"Tidak. Ini tidak mungkin," kata Pandan Selasih tiba-tiba sambil menggeleng-geleng. "Nenek adalah Dyah Lohita? Jadi, Nenek adalah Sang Putri Merah itu? Itu pasti tidak benar... "
Pandan Selasih, Pangeran Arcapada, Panji Pataka, Nyai Sirih, dan Maharaja Mahagraha masih berada di Jalur Naga.
"Aku memiliki bukti yang kusimpan selama bertahun-tahun," ujar Nyai Sirih. Perempuan tua itu melepas semacam kalung berbandul akik merah pipih di lehernya. "Aku sudah ingat, ini adalah Medalion Akik Merah. Ini milikku, Dyah Lohita, Ketua Perguruan Akik Merah. Semua anggota perguruan kami pasti mengenali benda ini. Selama ini aku menyimpannya karena khawatir dituduh telah merampasnya dari 'Dyah Lohita'."
"Lasih," ujar Panji Pataka. "Kau punya hubungan erat dengan wanita ini. Kau ingat bukan, kami pernah memintamu melakukan UBK, atau Uji Biang dan Kekerabatan? Nah, jika kau masih ragu, kita bisa minta tolong kepada Menteri Kinanthi Maheswari untuk melakukan UBK juga pada Nyai Sirih. Jika dirimu berasal dari bagian tubuh Nyai Sirih maka akan terlihat benang-benang renik yang sama persis antara kalian berdua."
Pandan Selasih tertegun.
"Di perkemahan tadi aku merasakan dorongan hati yang kuat untuk masuk kembali ke istana," gumam anak perempuan itu. "Rasanya ada sesuatu yang akan kujumpai di sini. Rupanya karena di sini ada Nyai Sirih, selaku induk dari tubuhku."
"Lasih, aku menyelinap masuk ke benteng istana ini karena ingin sekali menjumpaimu, Nak," kata Nyai Sirih dengan suara bergetar. "Akhirnya kita berjumpa di sini. Bagaimana kabarmu, Lasih? Tidakkah kau ingin memelukku?"
"Tidak," sahut Lasih tegas, membuat semuanya kaget. "Aku telah membaca semua buku tentang kisah Putri Merah, tapi isinya tak ada yang mengarah kepadamu, kepada Nyai Sirih sebagai Putri Merah. Jadi, bagiku kau bukan Dyah Lohita Sang Putri Merah itu. Dan kau juga bukan Nenek-ku karena aku bukan keturunanmu."
"Lasih... " ujar Nyai Sirih ternganga.
"Mengapa kau berkata begitu, Nak?" Maharaja Mahagraha ikut berbicara. "Bagus sekali jika kau sudah membaca buku-buku tentang kisah Putri Merah itu. Tapi kau harus sadar, para penulis buku-buku tentang Putri Merah tak ada yang tahu dengan pasti kebenaran kisahnya. Jadi hampir semua buku itu hanya berisi khayalan saja. Kisah Putri Merah yang sebenarnya adalah yang baru saja diceritakan oleh Nyai Sirih."
"Tidak. Nyai Sirih bukan Putri Merah," kata Pandan Selasih lantang. "Mengapa? Karena sekarang akulah Sang Putri Merah! Putri Merah yang amat berkuasa, yang akan menjadi ratu wanita pertama di Kerajaan Sanggabuana ini."
Di bawah ancaman seekor Wirukecu besar, Nyai Sirih terpaksa menyerahkan Medalion Akik Merah ke tangan Pandan Selasih yang menyambarnya dengan kasar. Setelah memakai medalion itu, dengan lantang pula ia berseru pada kawanan Wirukecu untuk menyerang orang-orang yang berada di situ.
"Aku juga sudah perintahkan para Neman, serigala berkaki enam, untuk menyerang orang-orang di perkemahan. Nah, kalian semua akan tahu betapa berkuasanya aku sekarang!" seru anak perempuan itu, lalu tertawa-tawa. Kemudian anak perempuan berbusana merah-merah itu dengan mantap menaiki tangga batu keluar dari ruang bawah tanah, meninggalkan orang-orang yang sibuk menghadapi kawanan Wirukecu.
Saat itu di dalam pekarangan benteng suasana juga tampak kacau. Kelelawar-kelelawar seukuran kucing terbang ke sana-kemari memburu para prajurit yang berlarian kocar-kacir. Pandan Selasih melangkah dengan tenang di antara prajurit-prajurit yang lintang-pukang itu. Seulas senyum tersungging di bibirnya.
"Lasih! Kaukah itu?" terdengar suara memanggilnya.
Anak perempuan itu berpaling. Terlihat Gadung Lelono, berbekal tameng, menahan serangan Lawa-Lawa Sengir yang beterbangan. Pimpinan Pasukan Khusus Kerajaan Sanggabuana itu dengan susah payah mendekati Pandan Selasih.
"Mengapa kau ada di sini, Nak? Bukankah kau seharusnya bersama rombongan para pengungsi?" tanya Gadung Lelono. "Apa yang sedang kau lakukan?"
"Apakah mahkota untuk Pangeran Arcapada masih dalam penjagaan Pasukan Khusus?" Pandan Selasih malah balik bertanya.
Gadung Lelono mengernyit heran.
"Mahkota itu? Tentu saja," kata lelaki bercambang tebal itu. "Mahkota itu masih dijaga dengan amat ketat oleh anak buahku. Memangnya ada apa?"
"Bawa mahkota itu ke hadapanku," ujar Pandan Selasih ketus. "Sekarang!"
Gadung Lelono ternganga.
"Jangan banyak tanya, Gadung Lelono. Aku bisa mengendalikan seluruh Satwatiron di benteng istana dan sekitarnya. Asal kau tahu, ada gerombolan Neman yang sedang menyerang para pengungsi. Di sana ada istrimu, bukan? Jika kau ingin istrimu selamat, lakukan perintahku sekarang juga."
"Apa yang telah kau lakukan pada Kinanthi Maheswari istriku?!" ujar Gadung Lelono bergetar. Pimpinan Prajurit itu terlihat terguncang. Tampaknya ia sudah menyadari ada yang tidak beres dengan Pandan Selasih.
"Aku belum melakukan apa-apa padanya," kata Pandan Selasih. "Tapi jika kesabaranku habis, aku tidak akan menjamin keselamatannya. Nah, bawa mahkota itu ke hadapanku. Sekarang!"
"Tapi harus ada dua buah kunci untuk membuka ruangannya. Satu kunci ada padaku, satunya lagi ada pada Panji Pataka," ujar Gadung Lelono.
"Kau jangan coba-coba mengulur waktu," desis Pandan Selasih. "Temui saja Panji Pataka di kaki tangga batu Jalur Naga. Dia sedang dijaga oleh kawanan Wirukecu."
Kelihatannya tak ada pilihan untuk Gadung Lelono. Ia segera meninggalkan Pandan Selasih.
Lasih lalu memandang berkeliling, melihat bangunan menara-menara yang menjulang. Pilihannya jatuh pada menara tak beratap. Anak perempuan itu tersenyum dan melangkah menghampiri bangunan tersebut.
Tak lama si Baju Merah sudah berada di puncaknya. Berpegangan pada pagar pembatas, Lasih memandang berkeliling sejauh mata memandang di langit dini hari. Tiba-tiba ia tertawa tergelak-gelak melihat segala kekacauan yang telah ditimbulkannya.
***
Selanjutnya: Bagian 84 - RATU BARU DAN MAHKOTA
KAMU SEDANG MEMBACA
HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]
FantasyLasih, anak perempuan berusia sepuluh tahun, diundang ke Istana Hinggiloka oleh Maharaja Mahagraha. Di sana ia diperlakukan istimewa oleh Sang Maharaja, melebihi anak-anak lain yang juga diundang. Maka beredar selentingan Lasih sesungguhnya anak kan...