Mahapatih Parasara mengumpulkan para lare winih di Ruang Kepatihan. Mereka menghadapi meja besar berisi miniatur Istana Hinggiloka. Namun bangunan benteng segi enam beserta istananya telah disingkirkan. Yang terlihat adalah semacam parit-parit yang bercabang-cabang.
"Ini miniatur ruang bawah tanah istana," kata Sang Mahapatih. "Parit-parit ini adalah lorong-lorong di dalamnya."
Mahapatih memandang para lare winih.
"Namun sebelumnya, kita akan membahas dulu mengenai ketua lare winih kelompok kedua ini," lanjut lelaki berwajah datar itu. "Andhaka telah menjabat sebagai ketua dengan baik sekali. Sekarang saatnya kalian berganti pimpinan. Jabatan ini memang bergilir. Maka, aku akan menunjuk salah seorang dari kalian untuk menjadi ketua lare winih yang baru. Nah, kalian siap?"
Para lare winih saling memandang, lalu mengangguk.
"Aku memilih Pandan Selasih sebagai ketua baru."
Pandan Selasih terkesiap. Jelas ia tidak menyangka akan ditunjuk sebagai ketua. Sejumlah lare winih lain tampaknya juga tidak mengira akan hal itu.
"Ketua baru sudah ditetapkan. Jadi, mulai sekarang jika ada kegiatan khusus lare winih, kebijakan ada di tangan Pandan Selasih," kata Mahapatih Parasara. "Dan ingat, kalian semua harus patuh pada keputusannya. Kalian mengerti?"
Tak ada pilihan lain, para lare winih mengangguk-angguk.
"Dan kau mengerti Lasih?" ujar Mahapatih.
Pandan Selasih mengangguk meskipun agak ragu. Namun cukup beruntung baginya, saat ini hubungannya dengan para lare winih lain sudah cukup membaik.
"Baiklah. Sekarang kita kembali ke miniatur ruang bawah tanah," lanjut Mahapatih Parasara. "Lihat, kalian harus menghapalkan jalur-jalur utamanya. Seperti yang ini, ini adalah Jalur Naga, jalur berkelok-kelok menuju kaki bukit Padang Parilang. Kalian sudah pernah melewatinya, bukan?"
Para lare winih kembali mengangguk-angguk.
"Kalian lihat ada beberapa cabang lorong di Jalur Naga ini," ujar Mahapatih Parasara sambil menunjuk dengan tuding kayunya. "Nah, sampai di sini apakah ada pertanyaan?"
Andhaka mengangkat tangan. Mahapatih menyilakannya.
"Maaf Mahapatih, tapi pertanyaan saya agak menyimpang sedikit dari pokok pembicaraan," kata anak laki-laki berambut panjang itu.
"Silakan, Nak," sahut Sang Mahapatih.
"Begini, Tuan. Ketika kami menyusuri Jalur Naga beberapa waktu yang lalu, kami mendengar suara dengkuran. Menurut kabar burung, itu adalah suara naga yang berada di bawah tanah Istana Hinggiloka. Benarkah naga itu ada, Mahapatih? Soalnya, jika melihat parit-parit ini, tak ada tempat yang cukup luas bagi sesosok naga untuk bisa disembunyikan di sana."
Mahapatih Parasara tertegun sekilas, lalu berkata lambat-lambat,
"Yah, kurasa... kurasa kalian memang harus melihat naga itu. Tapi sebaiknya kalian mesti melihatnya secara langsung di sarang-nya," kata Sang Mahapatih. "Mungkin akan aku usulkan jadwal ini pada Aki Guru."
Para lare winih saling pandang dengan mata berbinar.
"Jadi, benar-benar ada naga di ruang bawah tanah Istana Hinggiloka?" ujar Andhaka bersemangat.
"Aku tidak berkata begitu. Tapi memang ada sosok tertentu yang mengeluarkan bunyi dengkur itu. Sosok yang tengah sibuk bekerja di sarang-nya," ujar Mahapatih yang kedengaran berteka-teki.
"Saya sependapat dengan Andhaka, parit-parit itu terlalu kecil bagi seekor naga," sela Dibal medesak. "Jadi di bagian mana sarang naga itu?"
Mahapatih Parasara menyapukan pandangan pada para lare winih. Lalu memandang jalur-jalur parit di miniatur ruang bawah tanah.
"Kalian tahu tentang gedung bertingkat?" tanya Sang Mahapatih. "Nah, demikian juga dengan ruang bawah tanah, dibangun bertingkat pula. Di bawah lorong-lorong ini ada lorong-lorong lain yang lebih dalam, di lapisan bawahnya. Sayang sekali kami tidak mempersiapkan miniatur untuk bagian di tingkat bawah ini. Itu memang disengaja, karena ruangan-ruangan itu amat dirahasiakan."
Mata para lare winih kembali berbinar. Ruang bawah tanah yang bertingkat itu terlihat menarik minat mereka.
"Maaf, Mahapatih," sela Pandan Selasih. "Apakah ruangan-ruangan yang amat rahasia itu telah tergambar di gulungan denah yang telah dirampas oleh Nyai Adicara?"
Mahapatih Parasara mengangguk-angguk pelan.
"Benar, Nak. Gulungan itu berisi denah ruangan amat rahasia yang akan kami bangun. Tapi sebagian ada yang sudah digali, sebagian lagi ada yang belum. Syukurlah kami tidak memberi tanda-tanda khusus pada denah itu, mengenai bagian mana yang sudah digali maupun bagian mana yang belum. Jadi, Nyai Adicara atau siapapun tidak akan bisa memanfaatkannya secara sepenuhnya."
"Tuan Mahapatih, saya telah diangkat menjadi ketua lare winih di sini," kata Pandan Selasih. "Bolehkah saya membuat jadwal sendiri, yaitu kami akan meninjau ruang-ruang bawah tanah itu, serta melihat ruang-ruang amat rahasia di bawahnya?
Mahapatih Parasara mengernyit.
"Boleh tahu apa alasanmu, Nak?"
"Saya merasa hal ini penting dan mendesak, Tuan. Jika Satwatiron-Satwatiron buatan Ludira Mahalaya mulai berdatangan ke Istana Hinggiloka, ada kemungkinan makhluk-makhluk itu juga akan dikirim melalui ruang bawah tanah. Ini hanya untuk berjaga-jaga saja."
Mahapatih Parasara tertegun sejenak, lalu berkata,
"Nanti akan aku rundingkan dengan Aki Guru. Semoga beliau mengijinkannya," ujar Sang Mahapatih. "Dan Lasih, kurasa aku tidak salah memilihmu menjadi ketua lare winih. Kau langsung bertindak cepat memanfaatkan kedudukanmu itu. Itu bagus sekali. Dan baiklah, aku akan memberitahu pada kalian secepatnya setelah aku berunding dengan Aki Guru. Dan pertemuan ini kurasa sudah cukup. Sekarang, silakan kembali ke tempat kalian. Selamat sore."
***
Selanjutnya: Bagian 58 - SURAT IJIN
KAMU SEDANG MEMBACA
HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]
FantasyLasih, anak perempuan berusia sepuluh tahun, diundang ke Istana Hinggiloka oleh Maharaja Mahagraha. Di sana ia diperlakukan istimewa oleh Sang Maharaja, melebihi anak-anak lain yang juga diundang. Maka beredar selentingan Lasih sesungguhnya anak kan...