Bagian 8 - BENTENG SEGI ENAM

112 6 2
                                    

Matahari mulai terbit. Sinarnya yang keemasan menerpa puncak-puncak menara dan atap-atap bangunan Istana Hinggiloka. Istana megah itu tampak berkilauan bagai permata. Pemandangan itu kemudian lenyap, berganti dengan pemandangan jalan menanjak yang berkelok-kelok. Dan sebentar kemudian bangunan istana itu terlihat lagi.

Begitulah yang pemandangan yang disaksikan oleh Pandan Selasih, Mayang Srini, dan Andhaka lewat jendela samping kereta kuda. Kereta itu tengah melewati jalan yang berliku-liku menuju Istana Hinggiloka yang berada di puncak bukit.

"Apakah kita sudah sampai?" tanya Pandan Selasih entah kepada siapa. Mayang Srini dan Andhaka yang duduk di seberangnya hanya tersenyum singkat. Sejak malam tadi, sejak perkenalan mereka, ketiganya sudah tidak berbicara apa-apa lagi. Mereka juga tidak tidur. Pandan Selasih sendiri memutuskan untuk tidak bertanya-tanya mengapa kedua kenalannya itu bungkam. Bukan marah, melainkan Lasih hanya menjaga agar tidak terjadi keributan atau kesalahpahaman di antara mereka. Jika pun ia bersalah, Lasih merasa ia tidak sengaja melakukannya. Lagipula ia juga sudah meminta maaf.

Akhirnya Pandan Selasih membuka jendela kecil di belakang bangku kusir. Gadung Lelono menoleh dan menyapanya, "Selamat pagi, Lasih."

"Selamat pagi, Paman," sahut anak perempuan itu.

"Hmm... kalian bertiga sudah bangun? Sudah saling berkenalan? Kalian bertiga baik-baik saja?" ujar Gadung Lelono lagi.

Pandan Selasih, Mayang Srini, dan Andhaka mengangguk-angguk.

Mereka lalu sampai di depan pintu gerbang. Prajurit penjaga pintu menyambutnya, menggulung tali pada sebuah kumparan besar. Pintu jeruji pun perlahan terangkat dan jalan terbuka. Gadung Lelono lalu menyentakkan tali kekang. Kuda-kuda kereta membawa mereka memasuki suatu lorong yang menembus tembok benteng istana. Cukup tebal juga tembok benteng itu, dan sesaat kemudian kereta itu tiba di pekarangan dalam.

Pandan Selasih, Mayang Srini, dan Andhaka mengedarkan pandangan. Pekarangan di dalam tembok benteng itu ternyata cukup luas. Tampak rerumputan hijau membentang. Beraneka tanaman hias diatur rapi di pekarangan tersebut. Terlihat sebuah bangunan putih kelabu yang elok yang tampaknya terbuat dari batu pualam. Mestinya itulah bangunan utama istana. Ada sepasang daun pintu besar di bangunan itu serta sebuah balkon terbuka di atasnya.

Gadung Lelono mengarahkan kereta ke bagian kanan.

"Kita ke sisi timur, Anak-anak. Kita akan menemui Mahapatih Parasara," kata Gadung Lelono.

Setelah menyusuri jalan menyamping itu, tak lama kemudian kereta berhenti. Gadung Lelono melompat turun, membubarkan prajurit-prajurit yang mengawal perjalanan mereka, kemudian ia membuka pintu ruangan kereta.

"Nah, silakan turun. Bawalah kantong bekal kalian masing-masing," ujar pimpinan prajurit itu.

Ruang Kepatihan berada di dalam gedung benteng di sisi timur. Mereka harus menaiki tangga batu melingkar ke atas karena ternyata bangunan benteng itu bertingkat.

Gadung Lelono berbicara kepada prajurit penjaga pintu Ruang Kepatihan. Prajurit penjaga tersebut kemudian membuka pintu, masuk ke dalam ruangan, sementara Gadung Lelono berpaling menghadap anak-anak.

"Sampai di sini tugas saya mengantar kalian bertiga. Selanjutnya kalian harus mengikuti arahan Mahapatih Parasara. Nah, selamat datang di Istana Hinggiloka, istana Kerajaan Sanggabuana," ujar Gadung Lelono tersenyum.

"Terima kasih Paman Gadung Lelono," kata Pandan Selasih.

"Terima kasih, Tuan," kata Mayang Srini dan Andhaka hampir bersamaan.

Gadung Lelono mengangguk.

Seseorang muncul di pintu diikuti prajurit tadi. Seorang lelaki berwajah tenang dengan rambut yang mulai memutih. Gadung Lelono segera menyalaminya. Ternyata lelaki itulah Mahapatih Parasara. Ia memandang sebentar pada ketiga anak di hadapannya, lalu mengatakan satu dua hal pada Gadung Lelono. Pimpinan rajurit itu mengangguk-angguk.

HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang