Bagian 16 - DUA PERMINTAAN

78 5 0
                                    

Letak Pendopo Gadhing ternyata tak jauh dari Bangsal Atmaja. Hanya dipisahkan oleh sepetak taman kecil yang terbuka, sedangkan areal Bangsal Atmaja sendiri tampak dipagari jeruji-jeruji besi yang terlihat kokoh.

Nyai Adicara dan Pandan Selasih pun segera tiba di tempat itu. Tampak seseorang sedang duduk di kursi utama besar yang penuh ukiran. Mereka berdua segera menangkupkan tangan sebagai tanda hormat.

"Hormat hamba, Yang Mulia Maharaja. Hamba datang bersama Pandan Selasih, sesuai titah Paduka," kata Nyai Adicara.

"Terima kasih, Nyai. Tinggalkan kami berdua di sini," kata Maharaja.

"Daulat, Gusti," ujar Nyai Adicara, menangkupkan tangan, membungkuk hormat. Lalu wanita itu segera undur diri.

Maharaja Mahagraha seorang lelaki yang gagah, tegap, dan sorot matanya berwibawa. Walaupun sorot matanya tergolong tajam namun terasa penuh kasih. Ia memerhatikan Pandan Selasih sebentar.

"Silakan duduk, Nak," katanya lembut. "Selamat datang di Istana Hinggiloka."

"Terima kasih, Gusti," sahut anak perempuan itu.

Lasih duduk di bangku di seberang kursi utama.

"Bagaimana perasaanmu saat ini? Masih teringat Nenekmu?"

Pandan Selasih mengangguk.

"Benar, Gusti. Hamba... selalu teringat pada Nenek hamba. Selama ini hamba tidak pernah berpisah jauh darinya. Hamba merasa... rindu Nenek."

Maharaja mengangguk-angguk pelan.

"Gadung Lelono, dan Aki Wiring dari Kerajaan Gowok Gading, telah melaporkan padaku tentang ledakan itu. Ya, ledakan yang membuat rumah panggung kalian hancur lebur menjadi onggokan debu. Sayang sekali, berdasarkan hasil pemeriksaan, tidak ditemukan jejak apapun. Semuanya sudah terhapus oleh air hujan. Jadi, seumpama Nenekmu masih hidup pun, para prajurit pemeriksa tidak akan berhasil menemukan jejak kepergiannya. Untuk itu aku menyampaikan rasa prihatin padamu."

Pandan Selasih diam mematung. Tiba-tiba matanya tampak berkaca-kaca.

"Apa yang kukatakan tadi memang baru pemeriksaan awal. Masih dibutuhkan pemeriksaan lebih lanjut dengan memerhatikan kejadian-kejadian lainnya. Misalnya munculnya gerombolan serigala berkaki enam itu. Mungkin saja ada kaitannya antara kemunculan Neman-Neman itu dengan peledakan rumahmu. Itu mungkin saja."

Pandan Selasih menyusut air matanya dan membetulkan penutup wajahnya yang sedikit melorot.

"Nah, ada yang ingin kau tanyakan padaku, Nak?"

Pandan Selasih mengangguk.

"Ada, Gusti. Hamba mohon ampun Gusti, kalau boleh tahu, akan berapa lama hamba berada di istana ini? Mohon ampun, Gusti, hamba hanya ingin tahu."

"Semuanya tergantung pada kesungguhan kalian para lare winih," kata Maharaja. "Aku tentu saja mempunyai ukuran-ukuran tertentu untuk menilai apakah pelatihan kalian di sini berhasil atau tidak, sudah cukup atau belum, dan lainnya. Jadi, saranku, bersungguh-sungguhlah kau dalam belajar dan berlatih."

"Daulat, Gusti."

"Lagipula, untuk saat ini, Desa Larang Dubang sedang tidak aman. Dan kau juga akan sendirian di sana tanpa Nenekmu. Kurasa jauh lebih baik jika kau berada di sini, bukan?"

"Daulat, Gusti."

