Bagian 12 - BADAI DI PAGI HARI

82 6 0
                                    

Di Istana Hinggiloka seorang prajurit menuruni tangga batu melingkar, diikuti oleh Pandan Selasih, Mayang Srini, dan Andhaka. Mereka turun dari Ruang Kepatihan, hendak menuju ke Bangsal Atmaja. Saat itu terdengar suara mendesau yang sangat keras. Suara hembusan angin.

Si prajurit tiba-tiba berhenti.

"Ada apa, Paman prajurit?" tanya Pandan Selasih. Mayang Srini dan Andhaka menanyakan hal yang hampir sama.

"Badai datang lagi," kata si prajurit. Mukanya terlihat bingung.

"Cuaca baru saja berubah, dari cuaca pagi yang cerah tiba-tiba berubah buruk, kemudian cerah lagi, lalu ini memburuk kembali," kata Andhaka. "Apakah cuaca di sini memang begitu?"

Muka prajurit itu terlihat tegang.

"Yah, akhir-akhir ini kita sedang kedatangan musim angin. Baru pernah terjadi. Sering mendung dan juga berangin," ujar si prajurit.

"Aneh ya, padahal sekarang bukan musim hujan, bukan?" kata Mayang Srini.

"Ya, tapi tidak sampai hujan, hanya mendung dan berangin saja, tapi anginnya sangat kencang," ujar si prajurit lagi.

Tiba-tiba dedaunan kering dan debu menghambur ke arah mereka berempat.

"Ohhh...!" pekik Pandan Selasih, langsung menutup matanya.

"Aduh! Aku kelilipan!" seru Mayang Srini.

"Pfff...!" seru Andhaka. Tampaknya ada sesuatu yang masuk ke dalam mulutnya.

"Sebaiknya kita kembali ke atas, ke Ruang Kepatihan," kata si prajurit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Sebaiknya kita kembali ke atas, ke Ruang Kepatihan," kata si prajurit. "Kita tunggu di dalam sana hingga badai ini mereda."

Anak-anak saling berpandangan. Memang badai bisa membawa bahaya, namun mereka merasa aman-aman saja karena mereka sedang berada di tempat terlindung, yaitu di dalam benteng istana.

"Mengapa kita tidak melintasi pekarangan dan menembus badai saja, prajurit? Langsung ke Bangsal Atmaja. Kurasa tidak apa-apa. Aku yakin, di halaman yang dikelilingi tembok benteng seperti ini tak akan ada bahayanya," ujar Andhaka gagah.

Sepintas wajah prajurit itu seperti memucat. Tapi kemudian ia berkata, "Jangan mengambil bahaya, Nak. Ayo, kita naik kembali."

Anak-anak memilih patuh. Mereka pun berbalik menaiki tangga batu melingkar. Mahapatih Parasara menyambut mereka berempat dengan air mukanya yang datar.

"Tindakan yang sangat tepat, prajurit. Kembalilah ke tempatmu. Nah, Anak-anak, sebaiknya kalian memang menunggu di sini saja sampai badai itu benar-benar reda," kata Sang Mahapatih. Ada kesan menahan diri dalam ucapannya.

"Sebenarnya saya tidak keberatan untuk menembus tiupan angin itu, Tuan Mahapatih," ujar Andhaka. Pandan Selasih dan Mayang Srini mengangguk setuju. "Bukankah sebagai calon penerus pemerintahan kerajaan kami harus berani?"

"Kalian memang harus berani, Anak-anak. Namun jangan bertindak gegabah, jangan ceroboh. Perlu kalian ketahui, badai seperti ini sudah memakan korban jiwa," kata Sang Mahapatih bersungguh-sungguh. "Dua hari yang lalu, salah seorang pengurus taman istana, tewas tertimpa tiang panji-panji. Tewas mengenaskan. Tiang besi untuk bendera di tengah taman itu roboh tertiup angin dan tepat menimpa kepalanya sehingga... oh, yah, yang jelas, setelah kejadian itu aku mengeluarkan peraturan baru. Peraturan untuk para penghuni istana. Untuk sementara ini, jika cuaca buruk sedang berlangsung seperti sekarang, siapapun dilarang berjalan-jalan di pekarangan istana, apalagi sampai keluar dari bangunan tembok benteng. Kita tak tahu bahaya apa saja yang tengah mengintai."

Anak-anak tercengang. Tampaknya Mahapatih benar-benar beranggapan bahwa badai yang aneh itu bukan sesuatu yang main-main.

Mahapatih Parasara menatap ketiga anak itu. Lalu ia berkata dengan suara berbisik namun penuh penekanan, "Sekarang dengar baik-baik, Anak-anak. Kalian adalah warga baru di istana ini. Jika nanti kalian menyaksikan sesuatu yang ganjil di sini, tolong jangan bertindak sendiri. Kalian sampaikan saja kepadaku. Ingat ya, kalian beritahukan saja kepadaku. Aku harus tahu karena aku kebetulan adalah tangan kanan Maharaja Mahagraha. Kalian paham?"

Pandan Selasih, Mayang Srini, dan Andhaka mengangguk mengiyakan.

***

HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang