Pangeran Arcapada sendiri memutuskan untuk mengakhiri acara jalan-jalan itu. Sebetulnya masih ada bagian-bagian lain dari kebun kerajaan yang hendak diperlihatkannya, namun akibat serangan serangga-serangga Muring Inten maka menurutnya lebih bijaksana jika mereka semua kembali ke istana. Sebab bukan tidak mungkin ada hal-hal lainnya yang akan mengancam keselamatan mereka di kebun itu. Di samping itu, yang terpenting adalah peristiwa ini harus segera dilaporkan.
Mereka berjalan sambil berdiam diri, kembali menyusuri terowongan Jalur Naga. Nyaris tak ada yang saling berbicara. Pangeran Arcapada dan Andhaka berjalan paling depan. Keputusan Andhaka untuk memisahkan Pandan Selasih dari para lare winih yang lain ternyata menghasilkan suasana galau dan tidak enak. Apalagi Dibal Patigaman berencana memisahkan diri juga.
Tak lama kemudian mereka mendaki telundakan batu keluar dari ruang bawah tanah. Keadaan istana sudah lebih lengang, tidak terlalu banyak prajurit lagi yang berkumpul. Mereka melangkah menyusuri koridor-koridor menuju kembali ke Pendopo Gadhing.
Ketika hampir sampai di pendopo, rombongan itu berpapasan dengan seorang wanita setengah baya. Wanita itu sepertinya sedang mengandung. Ia mengenakan pakaian sederhana model longgar. Wajah dan rambutnya juga sederhana, nyaris tanpa riasan, sangat berbeda dengan penampilan Nyai Adicara yang selalu berbedak tebal, digelung rapi, serta berpakaian bagus. Yang paling menarik perhatian adalah hidungnya yang mbangir, mancung indah seperti hidung Pangeran Arcapada.
"Selamat siang, Bibi Kinanthi," sapa Pangeran Arcapada.
"Selamat siang, Pangeran," sahutnya. Suaranya terdengar kecil tapi jernih. Ia tersenyum tipis.
"Teman-teman, perkenalkan ini Bibi Kinanthi Maheswari. Ia masih bersaudara sepupu dengan Ibundaku, Permaisuri Batari Prameswari," ujar Sang Pangeran.
Kinanthi Maheswari menangkupkan tangan di depan dada sebagai tanda hormat, dibalas oleh para lare winih dengan cara yang sama. Mereka juga segera paham mengapa hidung wanita itu mirip hidung Pangeran Arcapada, karena mereka ternyata masih berkerabat.
"Senang sekali bertemu kalian semua," ujarnya ramah.
Gadung Lelono tampak terburu-buru menghampiri wanita itu.
"Ada apa, Rayi, mengapa berjalan-jalan sendiri tanpa dikawal? Apakah Rayi baik-baik saja?" tanya Gadung Lelono khawatir.
"Aku baik-baik saja, Kakang," sahut wanita itu. "Aku hanya sedang mencari udara segar. Oh - mengapa pakaian-pakaian kalian koyak menghitam seperti bekas terbakar? Kalian semua dari mana?"
"Kami baru saja jalan-jalan di kebun kerajaan," kata Gadung Lelono. "Tahukah Rayi, ternyata Padang Parilang sedang diserang oleh hama Muring Inten - salah satu jenis makhluk dongeng yang ini muncul juga."
Gadung Lelono merogoh saku dan menyerahkan beberapa butir benda pada wanita tersebut.
Kinanthi Maheswari mengamat-amatinya dengan saksama.
"Inikah serangga-serangga Muring Inten itu?" gumamnya merenung. "Hmm, kurasa serangga ini makhluk hasil percampuran - ada bagian walang sangit, wereng, kepik emas, serta entah bagian apa lagi. Kebanyakan merupakan jenis-jenis hama tanaman padi."
"Gigitannya terasa sangat panas, Bibi. Seperti terkena bara," ujar Pangeran Arcapada.
"Hmm, mungkin tercampur juga dengan bagian serangga sejenis semut api," kata Kinanthi Maheswari dengan nada kagum. "Zat yang berasal dari semut api itulah mungkin yang menyebabkan rasa terbakar. Tapi untuk kepastiannya kurasa perlu diteliti lebih lanjut di Ruang Upiksa. Yang jelas makhluk ini dirakit dengan sangat cermat."
Sesaat semuanya diam.
"Tapi, tunggu," ujar wanita itu sambil mengernyitkan alis. "Apakah hanya pakaian kalian saja yang koyak terbakar? Sedangkan tubuh kalian tidak apa-apa?"
Segera saja Gadung Lelono bercerita singkat tentang Laksmi Larasati yang memiliki kemampuan menyembuhkan luka.
"Begitulah kejadiannya, Rayi. Para lare winih sungguh istimewa, bukan?" ujar Gadung Lelono. Dan seakan baru tersadar, ia segera melanjutkan, "Oh ya, Anak-anak, Kinanthi Maheswari adalah Menteri Keilmuan dan Kecanggihan. Mungkin kalian sempat bertemu di Ruang Sidang Utama tadi pagi? Dan kebetulan juga dia adalah istriku."
Para lare winih mengangguk dan tersenyum. Pantas saja Gadung Lelono memanggilnya Rayi, yang berarti adik.
"Kami sedang menunggu kelahiran anak pertama kami," tambah Gadung Lelono.
Kinanthi Maheswari mengusap perutnya sambil tersenyum lagi, tampak bahagia. Dan ia agak tersentak ketika menyadari bahwa Pandan Selasih berada di dekatnya.
"Dan kau Pandan Selasih, si Putri Merah itu bukan?" ujar Kinanthi Maheswari.
Lasih mengangguk ragu. Wajahnya yang memesona itu kini dalam keadaan terbuka.
"Wah, kau ternyata cantik sekali, Nak," puji istri Gadung Lelono itu. "Tahukah kau, hampir seluruh orang di istana ini sedang membicarakan dirimu. Apalagi kau tadi berdebat dengan Menteri Druwiksa tentang upacara Phujanbantala. Kau terlalu berani, Nak. Tapi itu membuatku terkesan."
Lasih tidak tahu harus berkata apa.
Kinanthi Maheswari tiba-tiba meringis sambil mengusap perutnya yang besar.
"Oh... dalam minggu-minggu ini mungkin aku akan melahirkan," katanya setengah meringis dan setengah tersenyum. "Kau tahu, Pandan Selasih. Aku ingin sekali ketika melahirkan nanti ditangani oleh Nenekmu, Nyai Sirih. Dia dukun bersalin yang hebat. Dia juga yang telah membantu persalinan sepupuku, Permaisuri Batari Prameswari, ketika melahirkan Pangeran Arcapada sepuluh tahunan yang lalu. Sayang sekali kita tak tahu di mana Nyai Sirih sekarang."
Pandan Selasih tertegun. Ia baru tahu bahwa ternyata neneknya-lah yang telah menangani kelahiran Pangeran Arcapada. Ia sama sekali tidak mengiranya.
"Baiklah Anak-anak, mari kita teruskan menuju Pendopo Gadhing. Nyai Adicara tengah menunggu kita di sana," ujar Gadung Lelono. "Dan Rayi, kuharap kau jangan terlalu lelah. Jangan terlalu memeras tenaga dan pikiran."
Kinanthi Maheswari tersenyum sekilas, dan berkata, "Ya Kakang, aku juga ingin beristirahat sebentar. Aku baru saja mengadakan pertemuan dengan Maharaja dan Panji Pataka. Beliau berdua juga mendesakku untuk segera mengambil istirahat panjang, untuk persiapan melahirkan."
"Aki Guru - Panji Pataka - ada di sini, Bibi?!" tanya Pangeran Arcapada tampak bersemangat.
"Benar, Nak," sahut Menteri Keilmuan dan Kecanggihan itu. "Tapi aku tidak tahu apakah beliau akan tinggal untuk waktu yang lama. Oh, silakan jika kalian semua akan melanjutkan kegiatan. Aku masih akan beristirahat sebentar lagi."
Maka merekapun berpisah. Lare winih, Pangeran Arcapada, dan Gadung Lelono kembali menyusuri koridor menuju Pendopo Gadhing.
"Teman-teman," ujar Andhaka memecah kesunyian, "terus terang aku sangat malu jika harus mencabut kembali keputusanku. Tetapi demi mempertahankan persatuan di antara para lare winih, kurasa sementara ini Lasih tetap bersama kita. Bagaimana? Tentu saja dengan tetap menjaga kewaspadaan terhadapnya."
Namun tak ada yang menyahuti ucapan itu. Hanya terlihat wajah-wajah para lare winih yang bimbang. Kelihatannya keadaan menjadi serba salah. Dan sementara itu Pandan Selasih berjalan di belakang bersama Gadung Lelono. Sedangkan Pangeran Arcapada dan Andhaka tetap memimpin rombongan itu di depan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]
FantasyLasih, anak perempuan berusia sepuluh tahun, diundang ke Istana Hinggiloka oleh Maharaja Mahagraha. Di sana ia diperlakukan istimewa oleh Sang Maharaja, melebihi anak-anak lain yang juga diundang. Maka beredar selentingan Lasih sesungguhnya anak kan...