Bagian 74 - BAHAYA YANG TERSEMBUNYI

51 3 0
                                    

"Mijil, dari mana kau tahu bahwa penutup-kepala ini bisa digunakan untuk memerintah burung-burung Dok Wisanaka?" tanya Pangeran Arcapada.

"Saya melihat ada busur cahaya jernih kekuningan, merambat dari ujung tanduk itu dan mengarah ke burung-burung itu, Pangeran. Maka burung-burung itu patuh pada si pemakai penutup-kepala," sahut Mijil dengan suara pelan namun cukup didengar oleh Pangeran Arcapada. "Tapi, rasanya hanya sayalah yang bisa melihatnya, Pangeran."

"Wah, menarik sekali," ujar Pangeran Arcapada. "Apakah kau juga bisa... "

"Pangeran...." seseorang datang tergesa-gesa menghampiri mereka.

"Lasih?" ujar Pangeran Arcapada. "Ada apa?"

"Maaf, saya telah menyela pembicaraan kalian," kata Lasih. "Tapi, lihat, Pangeran. Pertempuran di benteng istana masih berlangsung. Saya kira kita perlu mengerahkan burung-burung Dok Wisanaka untuk mengatasi Dindang-Dindang Patrem itu. Kita perintahkan para Satwatiron itu untuk saling bertarung sendiri."

Untuk sesaat Pangeran Arcapada tertegun. Namun ia segera bisa memahami usul Pandan Selasih.

"Oh, cepat kita panggil kembali burung-burung dok itu, Lasih! Lihat, mereka belum terlalu jauh!" ujar Sang Pangeran.

Maka segera saja Pangeran Arcapada dan Pandan Selasih berseru-seru pada kawanan burung yang sedang terbang memburu si Gundul. Satwatiron itu mematuhi panggilan mereka. Kawanan itu terbang memutar, kembali mendekati para pengungsi, melewati mereka lalu bergerak ke arah benteng istana.

"Bunuh gerombolan Dindang-Dindang Patrem di sana!" teriak Pandan Selasih.

"Kalahkan mereka semua!" seru Pangeran Arcapada.

Para pengungsi terpana menyaksikan semua itu. Mereka semua melihat ke arah benteng istana di kejauhan, ingin menyaksikan apa yang akan terjadi kemudian. Apakah serangan pasukan Dok Wisanaka terhadap pasukan Dindang Patrem itu akan menyudahi pertempuran?

Namun kemudian terjadi keributan di sekitar para pengungsi. Terlihat Menteri Druwiksa dan Nyai Kapti berseru-seru dan kalang-kabut diserang oleh sejumlah burung Dok Wisanaka. Kelihatannya burung-burung ini yang terbang belakangan dari rombongan yang menuju benteng.

Para pengungsi lainnya berlarian menyingkir dengan pandangan ngeri. Tampak Menteri Druwiksa dan Nyai Kapti berhasil dilukai oleh burung-burung tadi, namun burung-burung itu tak kunjung pergi, tetap saja mengerubuti keduanya.

Kejadiannya cukup cepat dan mengagetkan. Dan saat berikutnya pertolongan datang. Seekor biawak berekor cabang dua melecut-lecutkan ekor panjangnya untuk mengusir burung-burung dok itu. Juga sesosok makhluk bercakar panjang menyabet-nyabetkan cakarnya mengusir burung-burung itu pula. Darah hijau menggerimis. Dan tak perlu waktu lama, burung-burung itu berhasil dihabisi, jatuh semua bergelimpangan di tanah.

Semua sudah tahu bahwa biawak tadi adalah Tobil, dan makhluk bercakar panjang tadi adalah Giras. Mereka adalah lare-lare winih yang bisa malih rupa.

"Oh, Menteri Druwiksa dan Nyai Kapti, Pangeran. Tampaknya mereka berdua terluka parah sekali," ujar Pandan Selasih.

Pangeran Arcapada tertegun. Kedua orang yang disebutkan oleh Pandan Selasih tampak meringkuk gemetaran di tanah. Beberapa bagian pakaiannya terkoyak dan darah segar tampak mengalir. Orang-orang segera merubung mereka.

"Biar kusembuhkan luka mereka," ujar Laksmi Larasati meminta jalan.

Jari-jemari Laksmi tampak gemetaran mengusap luka-luka kedua korban itu. Setelah luka-luka mereka sembuh, Laksmi berpaling pada Pangeran Arcapada.

"Tubuh Menteri Druwiksa dan Nyai Kapti membiru, Pangeran. Walaupun luka mereka sudah sembuh tapi racun itu telah menyebar ke dalam," kata Laksmi dengan suara bergetar. "Saya tak tahu lagi apa yang harus saya lakukan."

HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang