Pandan Selasih menggeram dengan kemarahan yang memuncak.
"Ingin tahu hukuman apa yang pantas untuk kalian semua?!" jeritnya.
"Cukup Pandan Selasih!" terdengar suara keras dari salah satu bagian tembok benteng. Terlihat seseorang menunggang Dindang Patrem besar. Ia mengenakan penutup-kepala bertanduk tiga. Ia berbicara melalui cangkang siput gunung besar juga sehingga suaranya membahana.
Orang-orang berpaling memerhatikannya.
"Ludira Mahalaya?" ujar Maharaja Mahagraha.
Pangeran Arcapada, Gadung Lelono, serta Pandan Selasih sendiri yang berada di puncak menara kaget.
"Ludira Mahalaya berani menampakkan diri di sini?" kata Gadung Lelono. "Aku merasa akan terjadi banyak keburukan dengan kemunculannya."
Mendadak tubuh Maharaja Mahagraha gemetar seakan kedinginan - atau kesakitan.
"Ayahanda... ada apa?" ujar Pangeran Arcapada.
"Cincin itu... cuilan Tosan Taranggana... " kata Maharaja menunjuk tangan Lasih. "Aku tak tahan lagi dengan asapnya."
Lasih yang melihatnya tidak peduli. Ia malah tampak senang melihat Maharaja Mahagraha dalam keadaan lemah. Namun ia lebih memerhatikan orang yang berseru kepadanya tadi.
"Kaukah Ludira Mahalaya?" seru Pandan Selasih. "Kau bilang cukup katamu? Sejak kapan aku harus patuh kepada perintahmu?"
Ludira Mahalaya tertawa dengan nada yang aneh.
"Apa yang kau lakukan ini sudah sangat bagus, Lasih," puji Ludira Mahalaya. "Semua orang penting telah kau kumpulkan di sini, termasuk segenap calon peserta Pesta Windon. Tinggal diatur saja bagaimana kekuasaan Kerajaan Sanggabuana termasuk Kerajaan-Kerajaan Bagian kuambil alih."
"Apa? Kau yang akan ambil alih?" sergah Pandan Selasih. "Tidak. Aku tidak sudi berbagi apapun denganmu. Apalagi menyerahkan kekuasaan ini padamu."
"Kau hanya seorang Jalmatiron, Pandan Selasih. Hanya seorang manusia buatan berdarah hijau. Tak ada manusia biasa yang sudi diperintah oleh ratu yang bukan manusia," ujar Ludira Mahalaya.
Ucapan Ludira Mahalaya langsung disambut gumaman orang-orang. Wajah-wajah mereka terlihat kaget. Akhirnya kini semua orang tahu bahwa Pandan Selasih seorang Jalmatiron.
"Lawa Sengir! Serang penunggang Dindang Patrem itu!" tunjuk Pandan Selasih tiba-tiba ke arah Ludira Mahalaya.
Ludira Mahalaya mengibaskan tangan sedikit. Lawa-Lawa Sengir yang bergelantungan sepanjang tembok benteng itu hanya bergetar-getar saja, tapi tak ada yang terbang menghampiri lelaki tinggi besar itu. Perintah Lasih tidak dihiraukan oleh Satwatiron itu.
Pandan Selasih terbelalak.
"Bedebah!" umpat anak perempuan itu.
"Dindang Patrem! Ringkus anak itu!" seru Ludira Mahalaya.
Dindang-Dindang Patrem yang berada di puncak menara berlompatan menyergap Pandan Selasih. Si Baju Merah itu didesak ke tepi pagar pembatas. Salah seekor makhluk itu bahkan menempelkan senjata patrem di leher Lasih.
"Tak ada seorangpun yang akan menyelamatkan kau, gadis kecil," ujar Ludira Mahalaya, tertawa mengejek. "Kau dalam keadaan terjepit dan sendirian. Siapa yang akan membelamu? Satwatiron-Satwatiron itupun tak lagi patuh kepadamu. Mereka lebih patuh padaku, karena aku lebih kuat dalam memerintah mereka. Mengapa? Karena akulah yang menciptakan mereka dan lebih mengenal bagaimana memperlakukan mereka."
Ludira Mahalaya terdiam sejenak, lalu berkata lagi,
"Jadi kutawarkan, bagaimana jika kau bergabung denganku, menjadi orang kepercayaanku, menguasai Kerajaan Besar Sanggabuana?"
"Tak sudi!" sahut Pandan Selasih.
"Sekali lagi kutawarkan, bagaimana jika kau bergabung denganku menguasai Kerajaan Sanggabuana?"
"Tak sudi sampai kapanpun!" seru si Baju Merah itu.
"Baiklah. Cukup sudah basa-basi dariku," kata Ludira Mahalaya dingin. "Dindang Patrem! Penggal leher anak perempuan itu!"
Dengan gerakan kilat, Dindang Patrem yang menghunuskan patrem segera menggoreskan senjata itu ke leher Pandan Selasih. Senjata itu ternyata sangat tajam. Leher anak itu langsung terpenggal dan darah hijau memancar.
Kepala Pandan Selasih yang putus dari badannya itu meluncur jatuh dari puncak menara. Langsung saja benda itu disambut oleh kawanan Neman, serigala berkaki enam yang terkenal sangat menyukai isi kepala manusia. Mereka menggeram-geram, dan satu Neman yang paling besar menggondol kepala itu dan berlari meninggalkan benteng, dibuntuti beberapa rekannya.
Apa yang terjadi pada tubuh Pandan Selasih tidak berhenti sampai di situ. Dindang Patrem yang tadi menggorok leher Lasih itu kemudian merobek dada anak perempuan itu, membentot jantungnya dan memakannya dengan rakus. Dan sisa tubuh tanpa kepala dan jantung itu dibiarkan melayang jatuh dari puncak menara, disambut oleh kawanan Neman lainnya yang langsung mencabik-cabik dan menyantapnya seperti amat kelaparan.
***
Selanjutnya: Bagian 86 - PARA PENDEKAR AKIK MERAH
KAMU SEDANG MEMBACA
HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]
FantasiaLasih, anak perempuan berusia sepuluh tahun, diundang ke Istana Hinggiloka oleh Maharaja Mahagraha. Di sana ia diperlakukan istimewa oleh Sang Maharaja, melebihi anak-anak lain yang juga diundang. Maka beredar selentingan Lasih sesungguhnya anak kan...