Bagian 36 - AROMA WEWANGIAN

57 6 0
                                    

Tak jauh dari Wisma Bidara ....

"Tepat pada waktunya," ujar Nyai Adicara dengan napas memburu. Ia meletakkan sesosok tubuh yang dipanggulnya, membaringkannya di dekat semak-semak. Kemudian wanita itu melepaskan tali-temali dan kain yang membelenggu sosok tadi.

"Tenang, Lasih. Kau sudah lolos dari bahaya," ujar wanita itu.

"Terima... terima kasih, Nyai Adicara," kata Lasih tergagap. "Nyai sudah menyelamatkan nyawa saya. Saya pikir... saya pikir...."

"Tenangkanlah dirimu dulu, Nak. Tak perlu buru-buru berbicara."

Lasih mengelus dada dengan jemari gemetaran. Jantungnya terasa berdegup amat kencang. Amat beruntung ia lolos dari maut berkat kedatangan Nyai Adicara. Setelah beberapa saat kemudian barulah anak perempuan itu menjadi lebih tenang. Lalu Lasih bercerita kepada Nyai Adicara tentang apa yang telah terjadi.

Nyai Adicara terdiam cukup lama.

"Kurasa, kita harus segera kembali ke istana. Suasana di luar benteng semakin tidak aman untuk para lare winih," ujar wanita itu. Ia lalu memberikan penutup wajah Pandan Selasih yang tadi tercecer di Wisma Bidara, untuk dipakai lagi oleh anak itu.

Kabar mengenai Wisma Bidara yang meledak itu ternyata sampai dengan cepat ke telinga orang-orang yang tengah berada di Balai Kota. Maka, demi keselamatan semuanya, pihak penyelenggara acara membubarkan lebih awal pentas kesenian itu. Wajah-wajah kecewa sekaligus khawatir tampak jelas terlihat pada para pengunjung, tak terkecuali para lare winih.

Para lare winih kembali menaiki kereta kuda menuju istana. Nyai Adicara, dengan alasan keamanan bersama, menceritakan hal yang baru saja dialami oleh si Baju Merah Pandan Selasih.

"Tapi, jika Lasih tidak berulah, tidak pergi ke rumah itu, tentu tidak begini jadinya," ujar Mayang Srini bersungut-sungut. "Sayang sekali acara pentas kesenian itu dibubarkan."

"Kita seperti sedang tertimpa kutukan saja, bukan? Gara-gara Lasih, kita semua harus terkena getahnya," tambah Arumdalu.

Pandan Selasih hanya terdiam terpaku. Tuduhan dan pandangan menyalahkan dari para lare winih mengepungnya dari berbagai arah.

Nyai Adicara segera angkat bicara lagi.

"Kalian jangan terlalu memojokkan Pandan Selasih. Apa yang menimpa seorang lare winih memang akan memengaruhi yang lainnya. Itulah pentingnya menjaga persatuan di antara kalian, " ujar Nyai Adicara. "Meskipun demikian aku menilai Pandan Selasih memang bersalah karena, paling tidak, dia telah membahayakan dirinya sendiri. Untuk itu nilai Pandan Selasih dikurangi sebanyak tiga puluh biji. Dan Lasih, kau diharuskan membersihkan lantai kamar anak perempuan selama tiga hari berturut-turut. Jelas?"

Pandan Selasih mengangguk. Sementara, para lare winih lain masih menatapnya tajam, seolah-olah berkata bahwa hukuman itu tidak setimpal dengan ulahnya yang membuat mereka tidak bisa bersenang-senang.

Bagaimanapun juga hal ini bukan sebuah kemajuan bagi si Baju Merah. Kejadian ini justru membuat anak-anak lain semakin tidak suka kepadanya.

Terlepas dari semuanya, ada suatu hal penting yang kini diketahui oleh para lare winih mengenai Nyai Adicara. Ternyata wanita itu tidak hanya tegas berbicara, namun juga sangat tangkas bertindak. Tampaknya ia cukup mahir olah keprajuritan. Jadi, bukan tidak mungkin ia pun mahir olah bela diri!

Kereta kuda terus melaju. Para penumpangnya melewatkan waktu dengan diam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Demikian juga ketika mereka tiba di pekarangan dalam benteng istana, para lare winih turun dengan membisu. Nyai Adicara mengatakan agar mereka langsung menuju Bangsal Atmaja untuk beristirahat. Para lare winih pun mengangguk patuh.

Pandan Selasih berjalan paling belakang sehingga ia yang masuk paling akhir. Rupanya ada seorang lare winih yang menunggunya di sudut bangsal. Dia adalah Dibal.

"Lasih, tunggu, aku ingin bicara sebentar denganmu," bisik anak laki-laki itu.

Lasih mengernyit.

"Tentang apa?" sahut anak perempuan itu heran.

"Di mana surat yang kauterima itu? Bolehkah aku memeriksanya?"

Lasih tertegun. Sejujurnya Lasih yakin bahwa para lare winih sudah tidak peduli lagi pada dirinya. Maka ucapan Dibal itu membuatnya tidak mengerti. Tapi surat itu memang ada di kantong bajunya. Maka, sepontan ia merogoh sakunya dan memberikan gulungan klaras itu pada Dibal.

Dibal membaca tulisan pada klaras itu dengan cepat.

"Aku tidak mengenali tulisan tangan ini," gumamnya terus terang. Lalu anak itu beralih mengendus-endus lembaran kecil berwarna coklat tadi. Wajahnya terkesiap.

"Lasih, apakah kau pernah memberikan lembaran ini kepada Nyai Adicara?" tanyanya kemudian.

Lasih menggeleng.

"Tak ada orang lain yang pernah memegangnya," ujar anak perempuan itu.

"Kau yakin?" tanya Dibal lagi.

"Ya," sahut Lasih pendek.

"Lembaran klaras ini baunya seperti wewangian yang biasa dipakai oleh Nyai Adicara," gumam Dibal mengerutkan alis. "Jadi, jika kau belum sempat menyerahkan surat ini padanya, agak mengherankan kalau aromanya persis seperti wewangian yang dipakai oleh wanita itu."

Lasih terkesiap.

"Kau... apakah kau mencurigainya?" gagap Pandan Selasih. "Kau mencurigai Nyai Adicara yang telah mengatur semua kejadian yang aku alami?"

Dibal mengangguk mantap dan berkata,

"Sangat kebetulan, bukan? Surat ini memintamu datang ke Wisma Bidara. Pada saat yang sama jadwal lare winih adalah menonton pertunjukan kesenian di Balai Kota. Wisma Bidara berada di ujung barat jalan Balai Kota, bukan? Sepertinya hanya orang yang tahu jadwal lare winih saja yang bisa mengatur semua ini. Dan orang tadi adalah Nyai Adicara!"

Lasih melongo.

"Kurasa kau mengada-ada," kata Pandan Selasih akhirnya. "Aku tak percaya. Mungkin saja bagian penerimaan surat di Paguponan, kandang-kandang burung merpati, memakai wewangian yang sama dengan yang dipakai oleh Nyai Adicara."

Dibal menggeleng.

"Tidak. Para petugas penerima surat di Paguponan semuanya laki-laki. Tak ada yang memakai wewangian wanita beraroma seperti itu."

"Lantas kau mau apa?"

"Ada beberapa hal yang perlu dibicarakan," kata Dibal. "Tunggu isyarat dariku nanti. Percayalah, Lasih, aku satu-satunya lare winih yang masih peduli padamu. Jadi tunggu saja isyarat apapun dariku malam ini."

Setelah berkata demikian Dibal segera meninggalkan Pandan Selasih.

Pandan Selasih tertegun. Tak tahu harus berbuat apa. Sepontan pula ia mencium klaras kecil yang dipegangnya.

"Klaras ini tidak berbau apa-apa. Benarkah ada aroma wewangian wanita itu?" pikir Lasih. "Ah, aku ingat. Dibal bisa berubah menjadi seekor singa muda. Tentunya penciumannya jauh lebih tajam dariku. Barangkali saja dia benar mengenai wewangian itu."

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang