"Memalukan sekali," gerutu Mayang Srini. "Masa Jeng Kanthil tidak ingat padaku."
"Sabarlah, Mayang," kata Arumdalu, sambil menepuk-nepuk pundak anak itu.
"Mungkin dia terlalu kaget, tidak mengira akan bertemu denganmu di sini, Mayang," sambung Laksmi.
Tapi, tampaknya Mayang Srini tahu, Arumdalu dan Laksmi hanya sekadar menghiburnya. Maka anak perempuan berkepang tunggal itu masih saja menggerutu tak jelas.
Udara malam itu terasa gerah. Empat lare winih perempuan masuk ke kamar, kemudian membuka jendela lebar-lebar. Cukup jauh di seberang sana, ada sebuah jendela berbalkon yang juga terbuka lebar. Seorang wanita tengah berdiri di ambang jendela sambil menggenggam gelas berkaki.
"Yang ada di seberang sana itu... Jeng Kanthil?" gumam Pandan Selasih.
"Iya, kau benar, itu Jeng Kanthil," ujar Arumdalu dengan mata berbinar-binar. "Ternyata kamarnya berseberangan dengan kamar kita. Lihat, gaun tidurnya indah sekali, seperti sayap kupu-kupu."
"Rupanya bukan kita saja yang merasa kepanasan, tapi dia juga," ujar Laksmi.
Arumdalu dan Pandan Selasih mengangguk sependapat.
Mayang Srini diam saja. Ia naik ke ranjang dan tampak mencoba tidur. Beberapa kali ia menggeser atau membalik bantalnya, mungkin mencari daerah yang dingin. Sementara Arumdalu dan Laksmi asyik mengobrol tentang orang-orang pestan, membahas tentang gaya hidup mereka yang gemar bermewah-mewah. Sedangkan Pandan Selasih asyik membaca buku.
Pagi harinya, pagi yang suram, para lare winih perempuan membuka kembali jendela-jendela kamar mereka.
"Hei, ada apa di sana?" ujar Laksmi sambil menunjuk ke seberang.
Yang lainnya melihat ke arah yang ditunjukkan Laksmi. Tampak ada tiga orang prajurit tengah memeriksa jendela kamar Jeng Kanthil. Jendela itu terlihat rusak, salah satu daun jendelanya bahkan nyaris lepas dari engselnya.
"Ada apa ya? Apakah Jeng Kanthil... kerampokan?" ujar Laksmi lagi.
"Memangnya jika dia pergi, dia selalu membawa-bawa hartanya kemana-mana?" sahut Arumdalu sangsi.
Melihat kesibukan para prajurit itu, tampaknya memang telah terjadi sesuatu terhadap wanita pesohor itu.
"Sebaiknya kita keluar, kita cari beritanya," ujar Pandan Selasih.
Laksmi dan Arumdalu mengangguk-angguk setuju, sementara Mayang Srini hanya diam, namun wajahnya tampak cemas.
Setelah berbenah seperlunya, mereka berempat keluar kamar. Setengah berlari mereka keluar dari Bangsal Atmaja. Mereka bertanya kepada seorang prajurit yang lewat tentang lorong menuju kamar-kamar para calon peserta Pesta Windon.
Mereka berempat berjalan cepat, namun mereka tertegun karena lorong yang itu bergambar cincin bertanda silang, pertanda mereka tak boleh masuk.
Keempatnya saling berpandangan. Apa yang harus dilakukan kini?
Saat itu dari arah samping muncul dua orang anak laki-laki. Mereka Andhaka dan Dibal.
"Hei, kalian mau ke mana?" tanya Andhaka.
"Kami mau ke kamar-kamar para calon Peserta Windon," sahut Pandan Selasih. "Sesuatu mungkin terjadi pada Jeng Kanthil. Jendela kamarnya rusak. Kami bermaksud ke sana untuk melihatnya. Tapi sayang sekali lorong ke sana bergambar cincin bertanda silang."
"Baru saja kita berdua juga bermaksud ke sana, tapi memang tak bisa," kata Andhaka lesu.
"Memangnya kalian berdua, dari mana?" tanya Laksmi.
"Kami baru saja berolahraga pagi," kata Andhaka lagi. "Tadi kami juga bertemu dengan Pangeran Arcapada. Memang ada semacam kesibukan di sekitar tempat itu. Saat ini Pangeran itu sedang melihat keadaan di sana. Kurasa kita tunggu saja dia di sini. Mungkin sebentar lagi dia muncul. Kita bisa menanyainya."
Mereka setuju, namun saling pandang bingung.
Tak lama kemudian Pangeran Arcapada benar-benar muncul. Wajahnya pucat pasi dan badannya agak gemetar. Ia menatap heran pada lare-lare winih yang tengah berdiri bergerombol di mulut lorong.
"Kalian... " ujar Sang Pangeran.
"Apa yang telah terjadi, Pangeran?" tanya Dibal.
"Jeng Kanthil," ujar Pangeran Arcapada lirih. "Jeng Kanthil... dia meninggal."
"Apa?!" seru keenam lare winih bersamaan.
"Dia... meninggal?" ujar Mayang Srini ternganga.
Pangeran Arcapada mengangguk-angguk linglung.
"Apa penyebabnya, Pangeran? Apakah karena dia sakit?" tanya Pandan Selasih.
"Tidak. Dia tidak sakit, melainkan meninggal karena dibunuh," sahut Pangeran Arcapada gemetar. "Dia terbaring di dekat pintu. Bagian dadanya robek, dan menurut Ki Waskita yang tadi memeriksanya, jantung-nya telah dibetot dengan paksa hingga putus. Jantung itu hilang. Mungkin telah dibawa pergi oleh si pembunuh. Darah sampai membanjir di lantai kamarnya."
Para lare winih terbelalak.
"Awalnya, tadi pagi, seorang pelayan datang hendak mengantarkan air hangat ke kamarnya," lanjut Pangeran Arcapada. "Ia kaget melihat rembesan darah keluar dari bawah pintu. Ia segera melapor pada prajurit penjaga. Ki Waskita, Kepala Tabib itu, didatangkan pula untuk memeriksa. Ternyata Jeng Kanthil telah meninggal, dibunuh dengan sangat sadis. Saat ini ruangan tidurnya sedang diperiksa oleh prajurit pasukan khusus."
"Apakah mayat Jeng Kanthil masih ada di sana?" tanya Dibal lirih.
"Tidak. Sudah dipindahkan ke Griya Tamba," sahut Sang Pangeran. "Bayangkan. Aku... aku tidak mengira hal sekejam itu dapat terjadi di sini, di dalam Istana Hinggiloka!"
Mereka kembali saling pandang.
***
SELANJUTNYA: Bagian 53 - MENUNGGU
KAMU SEDANG MEMBACA
HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]
FantasyLasih, anak perempuan berusia sepuluh tahun, diundang ke Istana Hinggiloka oleh Maharaja Mahagraha. Di sana ia diperlakukan istimewa oleh Sang Maharaja, melebihi anak-anak lain yang juga diundang. Maka beredar selentingan Lasih sesungguhnya anak kan...