Peristiwa berikut ini terjadi puluhan tahun yang lalu, di pesisir pantai selatan wilayah Kerajaan Tanjungnawa, salah satu Kerajaan Bagian Sanggabuana. Sebuah kapal besar tertambat di pelabuhan. Beberapa orang lelaki tampak memanggul karung. Mereka meniti palang kayu yang dipasang melintang antara daratan dan dek kapal.
Di atas dek kapal tampak seorang lelaki dan seorang perempuan separuh baya berpakaian serbamerah. Model pakaian mereka longgar seperti yang biasa dipakai oleh para pendekar silat. Angin laut membuat baju mereka berkibar-kibar. Mereka berdua tengah mengawasi orang-orang yang mengangkut karung-karung ke atas kapal.
"Perhatikan tanda di karung-karung itu!" kata si perempuan setengah baya. Suaranya terdengar lembut namun nadanya tegas. "Jangan dimasukkan semuanya ke dalam palka. Yang bertanda silang letakkan saja di dek kapal!"
"Baik Kanjeng Guru Dyah Lohita," kata lelaki pemanggul karung yang paling depan. Lalu sebagian dari mereka meletakkan karung di dek, dan sebagian lagi membawanya untuk dimasukkan ke dalam palka.
"Letakkan saja karung yang bertanda silang itu di dekat tiang layar utama," tambah lelaki yang berdiri di samping Dyah Lohita.
"Baik Kanjeng Guru Raden Branang," kata pembawa karung yang lain.
Para pembawa karung segera melakukan tugasnya. Kemudian mereka kembali meniti palang kayu untuk mengangkut karung-karung yang masih bertumpuk di dermaga.
"Apakah bekal kita akan mencukupi, Rayi Dyah Lohita?" tanya Raden Branang.
"Kurasa cukup Kakang Raden Branang," sahut Dyah Lohita. "Kita membawa lima belas penumpang, ditambah kita berdua. Jadi semuanya ada tujuh belas orang. Bekal yang kita bawa cukup untuk seminggu lebih perjalanan pulang-balik."
Raden Branang menengadah ke langit.
"Sekarang musim yang aman untuk berlayar," katanya. "Langit sangat cerah. Kurasa kita tak akan menjumpai badai."
Dyah Lohita tersenyum kecil.
"Apakah Kakang sedang menghibur diri sendiri? Ingat, kita akan berlayar ke Soca Denawa, Kakang. Ke tempat paling berbahaya dibanding tempat manapun yang pernah kita singgahi. Sepengetahuan kita, cuaca di sana tidak bisa dipastikan. Cuaca bisa berubah setiap saat meskipun bukan musim badai."
"Ya, Rayi benar. Karena itulah aku bertanya apakah bekal kita akan mencukupi," kata Raden Branang. "Sebab bisa saja kita berlayar lebih dari seminggu jika cuaca tidak bersahabat."
Dyah Lohita mengangguk.
"Para pengurus kapal, semua yang kita bawa, adalah murid-murid dari perguruan kita, Perguruan Akik Merah. Selain jago bela diri, mereka sekaligus para pelaut yang berpengalaman. Kurasa mereka semua bisa diandalkan," katanya sambil mengeratkan ikatan rambutnya.
Raden Branang dan Dyah Lohita memerhatikan orang-orang lainnya di atas kapal. Mereka, para murid itu, telah tersebar dan bersiap di tempat masing-masing. Semuanya berpakaian pendekar, dengan model longgar, berwarna merah-merah.
Radan Branang mengusap dagunya. Tampak cincin akik merahnya berkilauan memantulkan sinar matahari.
Dan tak lama kemudian kapal itupun segera berlayar. Banyak orang yang mengetahui keberangkatan ini, namun hanya sampai di sini, karena kapal itu ternyata tidak pernah kembali. Tak ada yang tahu peristiwa apa selanjutnya yang dialami oleh Raden Branang, Dyah Lohita, dan segenap anak buah mereka. Apakah mereka selamat, atau terdampar di suatu tempat, atau malah sudah mati. Yang jelas kisah ini berlanjut ke puluhan tahun di depan, setelah peristiwa pelayaran kapal ini.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]
FantasyLasih, anak perempuan berusia sepuluh tahun, diundang ke Istana Hinggiloka oleh Maharaja Mahagraha. Di sana ia diperlakukan istimewa oleh Sang Maharaja, melebihi anak-anak lain yang juga diundang. Maka beredar selentingan Lasih sesungguhnya anak kan...