Pandan Selasih susah payah menahan kantuknya. Ia tidak ingin tidur di sisa malam ini. Ia masih penasaran dengan trenggiling-trenggiling bersisik biru itu. Lasih yakin sekali Satwatiron-Satwatiron itu mendengar, dan akan patuh pada perintahnya tadi, untuk menggali sumbatan tanah meskipun ia memerintahkannya hanya lewat pikiran. Hanya saja waktunya tidak mencukupi karena Panji Pataka keburu datang tadi.
Anak perempuan berbusana serbamerah itu menegakkan badan. Ia hanya berpura-pura tidur saja. Ia mengedarkan pandangan. Para lare winih yang lain terlihat tertidur pulas. Saat ini mereka semua masih berada di tambang rahasia. Para pekerja tambang yang jumlahnya tak banyak itu, telah meninggalkan tempat itu, termasuk Panji Pataka dan prajurit pengawal Lasih.
Pandan Selasih perlahan bangkit. Ia berjingkat menghampiri obor ukur untuk memeriksa waktu. Terlihat sisa minyak masih berada di atas garis waktu pagi. Artinya di luar sana matahari belum terbit.
"Masih ada sedikit waktu sebelum pagi," gumamnya. Anak perempuan itu, setengah mengendap-endap, melangkah ke arah perginya para pekerja tambang. Lasih berharap ia bisa menemukan jalan keluar dari tambang tersebut.
Pandan Selasih menemukan sebuah lorong di sudut tambang. Lorong itu bertelundakan melingkar naik. Lasih menapakinya perlahan, diterangi obor yang dipasang di beberapa bagian.
Cukup panjang juga telundakan itu sehingga tampaknya telah membawa Lasih jauh di atas permukaan tanah. Anak itu agak ragu untuk melanjutkan langkahnya, karena rasanya ia sedang menaiki anak tangga yang salah. Ia bermaksud menjumpai trenggiling-trenggiling bersisik biru di ruang bawah tanah tingkat pertama. Mestinya tangga itu hanya setinggi beberapa tombak saja, bukan terlalu tinggi seperti ini. Seperti sedang mendaki tangga sebuah menara saja.
Lasih berhenti melangkah, bermaksud ingin turun lagi, namun ia mendengar suara orang yang sedang berbicara dari arah atas tangga.
"Nyai Kapti si Kepala Perpustakaan itu memang cerdik," kata suara seorang lelaki. "Ia bisa mendapatkan beberapa kenyataan mengenai mantan dukun bersalin itu."
"Memang benar," sahut suara lelaki yang lain. "Soalnya Nyai Kapti sudah berhasil mengorek sejumlah keterangan dari anak perempuan berbaju merah itu. Ia pernah bertanya bagaimana kebiasaan Nyai Sirih, nenek anak itu. Anak itu memeragakan bagaimana cara neneknya memasak, cara neneknya menghaluskan bumbu dapur, cara neneknya mencuci beras, dan hal-hal lain. Bahkan kebiasaan Nyai Sirih yang gemar mengunyah daun sirih dan mengamati air ludahnya berlama-lama, juga diceritakan. Hmm, itu hal-hal yang sangat sepele, bukan? Namun jika mengingat kemampuan Nyai Kapti, bisa jadi justru hal-hal itulah yang penting."
"Ya, kau benar. Dan kudengar ada yang mengusulkan, sebaiknya anak perempuan berbaju merah itu dibunuh saja. Itu akan lebih baik bagi semuanya."
Lasih terkesiap. Sejak awal ia memang menduga bahwa percakapan itu ada kaitannya dengan dirinya, karena nama neneknya disebut-sebut. Namun ia sama sekali tidak menduga kalimat-kalimat terakhir yang didengarnya.
Dirinya akan dibunuh?
Pandan Selasih menajamkan telinganya untuk mendengarkan apa yang akan dikatakan selanjutnya oleh mereka. Ah ya, siapakah mereka? Pandan Selasih benar-benar penasaran. Ia merasa harus mengintip mereka yang sedang bercakap-cakap itu. Namun mendadak nalurinya merasakan akan adanya bahaya yang dekat. Belum sempat Lasih berpaling, dalam sekejap seseorang telah mencekiknya dari belakang.
Pandan Selasih memekik tertahan. Ia langsung berontak. Sayang sekali, tenaganya tak sebanding. Cekikan tiba-tiba itu membuatnya cepat kehabisan napas. Namun dengan sisa tenaganya, Lasih menyikutkan kedua sikunya ke perut si pencekik. Usahanya berhasil. Cekikannya mengendur sedikit, namun tangga batu dibawah mereka cukup curam, sehingga keduanya kehilangan keseimbangan. Si pencekik jatuh terduduk, sementara Lasih terempas, jatuh terguling-guling ke bawah.
***
Selanjutnya: Bagian 66 - TIGA PENGAWAL
KAMU SEDANG MEMBACA
HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]
FantasyLasih, anak perempuan berusia sepuluh tahun, diundang ke Istana Hinggiloka oleh Maharaja Mahagraha. Di sana ia diperlakukan istimewa oleh Sang Maharaja, melebihi anak-anak lain yang juga diundang. Maka beredar selentingan Lasih sesungguhnya anak kan...