Aki Guru seorang lelaki tua berjenggot putih panjang, juga berambut putih panjang, dengan ikat kepala berwarna keperakan. Nama sebenarnya adalah Panji Pataka, namun ia lebih dikenal dengan sebutan tadi. Di tangannya tergenggam kepala dan gagang tongkatnya yang berwarna hitam.
Gadung Lelono, Pangeran Arcapada, Darulintang, dan Durgandari menangkupkan tangan di dada sebagai tanda hormat.
"Selamat datang di danau Telaga Muara," kata Panji Pataka menyambut dengan ramah.
"Terima kasih, Aki Guru," sahut mereka semua.
Terlihat banyak anak berusia sepuluh tahunan tengah berlatih olah bela diri. Mereka berlatih di tepi telaga di dalam gua besar itu. Dua orang lelaki dewasa tampak sedang membimbing pelatihan tersebut.
"Apakah ada kesulitan menemukan tempat ini?" tanya Aki Guru itu.
"Tidak, Aki," jawab Gadung Lelono. "Denah yang Aki kirimkan pada saya cukup jelas. Saya bahkan menghapalkan denah itu dan bisa menemukan air terjun Grojogan Sungsang. Selanjutnya, setelah tahu tempatnya, saya kembali kemari untuk mengantar tiga lare winih; Pangeran Arcapada, Darulintang, dan Durgandari."
Panji Pataka mengangguk-angguk.
"Sebenarnya ada beberapa pintu masuk ke dalam gua ini," kata lelaki tua itu. "Pintu masuk Grojogan Sungsang salah satu pintu yang paling mudah. Maka, demi keamanan, saya menugaskan seorang lare winih untuk berjaga-jaga di sana. Dia Warugunung."
"Kami sudah bertemu dengannya, Aki," kata Darulintang. "Dia bahkan menolong saya yang tercebur ke danau."
Darulintang kemudian menceritakan kejadian yang mereka alami, menjelaskan mengapa saat ini dirinya dan Gadung Lelono tiba di Telaga Muara dalam keadaan basah kuyup.
"Syukurlah, kau tidak apa-apa, Nak," kata Panji Pataka terdengar menenangkan. "Dan kalian benar. Beberapa orang lare winih memang telah mulai kehilangan kekuatannya, kekuatan yang kalian peroleh saat geladi di Moksa Praja dahulu itu. Ini semua sungguh di luar dugaan kami. Maka aku dan Maharaja Mahagraha segera bertindak. Salah satu caranya dengan mengundang seluruh lare winih untuk berkumpul di tempat ini, alih-alih ke Moksa Praja.
"Kami merasa tempat ini cukup tepat. Ada sumber air yang sangat memadai, ada pelataran yang lapang, serta celah-celah di atap yang memungkinkan sinar matahari menerangi tempat ini. Gua ini pun tidak gampang dijangkau oleh sembarang orang, jauh dari pemukiman penduduk sehingga tidak mudah saling mengganggu atau terganggu. Yang jelas para lare winih sangat perlu memusatkan perhatian mereka di sini."
Gadung Lelono dan tiga lare winih itu mengangguk-angguk.
"Baiklah, sambil menunggu waktu makan siang tiba, silakan jika kalian ingin melihat-lihat sekitar tempat ini. Pemandangan di luar mulut gua kupikir cukup bagus," kata Panji Pataka.
Mereka berempat mengangguk hormat.
Mereka melihat belasan tenda kecil beratap kerucut berdiri di dekat dinding gua, serta satu tenda besar beratap segi empat. Sementara itu para lare winih yang lain terlihat masih tekun berlatih olah bela diri di tepi danau Telaga Muara. Air danau terlihat sangat bening, beriak-riak kecil, dan berkilauan memantulkan sinar matahari.
Ada tiga sungai kecil yang bermuara di danau itu, bergabung, lalu mengalir ke arah mulut gua. Durgandari telah berlari lebih dulu ke mulut gua itu. Ia melambai-lambailkan tangan pada yang lain agar bergegas mendekat.
"Kemari kalian! Indah sekali pemandangan di sini!" seru anak perempuan itu. Pakaian pendekarnya yang longgar berkibar-kibar diembus angin.
"Wah, benar juga. Kita bagaikan sedang berdiri di ambang pancuran raksasa!" timpal Pangeran Arcapada. "Tempat ini tinggi sekali. Kurasa tak mungkin ada orang yang bisa mendaki dari bawah sana menuju ke sini."
KAMU SEDANG MEMBACA
HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]
FantasyLasih, anak perempuan berusia sepuluh tahun, diundang ke Istana Hinggiloka oleh Maharaja Mahagraha. Di sana ia diperlakukan istimewa oleh Sang Maharaja, melebihi anak-anak lain yang juga diundang. Maka beredar selentingan Lasih sesungguhnya anak kan...