"Baiklah. Oh ya, ngomong-ngomong tentang kain penutup wajahmu, apakah itu atas permintaan Nenekmu? Apakah kau merasa risih memakainya, Nak?"

Pandan Selasih mengangguk samar.

"Hamba memang merasa agak risih, Gusti. Hamba menjadi kagok bila bertemu dengan orang lain. Tapi Nenek meminta hamba memakaianya. Katanya, itu cara Nenek melindungi hamba."

Maharaja tiba-tiba tersenyum.

"Kau boleh membukanya selama berada di dalam Istana Hinggiloka. Ya, kau boleh melepasnya selama berada di sini. Tapi kalau kau ingin tetap memakainya, itu terserah padamu saja," ujar Maharaja, berhenti sejenak, lalu berkata, "Hanya saja kuminta, mulai dari sekarang, kau ganti kain penutup wajahmu itu dengan kain lain yang berwarna merah."

Pandan Selasih terkesiap dan mengernyit heran. Ia teringat pesan Nyai Sirih, neneknya, untuk patuh pada Maharaja. Maka bila Maharaja membolehkannya membuka penutup wajah itu artinya Lasih boleh melakukannya. Tetapi yang menjadi pertanyaan, bila ingin tetap berpenutup, mengapa harus dengan kain berwarna merah?

Saat itu Maharaja membunyikan lonceng kecil. Tak lama datanglah dua orang dayang ke Pendopo Gadhing itu. Masing-masing membawa setumpuk lipatan kain-kain berwarna merah dan sejumlah benda lain yang juga berwarna merah.

"Tidak hanya penutup wajah, tapi sejak saat ini, kuminta kau selalu berpakaian merah-merah, Nak. Juga untuk barang-barangmu yang lain. Itu penampilan khususmu. Kau tahu, seperti halnya Nyai Sirih, aku pun bermaksud melindungimu dengan caraku," bisik Maharaja, mecondongkan badannya pada anak perempuan itu, seolah-olah khawatir ucapannya didengar oleh para dayang.

Maharaja Mahagraha kemudian meminta salah satu dayang mengganti penutup wajah Pandan Selasih dengan kain halus berwarna merah. Dayang itu dengan hati-hati melaksanakan permintaan Maharaja tersebut. Penutup wajah itupun telah berganti warna.

Maharaja tampak tersenyum kecil.

Pandan Selasih sudah akan bertanya mengapa ia diharuskan berpenampilan serbamerah, namun tiba-tiba tubuh Maharaja gemetar. Anak perempuan itu tentu saja kaget, juga kedua orang dayang itu ikut kaget. Terlihat kedua mata Maharaja tak lepas menatap Lasih.

"Sebetulnya... sebetulnya ada dua hal yang kuminta darimu, Nak," kata Maharaja dengan suara bergetar dan terburu-buru. "Yang pertama, seperti kubilang tadi... mulai sekarang, pakailah selalu barang-barang berwarna merah. Dan yang kedua... yang kedua adalah, apapun peran-mu nanti di istana ini, janganlah kau menjadi seorang pendekar. Jauhilah latihan-latihan olah bela diri dan sejenisnya. Ingat itu, Pandan Selasih, laksanakan dua permintaanku itu."

Pandan Selasih mengangguk-angguk meskipun bingung.

Tubuh Maharaja semakin gemetar hebat. "Sekarang lekas... lekas kembali ke kamarmu, Nak. Tinggalkan saja aku. Kalian dayang-dayang, bawakan pakaian dan barang-barang itu ke kamar anak ini. Lekas..."

Sesungguhnya Pandan Selasih ingin sekali menolong Maharaja, namun Sang Maharaja malah bersungguh-sungguh menyuruhnya pergi. Nadanya seperti mengusir secara halus. Maka anak itu beserta kedua dayang tadi meninggalkan Pendopo Gadhing. Sebelum berlalu Lasih sempat melihat Maharaja Mahagraha menyilangkan kedua tangannya, mencengkeram kedua pundaknya sendiri, menggigil seperti orang yang sedang kedinginan.

***

HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang