Nyai Kapti mengantar Pandan Selasih ke rak nomor 29. Di sana terlihat Pangeran Arcapada sedang sibuk memilih-milih buku. Buku-buku di perpustakaan itu terbuat dari lembaran-lembaran klaras, atau daun pisang yang kering di pohonnya, yang dihimpun menjadi satu. Bukan sembarang klaras, melainkan klaras dari jenis pohon pisang Naga Laut yang terkenal liat, tidak mudah sobek, dan awet disimpan selama bertahun-tahun.
"Cukup banyak juga buku tentang Graha Brana, Nyai," kata Pangeran Arcapada. "Saya sampai bingung memilihnya. Ada saran, Nyai?""
"Mohon maaf, Pangeran. Setahu saya, baru kali ini Pangeran mencari buku-buku tentang Graha Brana, bukan? Mungkin saran saya, sebagai awal, Pangeran bisa membaca buku sejarah tentang Graha Brana itu sendiri," kata Nyai Kapti. Wanita itu memilih-milih buku sebentar, menariknya satu dari rak, lalu memberikannya pada Pangeran Arcapada. "Ini bukunya, Pangeran."
Pangeran Arcapada menerimanya dan membaca judul di sampulnya yang terdiri dari huruf-huruf prajan : Sejarah Graha Brana Kerajaan Sanggabuana.
"Terima kasih, Nyai," kata Pangeran Arcapada tersenyum. "Cukup tebal juga buku ini. Entah berapa lama saya bisa membacanya sampai habis."
"Tidak perlu buru-buru mengembalikannya, Pangeran," ujar Nyai Kapti. Wanita tua itu lalu menatap Pandan Selasih."Dan kau, Pandan Selasih, apakah kau ingin membaca buku yang sama? Tenang saja Nak, masih ada beberapa buku dengan judul dan isi yang sama."
Pandan Selasih mengangguk. Nyai Kapti mengulurkan sebuah buku dan Lasih menerimanya sambil mengucapkan terima kasih.
"Nah, sekarang silakan pilih sendiri jika kalian ingin judul yang lainnya," lanjut Nyai Kapti.
Pangeran Arcapada dan Pandan Selasih mengangguk, lalu keduanya sibuk memilih-milih buku klaras yang berjajar dan bertumpuk di rak tersebut. Pandan Selasih menarik buku berjudul Lambang-lambang Kemakmuran, kemudian buku berjudul Graha Brana Terkini, serta dua buku lainnya yang entah apa judulnya. Ada empat tambahan buku, buku-buku yang tidak kalah tebal dari yang pertama. Sementara Pangeran Arcapada memutuskan tidak menambah apa-apa. Ia hanya meminjam satu buku saja.
Beberapa saat kemudian keduanya mengucapkan terima kasih atas layanan Nyai Kapti. Wanita tua itu mengangguk dan tersenyum. Lalu Pangeran Arcapada dan Pandan Selasih berjalan bersama meninggalkan Ruang Pustaka itu.
"Kau meminjam sampai lima buah buku! Wah, kau sangat suka membaca, Lasih?" tanya Pangeran Arcapada.
"Awalnya tidak, Pangeran. Baru hari ini saja, tiba-tiba saya merasakan dorongan kuat dari dalam hati untuk membaca banyak buku," sahut Pandan Selasih.
"Benarkah?" ujar Pangeran Arcapada setelah tertegun sejenak.
Pandan Selasih mengangguk.
"Dorongan kuat yang tiba-tiba ya?" ujar Sang Pangeran kemudian. "Hmm, aku jadi teringat sesuatu. Oh ya, kau tadi berkata bahwa kau adalah seorang lare winih? Benarkah?"
Pandan Selasih mengangguk lagi.
"Benar, Pangeran. Saya seorang lare winih. Mahapatih Parasara yang mengatakannya. Katanya kami bersepuluh adalah para lare winih kelompok kedua."
"Lare winih kelompok kedua? Sepuluh orang?" ujar Pangeran Arcapada. Wajahnya terlihat sedikit bingung.
"Benar, Pangeran," kata Lasih lagi. Ia menjadi bingung juga. "Saya pikir Pangeran tahu akan hal ini."
Pangeran Arcapda menggeleng. "Aku baru tahu ternyata ada lare winih kelompok kedua. Sepuluh orang katamu? Aku juga seorang lare winih, Lasih. Kami ada sekitar lima puluh anak. Kami baru saja selesai melakukan geladi utama di Moksa Praja. Saat ini para lare winih itu telah kembali ke kerajaan asal masing-masing, dan tengah melakukan kerja magang di istana Kerajaan Bagian masing-masing pula."
Alis Pandan Selasih berkerut sedikit.
"Hmm, ayo kita duduk di bangku di sebelah sana itu, Lasih. Kuharap kau sedang tidak terburu-buru. Karena ada beberapa hal yang ingin kutanyakan padamu."
"Baik, Pangeran. Kebetulan saya sedang mendapat sedikit waktu bebas."
Keduanya lalu duduk di bangku panjang yang menghadap halaman dalam istana. Untuk beberapa saat keduanya berdiam diri. Pandan Selasih menunggu pertanyaan-pertanyaan apa yang akan dilontarkan oleh Pangeran Arcapada.
"Dari mana asalmu, Pandan Selasih?" tanya Pangeran Arcapada membuka percakapan.
"Saya dari Desa Larang Dubang, Pangeran, salah satu daerah ceceruk Sanggabuana," sahut Pandan Selasih, memperbaiki penutup wajahnya yang sedikit miring.
"Coba ceritakan padaku bagaimana sampai kau tinggal di istana ini. Ceritakan yang singkat saja," pinta Pangeran Arcapada.
Pandan Selasih pun menceritakan tentang dirinya yang selama ini hidup bersama Nyai Sirih neneknya, tentang dirinya yang dilukis dalam busana serbamerah, tentang penjemputan dirinya oleh Gadung Lelono, tentang serangan gerombolan Neman, juga tentang penjelasan-penjelasan Mahapatih mengenai lare winih kelompok kedua. Kemudian ia menceritakan bagaimana ia sampai harus berpakaian serbamerah, lengkap dengan sehelai kain merah kecil yang menutupi wajahnya. Terakhir Pandan Selasih menyatakan tentang keinginannya membaca kisah-kisah tentang Putri Merah.
Pangeran Arcapada mendengarkannya dengan saksama tanpa menyela.
"Aku terkesan, Lasih. Jadi, Ayahanda Maharaja Mahagraha yang memintamu untuk berpakaian serbamerah ini?" tanya Pangeran Arcapada setelah termenung sebentar.
Pandan Selasih mengangguk. "Dan beliau juga yang melarang saya untuk menjadi seorang pendekar, dilarang untuk melakukan latihan olah bela diri, dan hal-hal semacam itu. Maka saat lare winih yang lain sibuk berlatih olah bela diri dengan senjata, saya datang saja ke perpustakaan untuk meminjam buku. Buku-buku tentang kisah Putri Merah. Saya belum tahu satu kisah pun tentang Putri Merah itu. Tapi rupanya buku-buku itu sudah dipindah entah kemana oleh para prajurit atas permintaan Mahapatih Parasara."
Pangeran Arcapada mengangguk-angguk pelan.
"Aku juga tidak tahu cerita tentang Putri Merah," kata Pangeran Arcapada agak menerawang. "Aku sendiri selama ini tidak tinggal di istana. Aku tinggal bersama Ayah dan Ibu angkatku, dan baru beberapa waktu yang lalu aku menginjakkan kaki kembali di istana ini. Ah, ceritanya cukup panjang, Lasih. Mungkin kelak aku bisa bercerita banyak padamu. Yang jelas banyak sekali hal yang harus kupelajari di istana ini, karena aku juga termasuk warga baru di sini."
"Warga baru?" ujar Pandan Selasih kaget. Rasanya sulit untuk menerima kenyataan bahwa Pangeran Arcapada, putra Maharaja Mahagraha itu, adalah warga baru juga.
"Tak perlu terlalu dipikirkan, Lasih. Dan tentang buku-buku kisah Putri Merah itu, rasanya aku akan menanyakannya kepada Ayahanda Maharaja. Mestinya Ayahanda tahu di mana buku-buku itu sekarang. Siapa tahu kita bisa membacanya bersama-sama, Lasih. Tentu lebih mengasyikkan bukan, karena kita bisa membicarakan hal yang sama-sama sedang ingin kita ketahui?"
Pandan Selasih tiba-tiba merasa bersemangat. Mungkin akhirnya ia akan bisa mengetahui kisah Putri Merah! Dan yang tak kalah menyenangkan adalah ada orang lain yang juga mempunyai minat yang sama tentang hal itu. Orang itu salah satu lare winih kelompok pertama, yaitu Pangeran Arcapada.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]
FantasyLasih, anak perempuan berusia sepuluh tahun, diundang ke Istana Hinggiloka oleh Maharaja Mahagraha. Di sana ia diperlakukan istimewa oleh Sang Maharaja, melebihi anak-anak lain yang juga diundang. Maka beredar selentingan Lasih sesungguhnya anak kan...