Bagian 79 - MENJABAT KEMBALI

42 3 0
                                    

Pangeran Arcapada dan Mijil memutuskan melanjutkan berjalan menuju benteng istana, karena busur cahaya itu tidak terlihat lagi. Cahaya bulan yang lembut menerangi jalan mereka.

"Tadi siang saya melihat busur cahaya menyambung antara Pandan Selasih dan kawanan burung Dok Wisanaka," kata Mijil. "Dan kita saksikan bahwa anak itu bisa mengendalikan burung-burung dok, sama seperti orang gundul itu. Bedanya si Gundul menggunakan penutup-kepala ini, sedangkan Pandan Selasih tak memakai alat apa-apa."

Pangeran Arcapada diam mendengarkan.

"Pangeran tahu, kemudian terjadilah peristiwa itu. Peristiwa sebagian burung-burung dok yang mengerubuti Menteri Druwiksa dan Nyai Kapti. Saya melihat busur cahaya yang menghubungkan Pandan Selasih dengan burung-burung itu. Saya yakin Pandan Selasih-lah yang mengendalikan burung-burung itu."

"Tapi hanya Menteri Druwiksa dan Nyai Kapti saja yang diserang, sedangkan orang lain tidak. Begitu, bukan?" ujar Pangeran Arcapada.

"Yah, terus terang hal itu juga yang menjadi pemikiran saya, Pangeran."

"Tapi seingatku, Pandan Selasih bahkan tidak berkata apa-apa. Tidak menyuruh Dok Wisanaka untuk menyerang Menteri Druwiksa dan Nyai Kapti sama sekali," kata Sang Pangeran merenung. "Nah, jadi mungkin saja Lasih sebenarnya sedang mencoba mengusir burung-burung yang sedang mengerubuti kedua orang itu, bukan sedang memerintah untuk menyerang."

Mijil mengangguk-angguk pelan.

"Ya, Pangeran. Ini memang membingungkan," kata Mijil mengakui.

"Terus terang saja aku khawatir, kau menuduh Pandan Selasih karena kau terpengaruh ucapan orang-orang yang mengatakan bahwa ia memiliki 'wajah bertuah'. Maka kau merasa, dalam kejadian-kejadian tertentu Pandan Selasih-lah yang bersalah," kata Pangeran Arcapada kemudian.

Mijil terlihat serba salah lagi.

"Sebetulnya saya tidak bermaksud menuduh Pandan Selasih," ujar Mijil. "Tapi, busur cahaya itu benar-benar menghubungkan antara Lasih dan Dok-Dok Wisanaka. Sayang sekali Pangeran tidak ikut melihatnya tadi siang."

"Ya, aku memang tidak melihatnya. Mungkin penutup-kepala ini hanya bisa digunakan untuk melihat busur cahaya jika suasananya gelap," kata Sang Pangeran. "Serupa saat kita tak bisa melihat kabut berkelip dari batu karang Tosan Taranggana jika suasananya tidak gelap gulita."

Mijil mengangguk-angguk.

Mereka melanjutkan langkah menyusuri Padang Parilang yang lengang.

Suara geraman lembut terdengar dari arah belakang mereka. Pangeran Arcapada dan Mijil berpaling. Mereka kaget melihat seekor singa muda tengah membuntuti mereka. Di atas punggungnya duduk seorang anak perempuan berpakaian merah-merah.

"Dibal? Lasih?" ujar Pangeran Arcapada.

Si Baju Merah itu turun dari punggung singa. Dia memang Pandan Selasih. Dan tubuh singa itu sendiri menggelombang dan malih rupa menjadi Dibal Patigaman.

"Mijil. Pangeran. Kalian... kalian berdua hendak kemana?" tanya Dibal dengan napas memburu.

"Kalian sendiri mengapa membuntuti kami?" Pangeran Arcapada balik bertanya.

"Saya bukan membuntuti Anda Pangeran, melainkan mengendus keberadaan Mijil. Karena sudah cukup lama Mijil tak ada di dalam tenda kami, tenda lare winih laki-laki," kata Dibal. Ia lalu berpaling pada Mijil. "Bisa saja kau sedang melakukan sesuatu yang bodoh, kan?"

"Sejak kapan kau peduli dengan urusanku?" tukas Mijil terdengar tersinggung.

"Kurasa kau tahu masalahnya, Mijil. Tugasmu adalah sebagai lare winih. Kau tak boleh pergi diam-diam dari tenda, apalagi dalam keadaan sekarang ini," ujar Dibal.

"Kau menempatkan aku dalam keadaan bersalah oleh ucapanmu itu. Kau licik sekali," kata Mijil. "Apakah kau sedang menjilat di depan Pangeran Arcapada? Dan kemudian kau akan dipilih menjadi ketua lare winih? Huh, aku tidak sudi jika kau yang harus memimpin kami."

"Tunggu," sela Pangeran Arcapada. "Tunggu dulu. Apa yang sedang kalian bicarakan?"

"Dia ingin menjadi ketua lare winih!" kata Dibal dan Mijil saling tunjuk.

Pangeran Arcapada mengernyitkan alis. Perlu beberapa saat bagi Sang Pangeran untuk memahaminya.

"Kalian berdua ingin menjadi ketua lare winih?" tanya Sang Pangeran dengan nada ganjil, seakan tak percaya. "Bukankah saat ini seluruh lare winih sedang menunjukku sebagai ketua? Untuk menggantikan sementara tugas Pandan Selasih?"

Semuanya saling pandang.

"Dan Lasih, bagaimana kau bisa bersama Dibal? Di mana para pengawalmu?" tanya Pangeran Arcapada.

"Kami bertemu di jalan, Pangeran," sahut Pandan Selasih. Lalu si Baju Merah itu mengutarakan bahwa ada suatu dorongan kuat di dalam hatinya untuk kembali ke istana. Dan dengan terpaksa ia mengelabui para prajurit pengawalnya.

"Dorongan hati yang kuat, Lasih? Apakah kau bisa mengatakan pada kami, kira-kira apa, atau siapa yang akan kau jumpai di sana?" tanya Pangeran Arcapada penasaran.

Pandan Selasih menggeleng.

"Saya belum tahu, Pangeran," kata anak perempuan itu.

Untuk beberapa saat semuanya berdiam diri, hanya saling pandang.

"Tujuanku juga ke Istana Hinggiloka," kata Pangeran Arcapada kemudian. "Kalau begitu kita bisa pergi ke sana bersama-sama. Mengenai ketua lare winih, sepengetahuanku yang berhak menunjuk siapa yang menjadi ketua adalah Mahapatih Parasara. Jadi, sekarang aku serahkan lagi jabatan ketua itu pada Pandan Selasih."

Lasih terlihat agak kaget. Sedangkan Dibal dan Mijil saling pandang sengit.

"Apakah kalian berdua keberatan?" tanya Pangeran Arcapada pada Dibal dan Mijil.

"Tidak," sahut Dibal.

"Tidak, Pangeran," sahut Mijil.

"Nah Lasih, kalau begitu, sejak sekarang kau kembali menjadi ketua. Ketua lare winih kelompok kedua. Apa-apa yang harus dilakukan oleh para lare winih tergantung lagi pada keputusanmu."

Lasih tampak berpikir-pikir, namun kali ini gerak-geriknya tenang. Penyerahan jabatan yang cukup tiba-tiba itu, terlihat tidak terlalu memengaruhi sikapnya.

"Harus ada yang memberitahu pada lare winih lain tentang penyerahan kembali jabatan ini," kata Pandan Selasih, "supaya garis perintahnya menjadi jelas untuk semua orang."

Dibal dan Mijil saling pandang. Mereka tampak menyadari mungkin Lasih akan menugaskan hal tersebut kepada salah seorang di antara mereka.

"Kalian berdua, kembali ke perkemahan," kata Pandan Selasih. "Beritahukan pada lare winih lain bahwa aku sudah menjabat sebagai ketua lagi. Dan kuminta tak ada yang coba-coba meninggalkan perkemahan lagi."

"Apa?" ujar Dibal dan Mijil terbelalak. Terlihat mereka berdua tidak mengira dua-duanya diusir untuk kembali ke perkemahan.

"Kalian keberatan? Kurasa aku juga punya wewenang untuk memberi sangsi," kata Pandan Selasih bernada mengancam.

Tampaknya tak ada pilihan lain. Dengan enggan Dibal dan Mijil meninggalkan Pandan Selasih dan Pangeran Arcapada.

***


Selanjutnya: Bagian 80 - BERUCAP LEWAT PIKIRAN

HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang