Pandan Selasih dan Nyai Sirih berpelukan lama. Anak perempuan itu memeluk neneknya erat-erat, seolah-olah ia tak akan pernah berjumpa lagi dengannya.
"Jagalah dirimu baik-baik di istana, Nak," kata Nyai Sirih. "Patuhlah kepada Maharaja Mahagraha. Aku yakin, beliau akan memperlakukanmu dengan amat baik di sana."
Pandan Selasih mengangguk-angguk sambil terisak.
Awal malam itu utusan raja datang untuk menjemput Pandan Selasih. Utusan itu adalah Gadung Lelono, prajurit yang beberapa waktu lalu mendatangi mereka. Saat ini adalah waktunya perpisahan antara Pandan Selasih dengan neneknya.
Nyai Sirih melepaskan pelukannya. Pandan Selasih menyusut air matanya, merapikan kain kecil yang menutupi wajahnya. Bagi mereka perpisahan ini terasa menghampakan hati, terutama Lasih. Ia tak pernah terpisah dari neneknya meskipun hanya sehari. Tapi neneknya meneguhkannya bahwa perpisahan ini demi kebaikan mereka berdua. Toh bukan perpisahan untuk selamanya, meskipun perpisahan ini entah akan berapa lama.
"Tuan Gadung Lelono, aku mohon, tolong jagalah cucuku baik-baik."
"Tenanglah, Nyai. Semuanya sudah dipersiapkan. Percayalah padaku dan pada Maharaja," sahut prajurit itu. "Oh ya, kami akan menyusuri jalan pintas yang sepi, untuk menjaga diri kami dari segala kemungkinan buruk."
Nyai Sirih mengangguk-angguk.
"Ya, aku mengerti. Kepergian cucuku adalah suatu rahasia. Jika ada penduduk sini yang bertanya padaku, akan kukatakan bahwa Lasih sedang pergi jauh dengan seorang kerabat."
Gadung Lelono tersenyum penuh pengertian. Lelaki itu lalu membantu menaikkan Pandan Selasih ke atas punggung kuda. Ia meletakkan kantong bekal milik anak perempuan itu di bagian depan. Ia sendiri akan berjalan kaki sambil menuntun kuda itu.
"Kuatkanlah hatimu, Nak. Jangan melihat ke belakang. Semoga segala sesuatunya berjalan dengan lancar, dan kau bisa berkumpul kembali bersama Nenekmu," bisik Gadung Lelono pada anak perempuan itu.
Pandan Selasih mengangguk-angguk lemah.
Perjalanan pun dimulai. Suasana gelap. Gadung Lelono menuntun kuda yang ditunggangi Pandan Selasih. Satu tangannya lagi menggenggam obor minyak biji jarak. Mereka menyusuri jalan setapak, jalan pintas yang berliku menembus hutan. Mereka mulai bergerak menjauhi Desa Larang Dubang.
"Tuan, jika nanti Tuan lelah berjalan, kita menunggang kuda ini secara bergantian saja," ujar Lasih.
Gadung Lelono tersenyum.
"Panggil saja aku 'Paman'," sahut Gadung Lelono.
"Baik, Paman. Kita akan bergantian menunggang kuda, bukan?"
"Tidak usah terlalu memikirkan diriku, Nak. Aku ini seorang prajurit. Aku telah terbiasa berjalan kaki jauh. Lagipula kita baru saja berangkat, bukan? Tapi, jika nanti kau sendiri sudah lelah, katakan saja padaku. Kita akan beristirahat."
Pandan Selasih tersenyum tipis. Anak itu merasa cukup lega karena Gadung Lelono, lelaki bercambang tebal itu, tampaknya seorang prajurit yang baik.
DHUAAAAAR!!!
Belum terlalu jauh mereka masuk ke dalam hutan, tiba-tiba terdengar bunyi ledakan keras. Ledakan itu begitu menggelegar! Tanah di mana Gadung Lelono dan Pandan Selasih berada sampai bergetar-getar. Kuda yang ditunggangi Pandan Selasih pun sampai mengejut kaget.
Pandan Selasih terbelalak, lalu berpaling ke arah Gadung Lelono. Prajurit itu menghentikan langkah kudanya. Lelaki itu langsung tampak bersiaga.
