Bagian 54 - KANDANG DINDANG PATREM

46 3 0
                                    

Di suatu tempat, di sebuah ruangan gua yang luas dan berlangit-langit tinggi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di suatu tempat, di sebuah ruangan gua yang luas dan berlangit-langit tinggi. Suasananya temaram. Pencahayaan hanya berasal dari sejumlah obor. Lantainya digenangi air, dan tetesan air dari langit-langitnya menggemakan bunyi yang khas. Tapi ternyata ada suara lain yang meningkahinya.

Gowek. Gowek. Gowek.

Bunyi tetesan-tetesan air itu diselingi suara meng-gowek yang bersahut-sahutan.

Sebuah jendela berjeruji di dinding tiba-tiba terbuka. Seseorang menumpahkan sesuatu dari sebuah keranjang besar. Isinya berserakan di lantai yang berair, berupa benda-benda sebesar kepalan tangan manusia.

"Waktunya makan!" seru orang yang membawa keranjang itu.

Serta merta suara meng-gowek menjadi lebih ribut. Sosok-sosok serupa kodok seukuran manusia, yang semula menempel di dinding, segera berlompatan dari dinding ke lantai. Makhluk-makhluk itu bercakar yang bentuknya seperti senjata patrem. Mereka berebut makanan sambil bersuara gaduh.

Si pembawa keranjang menyeringai licik.

"Sekarang mereka sangat menyukai jantung," katanya. Kepalanya yang gundul licin mengilap memantulkan sinar obor.

"Apakah itu jantung manusia?" tanya lelaki kerdil disebelahnya, dengan suara bergetar.

"Awalnya memang iya," sahut si Gundul. "Tapi Tuan kita, Ludira Mahalaya, telah berhasil membuatnya sendiri. Segumpal jantung manusia dicacah-cacah, lalu dimasukkan ke dalam wadah-wadah khusus, dan ditumbuhkan menjadi jantung utuh. Nah, jantung-jantung buatan itu digunakan sebagai pakan, sehingga makhluk-makhluk itu sudah terbiasa menyantap kelezatannya."

"Jadi, jika makhluk-makhluk itu dilepaskan ke alam bebas, maka mereka akan berburu sendiri untuk mendapatkan jantung manusia sungguhan?" tanya si Kerdil bergidik.

Si Gundul tertawa-tawa.

"Nah, kau sudah semakin pintar sekarang," gelaknya puas.

Keduanya memerhatikan mahkluk-makhluk yang tengah berpesta-pora menyantap makanan khusus itu.

"Mereka kodok paling mengerikan yang pernah kulihat," kata si Kerdil masih merinding.

"BLEDHEG SELA!" terdengar suara menggelegar.

Si Gundul dan Si Kerdil berpaling ke belakang. Tampak seorang lelaki tinggi besar, dengan bekas luka memanjang di rahangnya - luka itu tampak mengilap oleh nyala api yang temaram. Sorot matanya tajam dan bengis, bagikan seseorang yang tengah memendam dendam kesumat.

"Ya... ya, Tuanku Ludira Mahalaya," sahut si Gundul yang bernama Bledheg Sela itu. "Hamba... hamba baru saja memberikan makanan khusus untuk para Dindang Patrem. Apakah ada tugas lain?"

"Apa sudah kau hitung kembali jumlah mereka setelah mereka digembalakan di hutan?!" tanya Ludira Mahalaya tampak marah.

"Ampun, Tuan. Waktu itu hujan turun tiba-tiba. Hamba khawatir ada dari mereka yang minggat sehingga hamba segera saja menggiring semuanya ke dalam gua...." sahut Bledheg Sela.

"Dan tidak kau hitung kembali?!" sela Ludira Mahalaya.

Bledheg Sela diam. Lututnya mulai gemetar.

"Kau memang ceroboh, Bledheg Sela!" umpat lelaki besar itu dengan geram. Ia menunjuk-nunjuk penutup-kepala-nya yang bertanduk. "Apa gunanya penutup-kepala logam ini kalau begitu? Kaupikir penutup-kepala bertanduk ini dibuat dengan mudah? Dengan penutup-kepala ini aku mengendalikan dan membariskan para Dindang Patrem itu. Apa kau tahu? Jumlahnya ternyata kurang satu! Ada satu makhluk yang minggat dan kau tidak menyadarinya?"

"Ampun... ampunkah hamba, Tuan ...." kata Bledheg Sela panik.

"Kau memang pantas kumasukkan ke kandang Dindang Patrem," desis Ludira Mahalaya.

"Oh...." ujar Bledheg Sela tercekat.

Tapi saat itu terdengar suara langkah bergegas. Sebentar kemudian muncul seseorang dari sebuah lorong. Dia seorang wanita berambut terurai panjang, memakai kebaya dan celana panjang longgar.

"Adicara?" ujar Ludira Mahalaya.

"Kakang Ludira," ujar wanita itu.

"Ada sesuatu?"

"Ya, Kakang. Kami sudah berhasil menangkap kembali Dindang Patrem yang kabur itu. Kelihatannya ia baru saja mendapatkan korban, tapi aku tak tahu di mana korban itu. Beberapa orang sudah kusebar kembali untuk mencari kabar tentang seseorang yang terbunuh dengan jantung hilang. Kuharap kita akan segera tahu hasilnya."

Ludira Mahalaya menggerakkan sedikit ujung bibirnya.

"Kau sigap sekali, Adicara," ujarnya. "Dan kau, Bledheg Sela, silakan kau pilih; aku yang harus melemparmu ke kandang Dindang Patrem, atau kau sendiri yang terjun ke kandang itu dengan sukarela?"

***


Selanjutnya: Bagian 55 - PIHAK KETIGA

HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang