Pandan Selasih menekuni buku-buku tentang kisah Putri Merah. Saat itu ia dan Pangeran Arcapada tengah berada di Ruang Primpen. Seorang prajurit berjaga di pintu masuk ruangan tersebut.
Tampak Lasih membaca buku-buku klaras itu dengan sangat cepat, seperti sekadar membolak-balik halaman buku saja. Sementara itu Pangeran Arcapada memandangi lukisan Dyah Lohita berlama-lama. Baru kali ini Sang Pangeran melihat lukisan itu. Tadi Lasih sempat bercerita padanya perihal Sang Putri Merah alias Dyah Lohita, gadis kecil dalam lukisan tadi.
"Apakah Pangeran sudah mempelajari buku-buku ini?" ujar Pandan Selasih tiba-tiba.
Pangeran Arcapada tersentak.
"Aku baru membaca satu buku saja. Dan itupun belum selesai kubaca. Masih ada di kamarku," sahut Sang Pangeran. "Silakan membaca saja, Lasih. Tak perlu memedulikan aku untuk saat ini."
Tapi rasanya Pandan Selasih memang tidak begitu mendengarkan ucapan Pangeran Arcapada. Ia telah tenggelam kembali menekuni buku-buku tadi.
Entah berapa lama waktu berlalu. Pangeran Arcapada tengah duduk di lantai dekat dinding sambil terkantuk-kantuk ketika Pandan Selasih berkata lagi.
"Pangeran, maaf," ujar Pandan Selasih.
Pangeran Arcapada terkesiap. Untuk sesaat ia tidak ingat sedang berada di mana.
"Saya sudah selesai membaca semuanya, Pangeran. Semua buku tentang kisah Putri Merah," ujar Lasih lagi.
"Benarkah?" tanya Sang Pangeran sambil mengucek matanya untuk menghilangkan rasa kantuk. "Benarkah Lasih? Lalu bagaimana pendapatmu?"
Lasih terdiam lama. Pangeran Arcapada menunggu dengan rasa penasaran.
"Saya rasa dia pantas menjadi seorang ratu," gumam Pandan Selasih.
"Apa? Pantas menjadi seorang ratu?" ujar Pangeran Arcapada kaget. "Maksudmu si Putri Merah itu?"
Pandan Selasih mengangguk.
"Ya, kurang lebih begitu, Pangeran. Tapi sebenarnya saya bingung, buku mana yang benar. Betul juga kata Menteri Kinanthi, jika kita telah membaca beberapa buku saja, akan sulit untuk menilai apakah Sang Putri Merah alias Dyah Lohita itu sosok yang baik atau sebaliknya sosok jahat. Satu buku mengatakan dia baik, sementara buku lainnya mengatakan dia jahat."
"Tapi bagaimana kata hatimu sendiri, Lasih? Menurutmu Dyah Lohita itu baik atau jahat?" ujar Pangeran Arcapada masih penasaran.
"Entahlah," sahut Lasih. "Tapi kepala saya rasanya penuh sekali setelah membaca buku-buku sebanyak itu. Sosok Dyah Lohita terus berseliweran ke sana-kemari di pikiran saya. Seolah-olah meminta saya untuk memutuskan dia itu sosok baik atau jahat, dan bahwa apapun pendapat saya akan membuatnya puas, seperti seseorang yang merasa mantap karena sudah mendapat kepastian."
Pangeran Arcapada tertegun. Lasih sepertinya telah kerasukan sesuatu dari buku-buku itu!
"Lasih, sebaiknya kau beristirahat dulu, untuk mengendapkan pikiranmu," ujar Sang Pangeran cemas. "Maafkan aku karena telah menawarkan membaca buku sebanyak itu."
"Tidak perlu meminta maaf, Pangeran. Saya tidak apa-apa, saya malah merasa senang," ujar Pandan Selasih dengan mata yang berbinar tiba-tiba. "Saya hanya teringat ucapan Nyai Kapti, Kepala Perpustakaan itu. Katanya saya memerlukan seseorang yang saya percayai untuk menampung pemikiran ataupun keresahan saya. Dan orang itu adalah... adalah Anda, Pangeran Arcapada."
"Begitukah? Memangnya apa yang telah membuatmu resah?" ujar Sang Pangeran, mengernyit, lalu berkata, "Kalau boleh kutebak, hubunganmu yang beku dengan para lare winih lain. Itu yang telah membuatmu resah. Benar bukan?"
Pandan Selasih tertawa kecil.
"Awalnya memang begitu, Pangeran," sahut Lasih ringan. "Tapi sekarang tidak lagi. Saya bahkan menganggap saya bukan bagian dari mereka lagi. Bukan bagian dari lare winih kelompok kedua lagi."
"Ya ampun. Tapi menjaga persatuan di antara lare winih itu penting sekali, Lasih."
Lasih mengangkat bahu, kemudian menatap mata Pangeran Arcapada lurus-lurus.
"Ada hal yang lebih penting, Pangeran," kata Lasih lirih. "Apakah Pangeran tahu desas-desus bahwa saya adalah putri dari Yang Mulia Maharaja Mahagraha? Jika hal itu benar, artinya kita ini bersaudara, Pangeran. Anda dan saya, kita berdua bersaudara!"
Pangeran Arcapada terbelalak. Ia tidak mengira Lasih memercayai desas-desus itu.
"Jangan salah paham, Pangeran," lanjut Lasih cepat-cepat. "Tentu saja saya tidak percaya desas-desus murahan semacam itu. Saya hanya memperkirakan, ada 'pihak' tertentu yang menginginkan hal seperti ini terjadi. Maksud saya, ada 'pihak' yang menginginkan kita berdua saling bertarung memperebutkan hak untuk berkuasa menjadi raja atau ratu Kerajaan Sanggabuana. Dengan pertarungan semacam itu keadaan kita semua menjadi lemah, dan kemudian kelemahan ini dimanfaatkan oleh 'pihak' tersebut untuk merebut kekuasaan kerajaan ini. Begitulah pemikiran saya, Pangeran."
Pangeran Arcapada tertegun.
"Sebenarnya ada cara untuk membuktikan hal itu. Maksudku, membuktikan apakah kau ini benar-benar anak Ayahanda Maharaja atau bukan," ujar Pangeran Arcapada lambat-lambat. "Bibi Kinanthi Maheswari bisa melakukannya. Namanya UBK, atau Uji Biang dan Kekerabatan. Caranya, bagian kecil dari tubuh kalian, misalnya rambutmu dan rambut Ayahanda Maharaja, diperiksa dengan cara UBK di Ruang Upiksa. Keduanya diperiksa dengan alat khusus, lalu dibandingkan. Jika kau memang putri dari Ayahanda Maharaja maka akan terlihat jelas hasilnya kalian berkerabat atau tidak. Mudah, bukan?"
Pandan Selasih mengernyitkan alis.
"Namun Ayahanda menolaknya dengan tegas. Ayahanda tidak bersalah dan tak perlu dibuktikan dengan cara UBK itu. Sebab jika sampai bersedia, itu menunjukkan bahwa Ayahanda mengakui telah melakukan suatu kesalahan, terlepas dari hasil pemeriksaan itu seperti apa," ujar Pangeran Arcapada. "Dan aku percaya bahwa Ayahanda-ku bersih dari tuduhan keji itu."
Lasih dan Pangeran Arcapada terdiam beberapa lama.
"Yah, itu benar. Kalau memang tidak bersalah, tak perlu dilakukan uji apapun juga," kata Lasih kemudian. "Oh, saya rasa cukup lama kita berada di Ruang Primpen ini, Pangeran. Bagaimana keadaan di luar sana, ya?"
"Mungkin saat ini sudah pagi," ujar Sang Pangeran. "Ayo kita keluar, Lasih."
***
Selanjutnya: BAGIAN 45 - TURUNAN KEDUA
KAMU SEDANG MEMBACA
HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]
FantasyLasih, anak perempuan berusia sepuluh tahun, diundang ke Istana Hinggiloka oleh Maharaja Mahagraha. Di sana ia diperlakukan istimewa oleh Sang Maharaja, melebihi anak-anak lain yang juga diundang. Maka beredar selentingan Lasih sesungguhnya anak kan...