"Suara apa itu, Paman?" ujar Pandan Selasih lirih.
"Aku tidak tahu, Nak," sahut Gadung Lelono lirih pula. "Maaf Nak, kukira kita harus naik kuda bersama-sama. Tolong duduklah agak ke depan."
Pandan Selasih beringsut maju. Gadung Lelono lalu melompat naik ke punggung kudanya, duduk di pelana di belakang Pandan Selasih.
"Ledakan itu datangnya dari arah rumahmu," kata Gadung Lelono. Lalu prajurit itu memutar arah kudanya, kembali menuju rumah panggung di pinggiran hutan. "Lihat, ada pendar-pendar cahaya di sana. Kita kembali ke sana, Nak. Kita periksa apa yang telah terjadi."
Jantung Pandan Selasih berdebar kencang. Ia langsung mengkhawatirkan keadaan neneknya. Sementara itu Gadung Lelono segera menyentakkan tali kekang dengan satu tangan, dan tangan satunya tetap memegang obor. Lalu kuda mereka menyusur balik jalan setapak menuju rumah panggung Nyai Sirih.
Mereka segera tiba di pinggir hutan. Tampak pohon-pohon di sekitar tempat itu menyala terbakar api, sedangkan asap menguar di mana-mana. Udara terasa panas, seperti berada di dekat tungku yang menyala.
"Nenek..." gumam Pandan Selasih gemetar.
Pandan Selasih dan Gadung Lelono mengedarkan pandangan. Saat itu di arah rumah Nyai Sirih terselubungi asap hitam. Meskipun begitu mereka bisa melihat bahwa rumah panggung Nyai Sirih kini telah rata dengan tanah. Gundukan dan cekungan merah membara di areal bekas rumah itu terlihat mengepul-ngepulkan asap.
"Nenek... " kata Pandan Selasih lagi, mencoba turun dari kuda, sambil menggeleng-geleng tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Tunggu, Nak. Jangan turun!" cegah Gadung Lelono.
Air mata menggenang di pelupuk mata Lasih. Anak perempuan itu berpaling ke arah Gadung Lelono yang duduk di belakangnya. Keduanya saling berpandangan.
"Bagaimana dengan Nenekku, Paman? Bagaimana dengan Nenekku?!" Air mata Pandan Selasih kini berlinangan.
"Rumah kalian telah hancur lebur menjadi abu dan arang dalam sekejap," kata Gadung Lelono. "Maafkan aku, Nak. Tapi jika Nenekmu tadi berada di dalam rumah, kemungkinan besar beliau tidak selamat. Ledakan tadi dahsyat sekali, sanggup meleburkan rumah beserta isinya hingga tak tersisa apapun, selain abu hitam."
Serpihan-serpihan kecil tempak bergerak melayang turun perlahan seperti kabut embun. Gadung Lelono dan Pandan Selasih menadahkan telapak tangannya. Beberapa serpihan itu mendarat di telapak tangan mereka. Serpihan-serpihan arang halus bekas benda terbakar.
Gerimis kecil mulai menitik, bercampur dengan debu arang. Dan tiba-tiba terdengar suara menggeram di kegelapan. Disusul suara serupa di beberapa penjuru. Geraman-geraman itu lalu saling bersahut-sahutan.
"Oh, kurasa kita harus segera pergi dari sini," bisik Gadung Lelono cepat pada Pandan Selasih. "Jaga keseimbangan badanmu, Nak. Aku akan memacu kuda ini secepat mungkin."
Gadung Lelono bergegas memutar kembali kudanya dan menyentakkan tali kekang. Lelaki itu segera memacu kuda itu ke jalan setapak yang masuk ke dalam hutan tadi. Dan kuda itu pun berlari sebisanya. Jalanan yang gelap, gerimis, hanya diterangi nyala obor yang tak seberapa, membuat kuda itu lebih mirip berjalan cepat ketimbang berlari.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]
FantasiaLasih, anak perempuan berusia sepuluh tahun, diundang ke Istana Hinggiloka oleh Maharaja Mahagraha. Di sana ia diperlakukan istimewa oleh Sang Maharaja, melebihi anak-anak lain yang juga diundang. Maka beredar selentingan Lasih sesungguhnya anak kan...