Bagian 77 - BUSUR CAHAYA

44 3 0
                                    

Pangeran Arcapada memandang berkeliling di dalam tendanya. Penutup-kepala itu betul-betul lenyap tak berbekas. Sang Pangeran seolah terpaku saking kagetnya.

Tapi ia tak perlu menunggu terlalu lama. Bagaikan menyaksikan kelopak-kelopak bunga yang bermekaran dengan cepat, muncullah seorang anak laki-laki di hadapannya. Rambutnya kamerahan seperti rambut bayi, tengah memegang penutup-kepala yang lenyap tadi.

"Mijil!" ujar Pangeran Arcapada nyaris bersuara keras.

Mijil meletakkan telunjuk di bibirnya.

"Maafkan saya, Pangeran. Saya diam-diam masuk ke dalam tenda ini. Dan saya tak tahan untuk tidak menggoda Anda dengan melenyapkan penutup-kepala ini."

Pangeran Arcapada langsung memasang senyum masam, tapi ia cukup berlapang hati menghadapi candaan Mijil.

"Jadi, kau juga bisa melenyapkan benda-benda?" tanya Sang Pangeran kemudian.

Mijil mengangguk.

"Saya telah berlatih sedikit, Pangeran. Ternyata, setelah memusatkan pikiran sejanak, saya bisa membuat benda yang saya pegang tidak kelihatan, lenyap seperti sekujur badan saya."

"Benarkah?" ujar Pangeran Arcapada terkesima.

Mijil mengangguk-angguk.

"Apakah aku juga akan lenyap bila bergandengan tangan denganmu?"

Mijil mengangguk lagi.

"Bagus sekali, Mijil," kata Pangeran Arcapada bersemangat. "Berarti aku bisa meminta bantuanmu untuk membawaku keluar dari perkemahan ini?"

"Pangeran hendak kemana?" ujar Mijil mengernyit.

"Aku perlu masuk ke Istana Hinggiloka, Mijil. Ada sesuatu yang harus kulakukan di sana," sahut Sang Pangeran terlihat terburu-buru saking bersemangatnya. "Tapi aku tak ingin ada yang tahu. Untuk itulah aku minta bantuanmu."

Lolongan serigala hutan di kejauhan menyela mereka.

"Lolongan itu lagi," kata Mijil.

"Memangnya ada apa dengan suara lolongan itu?" tanya Pangeran Arcapada.

"Kedengarannya seperti sedang menunggu perintah untuk menyerang," sahut Mijil.

"Maksudku menyerang perkemahan ini?"

"Iya, Pangeran, mungkin saja. Saya kira tempat inilah yang paling dekat dengan serigala-serigala itu."

Pangeran Arcapada tertegun.

"Oh ya, Mijil. Tadi siang apa sebenarnya yang ingin kau katakan padaku? Katamu kau telah melihat sesuatu. Dan sesuatu itu mengandung bahaya besar yang tersembunyi. Apa maksudmu?"

Mijil terdiam.

"Maafkan saya, Pangeran. Rasanya saya tidak jadi mengatakannya sekarang. Karena... karena saya takut salah lihat. Saya perlu meyakinkan diri dulu," kata Mijil, terlihat serba salah.

"Begitukah?" ujar Pangeran Arcapada. "Ya, baiklah. Sebetulnya aku penasaran, Mijil. Tapi kita memang tak boleh berprasangka, apalagi jika tidak yakin."

"Jadi, kita berangkat sekarang?"

Sang Pangeran mengangguk.

Mereka berdua harus melewati prajurit-prajurit yang berjaga di sekeliling perkemahan. Tangan Mijil mencengkeram lengan Pangeran Arcapada, tangan yang satunya membawa penutup-kepala milik Bledheg Sela. Pangeran Arcapada mengatakan bahwa lebih baik benda itu dibawa kalau-kalau diperlukan nanti. Lalu setelah Mijil memusatkan pikiran sebentar, keduanya menjadi tembus pandang, kemudian melenyap dari pandangan.

Sangat mudah lolos dari pengawasan para prajurit penjaga. Keduanya menjauhi areal perkemahan itu dengan bergegas.

"Nah, kita sudah cukup jauh," ujar Mijil. Keduanya kembali menampakkan diri. Mijil melepaskan cengkeramannya pada lengan Pangeran Arcapada.

Terdengar kembali lolongan serigala hutan. Mijil menengok ke arah perkemahan. Ia sedikit terlonjak.

"Cahaya itu," ujar Mijil. "Cahaya itu muncul lagi. Lihat Pangeran, ada busur cahaya kuning jernih yang menghubungkan perkemahan kita dengan arah hutan utara."

"Cahaya apa? Aku tidak melihatnya," kata Pangeran Arcapada.

"Cahaya itu serupa benar dengan sinar yang menghubungkan antara pemakai penutup-kepala ini dengan Satwatiron tadi siang. Hubungan cahaya itulah yang membuat para Satwatiron mematuhi si pemakai benda ini," kata Mijil. "Saya semakin yakin, tapi hanya saya yang bisa melihatnya, Pangeran. Karena Anda tidak melihat apa-apa."

Pangeran Arcapada terdiam, mengernyit.

"Cahaya itu berasal dari seseorang di perkemahan itu yang sedang berhubungan dengan Satwatiron. Seseorang yang sedang berbincang dengan serigala-serigala di arah hutan utara itu. Mungkin sedang memberi perintah atau hal yang semacamnya."

"Kau menduga hal seperti itu, Mijil?" tanya Pangeran Arcapada, disambut anggukan mantap Mijil. "Tapi, siapa orangnya? Apakah kau tahu?"

"Saya menduga orang itu Pandan Selasih," kata Mijil lirih.

"Apa? Pandan Selasih?" ujar Pangeran Arcapada kaget. "Kau jangan sembarangan menuduh. Kita tidak melihatnya secara langsung, bukan? Bisa saja cahaya itu muncul dari orang lain."

"Bagaimana kalau kita kembali ke perkemahan? Kita langsung menuju tenda Pandan Selasih untuk membuktikannya. Kita lihat apakah cahaya itu memang keluar dari dirinya."

"Oh, tapi kita sudah cukup jauh dari perkemahan," keluh Pangeran Arcapada. "Urusanku sekarang adalah ke Istana Hinggiloka. Lagipula aku tidak bisa ikut melihat cahaya itu."

Dalam keadaan bimbang begitu Sang Pangeran meminta penutup-kepala yang dipegang Mijil lalu memakainya. Sesaat kemudian ia terlonjak.

"Demi Yang Mahakuasa," ujar Pangeran Arcapada. "Sekarang aku bisa melihat cahaya itu! Apakah... apakah karena aku memakai penutup-kepala ini? Tapi sinarnya sangat samar."

Mijil ikut kaget. Tapi keduanya segera menyadari manfaat lain penutup-kepala itu.

"Iya, Mijil. Sekarang aku benar-benar bisa melihatnya. Samar-samar ada cahaya kuning jernih yang mencuat dari perkemahan kita menuju arah hutan utara, lalu menyebar di sana. Oh, aku tak menyangka ada kegunaan lain penutup-kepala ini."

Mendadak Pangeran Arcapada tergoda untuk kembali ke perkemahan.

"Kurasa kita kembali saja ke perkemahan, Mijil. Aku ingin tahu cahaya itu bersumber dari mana."

"Jadi, Pangeran batal menuju istana?" tanya anak laki-laki berambut bayi itu.

Belum sempat Pangeran Arcapada menjawab, cahaya samar itu tampak meredup, kemudian lenyap. Berganti dengan kegelapan malam di bawah cahaya bulan. Suara lolongan serigala hutan, yang tadi terdengar bersahut-sahutan, kini ikut senyap.

Pangeran Arcapada dan Mijil saling pandang.

***


Selanjutnya: Bagian 78 - KETEGUHAN HATI

HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang