Makan siang kali ini berlangsung cepat. Para lare winih juga tidak terlalu banyak berbicara, karena Nyai Adicara telah siap menunggu mereka. Ia memberi waktu hanya sebentar saja untuk makan.
"Huh, mengapa harus buru-buru sih?" Arumdalu mengomel sendiri. Mulutnya penuh makanan.
"Baru kali ini kau tidak bisa menambah makanan, ya?" canda Laksmi pada si gemuk itu.
Arumdalu mendelik sebal.
Jadwal mengenal seluk-beluk istana pun terus berlanjut. Seperti arahan Mahapatih Parasara, sedapat mungkin jadwal para lare winih tidak diubah meskipun sedang ada kejadian mendesak. Dan siang ini para lare winih didampingi Nyai Adicara mengunjungi ruang penyimpanan senjata. Mereka melihat-lihat beraneka ragam jenis senjata, seperti pedang, tombak dan tameng, trisula, gada, panahan, cambuk, dan sebagainya dalam berbagai ukuran.
"Kalian pilih satu jenis senjata yang kalian ingin bisa menggunakannya," kata Nyai Adicara.
"Bolehkah lebih dari satu, Nyai?" tanya Andhaka.
"Kukatakan satu jenis senjata saja!" kata Nyai Adicara. "Tidak perlu serakah, karena lain waktu kau bisa memilih jenis senjata yang lain. Tapi untuk saat ini pilih satu saja."
Para lare winih mengangguk-angguk. Merekapun mulai mengamat-amati senjata-senjata yang ada, menyentuhnya dengan hati-hati, kemudian tampak mulai memilihnya dengan penuh minat. Namun sesungguhnya perhatian anak-anak sedang terpecah. Meledaknya gedung Graha Brana tadi menimbulkan banyak pertanyaan, sehingga walaupun samar, suasana gelisah tampak menghinggapi anak-anak itu.
Pandan Selasih juga terlihat memerhatikan senjata-senjata itu dengan penuh minat. Ia menyentuh sebilah pedang yang tampak mengilap. Ia mencoba membayangkan bagaimana rasanya jika ia menjadi seorang pendekar pedang, atau petarung bersenjata lainnya. Tapi mungkinkah?
"Pandan Selasih," ujar Nyai Adicara pelan di dekat Lasih, "aku sudah diberitahu bahwa Maharaja telah melarangmu belajar olah bela diri dan semacamnya? Kau ingat itu?"
Pandan Selasih mengangguk.
"Iya, Nyai. Saya pun hanya melihat-lihat senjata-senjata ini saja, tidak akan memilihnya," kata anak perempuan itu.
Pandan Selasih agak heran juga, ternyata Nyai Adicara bisa berbicara cukup lembut padanya. Tapi Lasih segera sadar, bukannya lembut namun lebih tepatnya suaranya agak berbisik.
"Kau boleh menyaksikan teman-temanmu berlatih olah bela diri bersenjata, sebentar lagi, kalau kau mau," lanjut Nyai Adicara. "Tapi kalau tidak juga tidak apa-apa. Siang ini adalah sedikit waktu bebas untukmu. Terserah kau mau ke mana."
Pandan Selasih mengangguk lagi.
"Kalau begitu saya akan jalan-jalan sebentar, Nyai. Mungkin melihat-lihat taman atau apa saja nanti," kata Pandan Selasih.
"Terserah kau," ujar Nyai Adicara.
Rupanya inilah saat-saat yang sedang ditunggu-tunggu oleh Pandan Selasih - waktu bebas! Ya, anak itu sangat tahu ia akan pergi ke mana.
Pandan Selasih berjalan bergegas-gegas menyusuri sebuah lorong, mengikuti arah papan-papan penunjuk tempat, berbelok ke lorong lain, dan terus melangkah. Istana itu terasa agak lengang dari lalu-lalang orang. Ternyata kemudian Lasih menjumpai orang-orang tengah berdiri bergerombol-gerombol di beberapa tempat. Mereka tampak sedang bercakap-cakap pelan. Wajah-wajahnya menggambarkan kecemasan. Barangkali orang-orang itu sedang membicarakan peristiwa meledaknya gedung Graha Brana tadi.
Lasih terus melangkah. Beberapa orang dari kerumunan-kerumunan itu memerhatikan dirinya yang berjalan melintas. Mereka mengernyit heran, tapi Lasih sudah mulai terbiasa. Rasanya, apalagi yang mereka herankan selain melihat seorang anak perempuan berpakaian serbamerah, serta mengenakan kain penutup wajah berwarna merah pula, muncul di dekat mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]
FantasyLasih, anak perempuan berusia sepuluh tahun, diundang ke Istana Hinggiloka oleh Maharaja Mahagraha. Di sana ia diperlakukan istimewa oleh Sang Maharaja, melebihi anak-anak lain yang juga diundang. Maka beredar selentingan Lasih sesungguhnya anak kan...