Bagian 48 - LASKAR LARE WINIH

52 3 0
                                    

"Oh, mereka semua terjatuh ke jurang!" ujar Pangeran Arcapada yang tengah duduk di dahan pohon. Mata Sang Pangeran terbelalak. Gadung Lelono, Pimpinan Pasukan Khusus Kerajaan Sanggabuana, berada tak jauh darinya.

"Tenang, Pangeran. Tenanglah," ujar lelaki bercambang tebal itu. "Aki Guru telah memperhitungkan segalanya. Kita lihat saja apa yang akan terjadi selanjutnya."

"Hembusan angin yang aku kirimkan pada mereka agaknya terlalu kuat, Paman," kata Pangeran Arcapada dengan nada cemas.

Keduanya tengah berada di atas pohon besar, tak jauh dari tebing tempat para lare winih terpelanting jatuh. Sebenarnya tidak semua lare winih terjatuh. Masih ada Pandan Selasih yang terlihat sedang tiarap beserta tiga orang dewasa lainnya.

Rupanya angin kencang tadi adalah ciptaan Pangeran Arcapada. Ia telah mengerahkan kemampuan Mangsa Buana, kemampuan mengendalikan cuaca. Saat ini angin sudah tidak berembus terlalu kencang lagi. Mereka yang tadi bertiarap juga sudah bangkit lagi.

Pangeran Arcapada dan Gadung Lelono terus memerhatikan tebing. Tiba-tiba sesosok tubuh melesat ke udara dari dalam jurang. Bentuknya seperti kalong, berukuran sebesar anak-anak. Kalong itu mengepak-ngepakkan sayap selaputnya lalu perlahan turun mendarat.

"Itu seekor kalong raksasa?" gumam Pangeran Arcapada.

Sebelum Sang Pangeran berucap lebih banyak, mencuat semacam sulur tumbuhan berwarna hijau yang tumbuh memanjang. Sulur sebesar lengan orang dewasa itu memanjang dan membelit ke sebatang pohon di bibir jurang itu. Dan tak lama kemudian muncul Laksmi Larasati yang memeluk dan memanjati sulur tadi. Mayang Srini muncul di belakangnya. Kedua anak perempuan itu turun dari sulur besar itu.

Terlihat sulur-sulur tadi menggeliat-geliat, lalu sesosok tubuh terangkat naik. Sulur-sulur tadi mengerut dan sosok tadi menjelas menjadi Arumdalu.

Hal itu belum usai. Sesaat kemudian terlihat sepasang telapak tangan besar merah membara menggapai bibir jurang, lalu seseorang melompat naik. Dia adalah Andhaka. Tampak kedua telapak tangannya berukuran jauh lebih besar dari ukuran biasa. Ia mengembangkan jari-jemarinya yang berukuran sebesar buah-buah pisang. Jari-jarinya membara dan menguarkan asap.

Setelah itu seekor biawak besar merayap muncul. Ekornya sangat panjang, bercabang dua, dan berujung runcing seperti mata panah. Ekor-ekor tadi melecut-lecut, membuat ujung mata panahnya bergesekan dan menimbulkan suara berdenting. Sepertinya ujung-ujung ekor itu sekuat logam.

Kemudian naik pula seekor singa muda berbulu abu-abu, sewarna dengan pakaian seragam kelabu muda lare winih.

"Kurasa singa muda itu Dibal Patigaman," gumam Pangeran Arcapada.

Satu demi satu sosok-sosok tubuh mulai muncul dengan beraneka bentuk. Ada yang jari-jari tangan dan kakinya berbentuk cakar panjang, serta ada pula yang tubuhnya tembus pandang. Jika dihitung jumlahnya tepat seperti jumlah lare winih yang tadi jatuh ke dalam jurang. Rupanya alih-alih cedera, para lare winih itu justru muncul lagi dalam keadaan bugar dan memperlihatkan perubahan tubuh mereka.

"Itu pasti hasil pengaruh kabut asap berkelip dari cincin-cincin mereka," kembali Pangeran Arcapada bergumam.

"Ya, Pangeran. Saya rasa Anda benar," sahut Gadung Lelono. "Dan Aki Guru juga benar. Menurutnya, jika seseorang dihadapkan pada bahaya, maka naluri dasarnya akan muncul. Para lare winih itu telah diatur agar jatuh ke dalam jurang yang berbahaya itu. Dan lihatlah, mereka muncul kembali ke permukaan tebing dengan kemampuan khusus masing-masing."

"Ya, Paman Gadung Lelono. Tetapi aku sempat ragu tadi, apakah kekuatan itu akan bisa muncul? Alih-alih muncul, mereka justru bisa celaka karena terpelanting ke jurang yang dalam itu. Tapi ternyata rencana Aki Guru berhasil dengan baik sekali," kata Pangeran Arcapada. Matanya berbinar-binar. "Ayo, Paman. Kita turun dari pohon ini. Kita sambut Laskar Lare Winih itu."

"Jangan tergesa-gesa, Pangeran. Kita lihat dulu apa yang akan dilakukan oleh lare-lare winih itu," cegah Gadung Lelono. "Ada kemungkinan mereka akan marah pada Aki Guru. Kita lihat dulu perkembangannya, Pangeran."

Pangeran Arcapada mengangguk. Ia memahami, mungkin saja ada yang menyadari bahwa hembusan angin yang menjatuhkan para lare winih itu hanya siasat Panji Pataka. Dan mereka akan marah jika menyadari hal itu.

Pangeran Arcapada dan Gadung Lelono mengintai dari sela-sela dedaunan. Tampak makhluk-makhluk itu, atau tepatnya para lare winih, terlihat saling pandang. Wajah-wajah mereka semringah. Barangkali mereka lega karena telah selamat dari bahaya. Atau mungkin merasa senang karena bisa saling melihat hasil pengaruh kabut asap berkelip pada sesama lare winih itu.

"Saya rasa kita tetap di sini saja, Pangeran," kata Gadung Lelono. "Kita hanya akan menampakkan diri jika dipanggil oleh Aki Guru."

Pangeran Arcapada mengangguk setuju.

***


Selanjutnya: Bagian 49 - ACARA BEBAS

HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang