Bagian 55 - PIHAK KETIGA

51 3 0
                                    

Dan kemudian, di sebuah lembah di dalam gua raksasa yang ditumbuhi pepohonan hutan, tampak barisan makhluk-makhluk aneh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dan kemudian, di sebuah lembah di dalam gua raksasa yang ditumbuhi pepohonan hutan, tampak barisan makhluk-makhluk aneh. Mereka adalah Satwatiron, atau satwa tiruan, atau satwa buatan. Di barisan depan ada trenggiling-trenggiling bersisik biru, di belakangnya ada serigala-serigala berkaki enam, dan di belakangnya lagi ada kodok-kodok seukuran manusia dengan cakar patrem-nya. Di pinggiran lembah, dipepohonan hutan, bergelantungan kelelawar-kelelawar seukuran kucing, juga rombongan burung-burung dok bertaji panjang. Sementara udara dipenuhi serangga-serangga kecil berkelap-kelip indah dan belalang-belalang seukuran lobak, yang semuanya terbang ke sana kemari.

Di atas batu besar berdiri tegak Ludira Mahalaya yang ber-penutup-kepala logam bertanduk tiga - dua tanduk melengkung seperti tanduk kerbau, satu tanduk lainnya besar mencuat seperti cula badak. Nyai Adicara dan Bledheg Sela berdiri mendampinginya, mengenakan penutup-kepala serupa namun hanya bertanduk dua. Tak jauh dari situ tampak serombongan orang bertampang sangar, memakai baju bulu binatang. Di antara mereka tampak si Kerdil berdiri bersama seseorang bertubuh agak bungkuk dan berkerudung hitam. Kerudung itu terlihat menutupi wajah si sosok tadi.

"Nyai," bisik si Kerdil pada sosok berkerudung di sebelahnya, "Tuan Ludira Mahalaya tidak jadi memasukkan Kakang Bledheg Sela ke dalam kandang Dindang Patrem."

"Tentu saja tidak," sahut sosok itu. "Bledheg Sela sudah banyak berjasa. Tak mungkin Ludira Mahalaya bertindak bodoh dengan mengorbankan si Gundul itu."

Suaranya sosok tersebut terdengar agak cadel.

"Apakah Anda benar-benar mendukung gerakan ini, Nyai Sirih? Gerakan menggulingkan Maharaja Mahagraha?" ujar si Kerdil lagi.

"Aku tidak akan memberitahukan apa-apa padamu," ujar Nyai Sirih kaku.

"Ah, kita kan bukan orang lain, Nyai. Mengapa Nyai Sirih tidak mau mengatakannya?"

Nyai Sirih mendengus.

"Huh. Urusanku hanya dengan Ludira Mahalaya," ujar perempuan tua itu. "Kau tidak perlu ikut campur."

"Oh ya? Apakah itu berarti bahwa ingatan Nyai sudah pulih kembali? Anda sudah teringat mengenai asal-usul Anda sendiri?"

Nyai Sirih diam.

"Hati-hati, Nyai," desis si Kerdil bernada mengancam. "Akan lebih baik jika Anda berterus terang kepada Ludira Mahalaya."

"Aku tidak ada urusan denganmu, Bujel. Lebih baik kau diam," ucap Nyai Sirih tajam.

Sementara itu di atas batu besar Ludira Mahalaya menyapukan pandangan ke seluruh penjuru lembah sambil menyeringai puas. Sorot matanya tajam mengilap.

"Pasukan Satwatiron-ku yang patuh. Ini yang aku idam-idamkan, alih-alih pasukan manusia yang gampang berkhianat," ujar lelaki tinggi besar itu mengepalkan tinjunya. Lalu ia berpaling ke arah Nyai Adicara. "Oh ya, jadi, ada seorang calon peserta Pesta Windon yang terbunuh di Istana Hinggiloka?"

"Benar, Kakang," sahut Nyai Adicara. "Aku baru saja mendapat kabar itu. Dia dibunuh oleh Dindang Patrem yang kabur itu, yang membetot dan menyantap jantungnya. Nama korbannya Rahajeng Kanthilsari, calon peserta wanita dari Kerajaan Ngesti Ageng."

"Hmm, si Orang Pestan itu?" gumam Ludira Mahalaya. "Tapi dia tidak berada di pihak kita, bukan?"

"Memang bukan, Kakang," sahut Nyai Adicara. "Rahajeng Kanthilsari bukan berada di pihak kita. Dan kurasa dia juga bukan berada di pihak Maharaja Mahagraha. Buktinya, dia terbunuh di depan hidung Maharaja Mahagraha sendiri."

"Keparat busuk! Ada pihak ketiga kalau begitu," umpat Ludira Mahalaya. "Jelas bukan kita yang mengirim Dindang Patrem ke sana."

"Iya, Kakang. Rasanya ada yang bisa mengendalikan Dindang Patrem itu selain kita," kata Nyai Adicara lirih. "Sekarang ini kita tidak hanya menghadapi Maharaja Mahagraha, tapi juga ada pihak ketiga dalam permainan ini."

Nyai Adicara terang-terangan melirik ke arah Nyai Sirih yang berdiri cukup jauh darinya.

"Demi iblis. Menurutmu si Tua Bangka, Nyai Sirih itu sebagai pihak ketiga?" desis Ludira Mahalaya sangsi. "Kau berkhayal terlalu jauh, Adicara. Perempuan tua itu telah berada di dalam genggamanku. Itu mustahil."

"Aku tak bisa membayangkan hal yang lainnya, Kakang," sahut Nyai Adicara dingin. "Demi keamanan, aku akan lebih mengawasi si Tua Bangka itu sejak sekarang."

"Nah, sekarang bagaimana dengan denah ruang bawah tanah Istana Hinggiloka?" tanya Ludira Mahalaya mengalihkan ke hal lain.

"Sedang diperbanyak, Kakang. Denah yang kurampas dari Ruang Primpen itu cukup rumit. Setelah kupelajari, sebagian denah itu tampaknya masih berupa rencana. Jadi ada bagian-bagian tertentu yang belum digali. Kurang ajar sekali, kita jadi tidak tahu bagian-bagian mana saja yang bisa kita lewati untuk menembus ke dalam benteng istana."

"Serahkan saja pada pasukan Satwatiron. Mereka yang akan masuk ke sana lebih dulu. Kita tinggal mengikutinya saja," sahut Ludira Mahalaya.

Nyai Adicara tersenyum tipis.

***


Selanjutnya: Bagian 56 - UBK UNTUK PANDAN SELASIH

HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang