Bagian 72 - MENGUNGSI

44 3 0
                                    

Sebagian besar penghuni Istana Hinggiloka masih berlindung di Bangsal Atmaja. Namun jeruji-jeruji pelindungnya telah padam. Maka rasa gelisah kembali menyebar ke segenap orang-orang di situ. Dan bersamaan dengan itu langit istana kembali dinaungi awan-awan hitam. Keadaan kembali remang-remang.

Terdengar suara mencicit-cicit aneh di angkasa. Suaranya terdengar mendekati Bangsal Atmaja. Orang-orang mulai panik.

"Hiaaaaahhhh...!!" seru Pangeran Arcapada. Kelihatannya ia kembali mengatur angin untuk menyingkirkan gumpalan-gumpalan awan hitam. Usahanya berhasil. Pelan-pelan awan-awan menyingkir dan suasana kembali terang.

Suasana terang itu disusul oleh kegemparan. Bangsal Atmaja telah didatangi gerombolan makhluk-makhluk serupa kelelawar namun seukuran kucing. Mereka bergelantungan di jeruji-jeruji bangsal. Merekalah sumber suara mencicit ribut itu.

"Itu... itu gerombolan Lawa Sengir. Makhluk pengisap darah!" ujar Kinanthi Maheswari.

Dan segera saja gerombolan itu berjejalan masuk ke dalam bangsal melewati sela-sela jeruji sambil mencicit-cicit ribut. Seakan kelaparan, makhluk-makhluk tadi beterbangan memburu penghuni-penghuni bangsal yang mulai berlarian kocar-kacir. Kekacauanpun kembali terjadi.

Lawa Sengir! Lawa Sengir!!

Orang-orang berteriak ketakutan sambil mencari tempat berlindung.

Terdengar seseorang menjerit keras. Rupanya seekor Lawa Sengir hinggap di lengannya dan menggigitnya. Ia berseru kesakitan. Di bagian lain seekor Lawa Sengir menggigit tengkuk seseorang yang langsung tersungkur sambil berusaha melepaskan cengkeraman Satwatiron itu.

"Oh, apa yang bisa kita lakukan?" ujar Laksmi mengedarkan pandangan bingung.

"Aku tak mau mati kehabisan darah, disedot oleh binatang-binatang itu," kata Mijil.

Tiga lare winih di dalam Bangsal Atmaja itu saling pandang.

"Aku, oh... kurasa aku akan mencoba mengusir mereka," ujar Mayang Srini. Terlihat anak perempuan itu buru-buru mengepalkan kedua tangannya, mengambil napas, lalu membuka mulutnya. Ia seperti orang sedang berteriak namun tak ada suara yang keluar. Padahal urat-urat leher anak perempuan itu sampai menegang sekali.

Laksmi dan Mijil mengernyit heran.

Mayang Srini beberapa kali tampak berteriak meski tanpa terdengar suara. Dan kemudian terjadilah sesuatu. Lawa-Lawa Sengir beterbangan menyingkir, berebutan keluar melalui celah-celah jeruji. Bahkan Lawa-Lawa Sengir yang sudah memperoleh mangsa juga ikut menyingkir, melepaskan dan meninggalkan korbannya.

Orang-orang yang menyaksikannya tampak bingung. Mereka tidak mengerti mengapa Satwatiron-Satwatiron itu keluar, terbang meninggalkan Bangsal Atmaja. Apakah penyebabnya? Dan sementara itu Mayang Srini masih berteriak-teriak tanpa suara, dengan kedua tangan terkepal. Saat itu anak perempuan itu bahkan nyaris terduduk di lantai.

Orang-orang mulai melihat pada Mayang Srini. Mereka keheranan melihat apa yang sedang dilakukannya. Anak perempuan berkepang tunggal itu baru berhenti berteriak setelah Lawa-Lawa Sengir keluar semua dari Bangsal Atmaja.

Mayang Srini jatuh terduduk, napasnya tersengal-sengal seperti baru saja mengeluarkan banyak tenaga. Anak itu menyapukan pandangan pada orang-orang yang merubungnya.

"Saya... saya baru saja mengusir mereka dengan suara saya," ujarnya memberi penjelasan. "Suara yang amat tinggi. Suara itu mestinya membuat mereka tidak nyaman, sehingga segera pergi meninggalkan tempat ini. Saya pernah membaca juga tentang hal itu."

"Suara yang amat tinggi? Ah, kau... kau hebat sekali, Nak," ujar Menteri Kinanthi. "Saya tahu, memang suara yang terlalu tinggi atau terlalu rendah tidak bisa didengar oleh telinga manusia. Tadi kau mengeluarkan suara yang amat tinggi, yang hanya bisa didengar oleh kelelawar, tikus, dan sebangsanya. Kau telah menerapkan hukum itu, Nak, dan menggunakannya untuk mengusir Lawa-Lawa Sengir itu, dan kau berhasil!"

HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang