Bagian 76 - SIAGA LASKAR LARE WINIH

53 4 0
                                    

Pangeran Arcapada dan Kidang Narayana memasuki tenda Ki Waskita, Kepala Tabib Istana. Ada tiga orang yang tengah berbaring berjejer di dalam tanda itu, yaitu Pandan Selasih, Menteri Druwiksa, dan Nyai Kapti.

Ki Waskita tampak heran melihat kedatangan mereka. Dengan isyarat tangan ia mengatakan bahwa Pandan Selasih dan Menteri Druwiksa sedang tidur. Sedangkan yang masih terjaga adalah Nyai Kapti. Wanita tua itu sedang membaca lembaran-lembaran klaras diterangi nyala lentera kecil. Ia mendongak untuk melihat siapa yang datang.

"Pangeran Arcapada?" ujarnya dengan nada heran. Ia menghentikan kesibukannya.

"Bagaimana keadaan Anda, Nyai Kapti? Apakah sudah lebih baik?" tanya Sang Pangeran.

Kepala Perpustakaan itu mengangguk dan mengucapkan terima kasih.

"Nyai Kapti seharusnya juga beristirahat," sela Ki Waskita. "Tapi ia lebih suka membaca atau menulis-nulis sesuatu. Aku memberinya waktu sebentar saja, setelah ini ia harus segera tidur seperti pasien yang lain."

"Anda baik sekali, Ki Waskita. Anda sungguh penuh pengertian," kata Nyai Kapti tulus.

Setelah itu mereka berbicara sebentar tentang beberapa hal yang tidak terlalu penting. Pangeran Arcapada mengeluh dalam hati, mengapa ia mesti dikawal sehingga tidak bebas berbicara begini? Dan, entah mengapa, ia justru membayangkan betapa tersiksanya Pandan Selasih yang dikelilingi oleh tiga orang prajurit pengawal sekaligus!

"Saya akan ke tenda lare winih laki-laki sebentar, Paman," kata Pangeran Arcapada setelah mereka keluar dari tenda Ki Waskita, melewati tiga orang prajurit pengawal Pandan Selasih.

Kidang Narayana mengangguk.

"Mari saya antar," kata Prajurit Ketua Regu itu.

"Bolehkah saya masuk ke tenda mereka sendirian? Paman menunggu di luar saja?"

"Baik, Pangeran."

Di tenda anak laki-laki, terlihat para lare winih tengah melepas lelah. Ada yang duduk-duduk, berbaring, dan sebagian sudah terkantuk-kantuk. Mereka menyambut Sang Pangeran yang masuk ke tenda.

"Ada yang bisa kami lakukan untuk Anda, Pangeran?" tanya Andhaka.

"Tidak ada hal khusus yang harus kalian lakukan," kata Pangeran Arcapada pada semua lare winih. "Aku hanya berharap kalian tetap waspada. Kita sedang berkemah di alam terbuka. Banyak hal yang bisa terjadi di sini, jadi sebagai Laskar Lare Winih kita jangan sampai lengah."

"Apakah ada tanda-tandanya, Pangeran? Bahwa akan terjadi sesuatu?" tanya Dibal.

Pangeran Arcapada menggeleng.

"Tidak, Dibal. Tapi penting sekali untuk bersikap waspada," kata Sang Pangeran.

Mereka semua terdiam beberapa lama. Derik serangga malam mengisi keheningan. Dan pada saat itulah terdengar sayup-sayup suara lolongan. Kedengarannya seperti suara serigala hutan. Lolongan itu kemudian mulai bersahut-sahutan. Namun sebentar kemudian senyap cukup lama. Para lare winih saling berpandangan.

"Ada suara lolongan serigala hutan?" gumam Dibal.

"Apakah dari arah hutan utara?" ujar Andhaka agak terkesiap.

Para lare winih terdiam.

"Aku sendiri tak tahu," kata Pangeran Arcapada lambat-lambat. "Terus terang suara itu agak menyebar, bukan? Dan kedengarannya tak terlalu jauh dari perkemahan kita." Pangeran Arcapada berhenti sebentar, kemudian berkata, "Andhaka, tolong pastikan semua lare winih laki-laki untuk selalu bersiaga. Kalian dapat beristirahat tidur secara bergantian. Kalau ada yang perlu kalian laporkan, aku berada di tenda Prajurit Ketua Regu. Bisa dipahami?"

Lare-lare winih laki-laki mengangguk-angguk.

"Satu lagi, Andhaka," sambung Sang Pangeran. "Pergilah ke tenda lare winih perempuan. Sampaikan apa-apa saja yang kukatakan tadi."

"Baik, Pangeran," sahut Andhaka.

Maka kemudian Pangeran Arcapada meninggalkan tenda para lare winih. Dikawal oleh Kidang Narayana, Sang Pangeran kembali ke tenda mereka berdua.

"Apakah Paman mendengar suara lolongan serigala hutan tadi?" tanya Pangeran Arcapada.

Kidang Narayana mengangguk.

"Ya, Pangeran. Saya akan segera menyiagakan para prajurit untuk berjaga-jaga. Silakan Pangeran masuk ke tenda untuk beristirahat," katanya.

"Baik, Paman," sahut Sang Pangeran.

Kemudian di dalam tenda Pangeran Arcapada duduk menunggu kantuk, sembari merenung, berpikir, sambil menimang-nimang penutup-kepala bertanduk dua milik Bledheg Sela. Ia mengamat-amati benda itu dengan setengah melamun. Tampak bertaburan batu-batu kuning jernih yang dilekatkan pada permukaan bagian dalam benda tersebut.

Pangeran Arcapada sedikit terkesiap. Ia seperti teringat sesuatu.

Kemudian benda itu diletakkannya dengan hati-hati di hadapannya. Sambil memeluk lutut, Pangeran Arcapada merenungi penutup-kepala tadi. Masih setengah melamun ia kembali berpikir-pikir.

Mendadak benda tersebut bergerak, lalu perlahan melayang di hadapan Sang Pangeran. Tentu saja Pangeran Arcapada ternganga. Dan sesaat kemudian benda itu seperti larut di udara dan kemudian melenyap.

"Oh...." Pangeran Arcapada terperanjat kaget menyaksikannya.

***


Selanjutnya: Bagian 77 - BUSUR CAHAYA

HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang