Bagian 25 - KESEPAKATAN

68 7 0
                                    

"Kurasa kita harus segera melaporkan kejadian ini," kata Mayang Srini. "Ingat, Mahapatih Parasara pernah berpesan, jika kita menjumpai hal-hal aneh, kita diminta untuk melaporkannya padanya."

Saat ini Andhaka, Dibal, dan keempat anak perempuan sedang duduk-duduk di suatu sudut agak remang di Bangsal Atmaja. Anak-anak perempuan baru saja menceritakan hal-hal aneh yang mereka alami. Mereka berbicara dengan suara pelan dan agak tertahan.

 Mereka berbicara dengan suara pelan dan agak tertahan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kita harus melapor," ulang Mayang Srini.

"Aku tidak setuju!" kata Dibal cepat.

Anak-anak saling pandang.

"Apa?" ujar Andhaka. "Apa maksudmu, Dibal?"

"Tak seorangpun boleh tahu kejadian ini. Mahapatih tak boleh tahu. Maharaja sekalipun juga tidak. Pokoknya tak boleh ada yang tahu tahu kejadian ini selain kita sendiri," ujar Dibal ngotot.

Anak-anak yang lain kembali saling pandang.

"Karena aku merasakan sejumlah kejanggalan di sini," sambung Pangeran itu penuh penekanan. "Apakah kalian tidak memerhatikannya?"

"Malam ini tak ada penjagaan di Bangsal Atmaja. Itu kejanggalan yang aku tahu," kata Arumdalu. "Aku bahkan bisa masuk ke dapur dengan mudah."

"Sebenarnya bukan hanya malam ini," kata Dibal lagi, "melainkan sejak sepuluh orang lare winih telah lengkap, Bangsal Atmaja ini tak lagi dijaga. Aneh bukan? Apalagi, jika kalian perhatikan, bangsal ini dikeliling oleh jeruji-jeruji besi! Aku sudah bertanya-tanya dalam hati sejak awal tiba di sini, mengapa kita semua seperti dikurung di dalam kerangkeng besar? Ini bangsal atau ruang penjara?

"Dan keanehan terbesar padaku terjadi malam ini. Andhaka! Kau, dan semua anak laki-laki sialan itu telah mempermainkan aku hingga aku marah besar. Dan apa yang kemudian terjadi? Ternyata kuku-kukuku berubah menjadi cakar, dan badanku terasa menggeliat, dan aku malih wujud menjadi suatu makhluk yang aku tak tahu makhluk macam apa.

"Aku sangat kaget dan bingung tentu saja, mengamuk panik, lalu kabur dari kamar. Tak lama kemudian aku menyaksikan Mayang Srini memecahkan jambangan-jambangan bunga dengan lengkingannya. Berikutnya kalian sudah tahu kejadian selanjutnya. Aku memburu kalian anak-anak perempuan, yang berlari-lari ketakutan. Sebetulnya bukan untuk memangsa kalian, melainkan karena aku tak mengerti apa yang sedang terjadi pada diriku."

"Kau tadi berwujud seekor singa," kata Pandan Selasih.

Dibal tertegun sejenak.

"Seekor singa?" ujar Pangeran dari Kerajaan Jati Gendani itu lambat-lambat. "Nah. Membingungkan bukan? Dan, terakhir, kulihat tangan Arumdalu memanjang menjadi sulur pohon hijau yang bercabang-cabang dan berbunga memabukkan. Kurasa aku pingsan karena menghirup aroma bunga yang menusuk dan memusingkan itu."

Untuk beberapa saat semuanya berdiam diri. Kejadian ini memang telah mengguncangkan batin mereka.

"Aku menduga, ada seseorang, atau mungkin beberapa orang, yang berada di balik semua ini. Pasti ada yang memiliki penjelasan atas semua ini. Tapi ini sungguh kurang ajar, karena kita tidak diberi peringatan sebelumnya. Jadi, tak perlu kita menceritakan kejadian ini kepada orang lain. Ini rahasia kita! Enak saja 'mereka' mempermainkan kita seperti ini."

Dibal berkata sambil meninju telapak tangannya sendiri.

"Keanehan apa saja yang menimpa para anak laki-laki?" tanya Mayang Srini.

Dibal dan Andhaka saling berpandangan. Keduanya lalu menggeleng.

"Kurasa hanya Dibal yang mengalami keanehan," ujar Andhaka. "Aku merasa tidak ada yang aneh dengan diriku. Kulihat anak-anak laki-laki yang lain juga tidak. Atau barangkali saja keanehan itu belum muncul."

"Tapi aku heran, mengapa anak laki-laki yang lain tidak datang kemari? Bukankan kejadian tadi cukup berisik?" ujar Pandan Selasih.

