"Nah, tak ada seorangpun yang meributkan kejadian tadi malam, bukan?" ujar Dibal. "Semua orang bersikap seolah-olah tidak sedang terjadi apa-apa dengan para lare winih. Semuanya tampak sibuk dengan urusan masing-masing."
Saat itu para lare winih sedang duduk-duduk lesehan di Pendopo Gadhing. Setelah sidang mendadak tadi, jadwal pagi ini adalah pertemuan mereka dengan Pangeran Arcapada, Putra Mahkota Kerajaan Sanggabuana. Nyai Adicara duduk di sudut pendopo, terlihat sibuk membolak-balik dan menulis-nulis sesuatu di tumpukan klaras.
"Kita lihat banyak prajurit yang disiagakan," kata Andhaka. "Kurasa itu berkaitan dengan peristiwa Graha Brana kemarin. Keadaan di istana ini sedang siaga. Jadi, barangkali karena itulah Bangsal Atmaja tidak dijaga semalam."
"Mustahil!" tukas Dibal. "Seharusnya tetap ada pembagian tugas, tak boleh ada kekosongan penjagaan. Aku tetap tidak mengerti mengapa Bangsal Atmaja tidak dijaga. Sungguh aneh."
"Menurutku kau hebat sekali, Lasih. Kulihat Menteri Druwiksa sampai gelagapan. Tapi ngomong-ngomong, apa maksudnya perang keuangan?" sela Laksmi mengalihkan bahan pembicaraan.
"Selamat pagi, Pangeran Arcapada! Selamat datang!" terdengar suara nyaring Nyai Adicara. Para lare winih yang sedang berbincang-bincang serentak berpaling.
Terlihat seorang anak laki-laki berikat kepala keemasan telah hadir di pendopo. Wajahnya sangat tampan. Ia didampingi seorang lelaki tinggi tegap bercambang tebal. Pandan Selasih mengenalinya sebagai Gadung Lelono, prajurit yang mendampingi perjalanannya dari Desa Larang Dubang ke Istana Hinggiloka waktu itu.
"Nah, lare winih semua," lanjut Nyai Adicara, "aku perkenalkan inilah Putra Mahkota Kerajaan Sanggabuana, Pangeran Arcapada Cakra Alugora Tunggal Mahagraha. Pangeran Arcapada adalah calon pewaris takhta Kerajaan Sanggabuana. Dan ini Tuan Gadung Lelono, Pimpinan Pasukan Khusus Kerajaan Sanggabuana. "
Pangeran Arcapada menyapa para lare winih dengan ramah. Para lare winih pun membalasnya dengan senang. Kemudian Nyai Adicara menyilakan Sang Pangeran untuk memimpin acara. Pangeran Arcapada-pun menghampiri mereka, lalu menyalami anak-anak itu satu per satu. Mereka pun saling menyebutkan nama, dan para lare winih menambahkannya dengan menyebutkan tempat asal mereka.
Pandan Selasih merasa terkesan. Ia mengira para lare winih akan maju bergantian untuk menyalami Sang Pangeran, sebagaimana sopan-santun yang diketahuinya terhadap 'orang penting'. Namun ternyata Pangeran-lah yang mendatangi mereka. Bagi Pandan Selasih, sejak semula Pangeran Arcapada memang tampak cukup rendah hati. Dan, Pangeran Arcapada ternyata jauh lebih tampan dari yang diingatnya.
"Nah, Pangeran," ujar Nyai Adicara, "silakan berbincang-bincang dengan para lare winih kelompok kedua ini. Dan Anak-anak semua, ini adalah acara pribadi antara kalian dengan Pangeran. Kalian semua masih seumuran, jadi silakan berbicara secara terbuka dengan Pangeran Arcapada."
"Terima kasih, Nyai Adicara," ujar Pangeran Arcapada. "Nyai bilang tadi, ini pembicaraan pribadi kami, para lare winih bukan? Kalau begitu tolong tinggalkan kami di sini, Nyai. Juga untuk Paman Gadung Lelono, tolong tinggalkan kami sebentar."
Nyai Adicara tampak terkejut. Kelihatannya ia tidak mengira bakal diusir seperti ini.
"Mari, Nyai. Mungkin kita bisa duduk-duduk di deretan bangku kayu di ujung koridor sana," ajak Gadung Lelono segera, membuat Nyai Adicara yang tengah bingung itu menurut.
Pangeran Arcapada sekilas nyengir sembunyi-sembunyi.
Para lare winih yang melihatnya tercengang. Di balik keramahannya, ternyata Pangeran Arcapada sedikit jahil. Namun anak-anak merasa bahwa Nyai Adicara yang ketus itu sekali-sekali memang pantas diperlakukan demikian.
KAMU SEDANG MEMBACA
HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]
FantasyLasih, anak perempuan berusia sepuluh tahun, diundang ke Istana Hinggiloka oleh Maharaja Mahagraha. Di sana ia diperlakukan istimewa oleh Sang Maharaja, melebihi anak-anak lain yang juga diundang. Maka beredar selentingan Lasih sesungguhnya anak kan...