Perlu waktu satu setengah hari bagi para lare winih untuk mengenal bagian-bagian benteng dan bangunan Istana Hinggiloka. Ini sudah hari kedua. Meskipun begitu tidak semua bagian sempat mereka masuki - meskipun Nyai Adicara telah memandu mereka dengan cepat dan ringkas. Tempat-tempat seperti dapur, gudang bahan makanan, ruang penyimpanan senjata, gedhogan atau kandang kuda, dan sejumlah bagian lainnya mereka lewatkan. Demikian juga lorong-lorong dan ruangan-ruangan yang bergambar cincin yang bertanda silang, jelas tidak mereka masuki.
"Tempat-tempat yang terlewatkan itu bisa kalian datangi sendiri di lain waktu," kata Nyai Adicara. "Tapi, sekali lagi, harus kalian perhatikan apakah tempat-tempat atau ruangan-ruangan itu bergambar cincin bertanda silang atau tidak. Sepanjang tidak ada larangan, kalian boleh memasukinya, tapi tentu saja atas seijin penanggungjawab ruangan itu. Paham?"
Para lare winih mengangguk.
Pada hari kedua itu, menjelang tengah hari, Nyai Adicara memandu kesepuluh lare winih naik ke puncak menara tertinggi istana. Ruangan di puncak menara itu berbentuk bundar dan cukup luas. Melalui jendela-jendela di sekelilingnya mereka bisa memandang ke seluruh penjuru ibukota kerajaan. Tampak jalan-jalan dan bangunan-bangunan, serta rumah-rumah penduduk menghampar.
Yang tampak menarik justru di seputaran benteng istana itu sendiri. Benteng ini berdiri kokoh di puncak bukit, dan danau berair bening berkelok-kelok mengitari kaki bukit itu. Maka bukit itu tampak seperti sebuah pulau besar yang dikelilingi perairan sempit. Sebuah jembatan indah melengkung menghubungkan kaki bukit itu dengan daratan di seberangnya.
Untuk beberapa saat para lare winih menikmati pemandangan ibukota kerajaan dari atas menara. Suasananya terasa lebih santai dan tenang. Tampaknya itulah saatnya untuk sedikit beristirahat. Satu dua dari mereka mulai saling berbicara dan Nyai Adicara membiarkannya.
"Istana yang megah, yang berdiri kokoh di puncak bukit. Alangkah indahnya. Seperti dalam dongeng saja ya?" kata Arumdalu setengah memejamkan mata.
"Tapi Istana Hinggiloka ini nyata, bukan dongeng," ujar Pandan Selasih.
"Maksudmu?" tanya Arumdalu mengernyitkan alis.
"Ya, lihat saja danau sempit yang berkelok mengelilingi istana ini. Ini sama sekali bukan istana dalam dongeng," sahut Pandan Selasih sungguh-sungguh, tapi matanya mengerling jahil. "Dalam dongeng-dongeng, suatu istana di puncak bukit, nyaris tidak pernah digambarkan adanya sumber air. Mereka mengambil air dari mana? Dalam kenyataannya, bisa kau bayangkan, betapa repotnya mengangkut air ke istana di puncak bukit itu jika mata airnya berada jauh entah di mana."
Arumdalu tertegun sejenak, lalu tertawa.
"Ah, kau ini ada-ada saja," katanya geli.
"Hmm, ternyata kau lumayan cermat, Lasih," ujar Dibal Patigaman yang berdiri di belakang Pandan Selasih. "Pikiranmu berjalan cukup lancar. Jika ada tugas berkelompok, aku ingin satu kelompok denganmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]
FantasyLasih, anak perempuan berusia sepuluh tahun, diundang ke Istana Hinggiloka oleh Maharaja Mahagraha. Di sana ia diperlakukan istimewa oleh Sang Maharaja, melebihi anak-anak lain yang juga diundang. Maka beredar selentingan Lasih sesungguhnya anak kan...