Bentang alam di Kerajaan Sanggabuana sangat beragam. Ada wilayah-wilayah yang subur, namun banyak pula daerah-daerah gersang dan berbatu-batu. Tapi belum semuanya dikenal oleh penduduk Sanggabuana, bahkan banyak di antaranya yang masih belum terjamah. Tampaknya penyebab utamanya karena wilayah-wilayah itu sulit dijangkau, condong berbahaya, bahkan sejumlah penduduk meyakininya sebagai tempat-tempat yang wingit atau angker.
Siang itu sangat terik. Namun suasana di sebuah hutan amat teduh karena rapatnya pepohonan. Pohon-pohonnya tinggi menjulang dan tetumbuhan pakis liar menggerumbul di bawahnya. Bebatuannya lembab dan basah. Sepintas hutan itu tampaknya bukan wilayah yang sering dikunjungi manusia. Namun jika diperhatikan tampak ada jalan setapak yang samar di rerumputan.
Terlihat empat orang berjalan berurutan di jalan setapak itu. Yang berjalan di depan seorang lelaki dewasa bercambang tebal, diikuti seorang anak perempuan dan dua orang anak laki-laki. Anak-anak itu masing-masing umurnya sekitar sepuluh tahunan.
"Masih jauhkah tempatnya, Paman?" seru si anak perempuan, memecah kesunyian. Kedua tangannya meraba gagang senjata yang disematkan di kanan kiri pinggangnya. Sepasang senjata serupa trisula.
"Apakah kau ingin beristirahat lagi, Durgandari?" sahut lelaki dewasa di depannya. "Ayo, kuatkanlah, Nak, tinggal beberapa jenak lagi."
Setelah beberapa langkah, si lelaki dewasa berhenti berjalan. Ia lalu berkata lagi, "Nah, coba kalian semua dengarkan baik-baik. Kita akan segera tiba!"
Ketiga anak itu bersikap mendengarkan.
"Ada suara deburan air, Paman," kata salah seorang anak lelaki. "Apakah itu suara air terjun, Paman Gadung Lelono?"
Lelaki dewasa itu tersenyum.
"Benar, Pangeran," katanya dengan nada riang. "Kita akan segera tiba di Grojogan Sungsang. Sebuah tempat yang istimewa."
Anak laki-laki yang disebut Pangeran itu berkilat-kilat matanya. Wajahnya amat tampan dengan hidung mbangir, atau mancung indah.
"Wah, aku benar-benar tidak sabar lagi, Paman!" ujar Sang Pangeran bersemangat.
"Anda terlihat amat senang? Apakah Anda sangat menyukai air terjun, Pangeran?"
"Bukan begitu, Paman. Tapi perjalanan ke sini mengingatkan aku ketika menuju Moksa Praja. Perjalanan ke sana benar-benar tak bisa kulupakan. Belum pernah kujumpai tempat lain yang lebih menakjubkan dibanding Moksa Praja."
"Ya, kalian bertiga sungguh beruntung, sempat dikirim ke tempat itu," kata Gadung Lelono dengan sikap hormat. "Jika aku bukan Pimpinan Pasukan Khusus Kerajaan Sanggabuana, mungkin aku juga tidak akan pernah tiba di sana."
"Tapi...," ujar Sang Pangeran lagi, wajahnya berubah murung. "Tapi, Moksa Praja juga sebuah tempat yang ingin kulupakan...."
"Tak perlu berduka, Pangeran," hibur Gadung Lelono. "Lebih baik tataplah masa depan. Nah baiklah, ayolah tinggal sedikit lagi."
Lelaki tegap itu kembali melangkah dengan lebih bergegas. Tiga anak di belakangnya turut melangkah cepat. Dan tak lama kemudian, setelah menerobos suatu gerumbulan belukar, mereka berempat tiba di tepi sebuah danau kecil yang terlindung oleh jajaran pepohonan besar. Air terjun jatuh di seberangnya, mengempas deras permukaan danau, menimbulkan suara berdebur.
"Nah, kita sudah sampai, Anak-anak. Inilah tempat yang bernama Grojogan Sungsang," kata Gadung Lelono membentangkan kedua tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]
FantasíaLasih, anak perempuan berusia sepuluh tahun, diundang ke Istana Hinggiloka oleh Maharaja Mahagraha. Di sana ia diperlakukan istimewa oleh Sang Maharaja, melebihi anak-anak lain yang juga diundang. Maka beredar selentingan Lasih sesungguhnya anak kan...