"Oh, itu karena aku yang melarangnya," sahut Andhaka. "Mereka telah kularang keluar kamar. Kubilang aku akan sendirian saja menyusul Dibal. Dan mereka baru boleh keluar kamar jika kupanggil."

"Ah ya, tentu saja. Aku ingat, kau kan ketua kami, Andhaka. Tentu saja para anak laki-laki itu patuh padamu," ujar Pandan Selasih lagi. "Nah, jadi menurutmu, apakah akan kita rahasiakan saja segala kejadian ini? Kita rahasiakan di antara para lare winih saja?"

"Tidak," sahut Andhaka tegas. "Aku sependapat dengan Mayang Srini, kita harus melaporkan seluruh peristiwa ini kepada Mahapatih Parasara."

"Apa?!" sergah Dibal keras. "Jangan bodoh, Andhaka! Jika 'mereka' merahasiakan sesuatu dari kita, maka kita juga harus begitu. Ibarat bermain kartu, jika pihak istana ini mempunyai kartu rahasia, maka kita juga harus punya. Aku tidak sudi jika permainan ini tidak seimbang."

"Permainan? Permainan bagaimana? Entah apa maksud ucapanmu. Tapi kurasa kau berlebihan. Aku akan tetap melapor. Ini sudah keputusanku!" Andhaka berkeras.

Dibal mendengus.

"Kalau begitu, kita ambil suara saja sekarang," kata Dibal Patigaman. "Bagi kalian yang sudah mengalami keanehan, siapa yang setuju untuk melapor?"

Ternyata tidak ada yang mengangkat tangan.

"Dan sekarang, siapa yang setuju untuk merahasiakannya?" lanjut Dibal. Matanya berbinar selintas.

Tetapi ternyata tidak ada yang mengangkat tangan juga.

Dibal kembali mengumpat-umpat kesal.

"Tak bisa kupercaya! Kalian semua ini bodoh atau pengecut?!"

"Aku ketua di sini, Dibal. Akulah yang berhak mengambil keputusan. Dan keputusanku adalah kita harus melapor!"

Tiba-tiba Dibal merenggut leher baju Andhaka. Satu tangannya mengepalkan tinju di depan wajah ketua lare winih itu. Andhaka terkesiap kaget.

"Cabut keputusanmu yang bodoh itu!" desis Dibal. "Atau kukunyah kepalamu!"

"Kaupikir aku takut padamu?!" balas Andhaka, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Dibal.

Dibal mulai menggeram.

"Tunggu!" sela Pandan Selasih. Ia mengangkat tangannya. "Aku setuju dengan Dibal. Kita jaga rahasia ini."

Sejenak suasana hening. Semuanya saling berpandangan.

"Aku juga setuju dengan Dibal," susul Laksmi mengangkat tangan.

"Aku juga setuju dengan Dibal," kata Arumdalu.

Agak ragu, Mayang Srini perlahan mengangkat tangannya, lalu berkata, "Aku setuju dengan Dibal. Kita jaga rahasia ini."

Andhaka melongo.

Dibal setengah menyeringai, setengah tersenyum. Wajahnya terlihat puas.

"Nah, coba lihat. Kau kalah suara, Andhaka. Kita semua setuju untuk menyimpan rahasia ini."

"Tapi Dibal, ingat, aku tidak setuju mentah-mentah denganmu," tambah Pandan Selasih cepat-cepat. "Ini hanya berlaku sementara, selama 'mereka' tidak memberi penjelasan apa-apa. Tapi jika pihak istana membuka penjelasan, kurasa kita juga harus bercerita."

"Lasih benar," kata Laksmi. "Dengan begitu, jika yang kita alami ini adalah suatu masalah, maka barangkali akan mudah diselesaikan."

Arumdalu dan Mayang Srini mengangguk-angguk sepakat.

Andhaka tampak berpikir-pikir. "Baiklah, kalau begitu aku setuju. Untuk sementara ini kita tutup mulut saja dulu. Keputusan ini demi menjaga persatuan di antara para lare winih."

"Ya, baiklah, aku sepakat," ujar Dibal. "Meskipun setengah terpaksa. Jika bukan karena Pandan Selasih yang pertama setuju denganku, mungkin aku akan menolak kesepakatan tutup-mulut-sementara ini."

Pandan Selasih melotot.

"Sekarang, mari kita bereskan pecahan-pecahan jambangan itu. Anggap saja malam ini tidak terjadi apa-apa di Bangsal Atmaja," ujar Andhaka.

"Hahaha... aku berani bertaruh, dibereskan ataupun tidak, tak akan ada yang meributkannya," kata Dibal. "Tapi kita harus patuh pada ketua, bukan? Ayo, cepat kita bereskan, sebelum aku berubah pikiran."

***

HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang