kalian sebagai benteng tambahan tadi. Aku sebetulnya khawatir, kalian tidak punya cukup waktu lagi untuk berlatih, namun akan langsung terjun mengatasi masalah. Nah, kita akan membahasnya di tempat Mahapatih Parasara itu. Mari kita langsung ke sana."
***
Selanjutnya: Bagian 47 - TUGAS TERBARU
KAMU SEDANG MEMBACA
HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]
FantasyLasih, anak perempuan berusia sepuluh tahun, diundang ke Istana Hinggiloka oleh Maharaja Mahagraha. Di sana ia diperlakukan istimewa oleh Sang Maharaja, melebihi anak-anak lain yang juga diundang. Maka beredar selentingan Lasih sesungguhnya anak kan...