Dua lelaki tinggi besar itu sedang menekuni lembaran klaras lebar di atas meja. Yang beruban dan berbadan gemuk, mendengarkan penuh perhatian. Yang satunya, yang berjenggot serta berambut hitam panjang bergelombang, menuding-nudingkan jarinya di atas lembaran tadi.
"Murid-murid Anda dapat ditempatkan di titik-titik perbatasan Ibukota bagian selatan, Aki Wiring," kata lelaki berambut hitam panjang dan bergelombang tadi sambil menuding denah. Suaranya keras menggelegar. "Jika memungkinkan, silakan saja ditambah sedikit di bagian timur."
Aki Wiring yang beruban itu mengangguk-angguk.
"Baiklah, Aki Gludug Watu," ujarnya. "Jumlah murid di padepokan silat kami, Perguruan Jenar Gading, memang tidak sebanyak padepokan silat Anda, Perguruan Akik Merah. Namun kami siap jika memang harus dikerahkan semuanya."
"Ah, Anda tentu sangat paham siasat perang, Aki Wiring. Tetap harus ada pasukan cadangan di padepokan, bukan? Sebagian murid-murid kami ada pula yang tetap tinggal di rumah pedepokan," sahut Gludug Watu.
"Ya, ya, Aki Gludug. Tentu saja. Yang saya maksudkan adalah, meskipun tengah berada di dalam padepokan, para murid itu tetap disiagakan sebagaimana mereka yang tengah bertugas di perbatasan Ibukota. Demikian maksud saya."
Gludug Watu mengangguk-angguk. Tangannya menyapu jenggot hitamnya. Cincin batu akik merahnya tampak berkilauan memantulkan sinar lentera.
Seorang lelaki setengah baya memasuki ruangan.
"Ada apa?" tanya Gludug Watu segera.
"Ada seorang lelaki bercambang tebal ingin berjumpa dengan Kakang Gludug Watu," ujar lelaki tadi. "Dia mengaku bernama Gadung Lelono."
"Gadung Lelono? Kalau begitu persilakan dia masuk."
Sebentar kemudian seseorang yang dimaksud itu muncul.
"Selamat malam Aki Gludug Watu? Dan... Aki Wiring?" ujar lelaki itu.
"Selamat malam Gadung Lelono," kata Gludug Watu dan Aki Wiring bersamaan.
"Saya diutus oleh Maharaja Mahagraha untuk menjumpai Aki Gludug Watu. Maafkan saya jika kedatangan saya mengganggu pembicaraan Aki berdua."
"Pembicaraan kami tidak terlalu rahasia untukmu," kata Gludug Watu dengan suaranya yang menggelegar.
Gadung Lelono menyerahkan segulung kain pada Gludug Watu. Lelaki itu menerimanya dan segera membentangkannya. Gulungan itu sebuah lukisan bernuansa warna merah, tergambar seorang anak perempuan yang berpenampilan serbamerah.
"Demi permata merah," ujar Gludug Watu terbelalak. "Inikah anak itu? Cucu perempuan tua mantan dukun bersalin itu?"
Gadung Lelono mengangguk.
Aki Wiring ikut melihat lukisan itu.
"Hmm, diakah anak perempuan yang kulihat malam itu, Gadung? Ketika kau membawa pasukanmu yang terluka ke padepokanku akibat serangan gerombolan Neman?" tanya Aki Wiring.
"Benar, Aki Wiring," sahut Pimpinan Pasukan Khusus Kerajaan Sanggabuana itu. "Waktu itu anak ini masih memakai kain penutup wajah. Tapi saat ini, di Istana Hinggiloka, ia telah dibolehkan membuka wajahnya oleh Maharaja Mahagraha. Anak itu bahkan diminta beliau untuk selalu berpenampilan serba merah."
"Benarkah?" tanya Gludug Watu.
"Ya, Aki. Tapi entah apa tujuannya, namun saya merasa ia memang sudah berada di tangan yang tepat. Yaitu di tangan Maharaja Mahagraha langsung."
Untuk beberapa waktu Gludug Watu mengamati kembali lukisan itu dengan saksama. Wajahnya menggambarkan rasa takjub.
"Ini... ini benar-benar sosok Kanjeng Guru Dyah Lohita ketika kecil," desahnya. "Entah di mana Nyai Sirih menemukan anak ini."
"Lukisan ini adalah gambar terbaru dari cucu Nyai Sirih itu, Aki," kata Gadung Lelono. "Dilukis sesuai dengan aslinya, bahkan segala perlengkapannya kami atur agar semuanya berwarna merah."
Gludug Watu mengangguk-angguk.
"Selain itu, kami juga sudah menyelidiki siapa Nyai Sirih. Tapi masa lalunya tidak terlacak," lanjut Gadung Lelono. "Saya bahkan telah meminta bantuan Anda, Aki Wiring, setelah ledakan itu."
"Ya, aku sudah mencoba mencari jejaknya, namun tidak ditemukan petunjuk apa-apa," kata Aki Wiring membenarkan. "Menurutku dia memang sudah berniat melarikan diri, dan ledakan rumah panggung itu menjadi saat yang tepat baginya untuk menghilangkan diri atau bersembunyi."
"Hmm, salah satu murid kami yang menjadi telik sandi, atau mata-mata, mengatakan bahwa saat ini Nyai Sirih tengah berada bersama Bledheg Sela dan Ludira Mahalaya," ujar Gludug Watu, berusaha memelankan suaranya yang membahana itu. "Mungkin benar, mungkin juga tidak. Soalnya wanita yang berkerudung menutupi wajah itu belum tentu Nyai Sirih, bukan? Lagipula, apakah di antara kita ada yang pernah melihat wajahnya secara langsung?"
Gadung Lelono dan Aki Wiring menggeleng.
"Tidak? Nah, aku pun tidak. Tapi kata orang wajahnya buruk sekali. Bahkan teramat buruk, sehingga keputusan si Dukun Bersalin untuk menaungi wajahnya sendiri dengan kerudung adalah pilihan yang tepat sekali."
Ketiga lelaki itu saling pandang beberapa saat.
"Jika kita bisa merunut silsilah anak ini, dan bisa memastikan bahwa dia adalah keturunan Kanjeng Guru, maka aku sudah tidak cemas lagi memikirkan masa depan Perguruan Akik Merah," lanjut Gludug Watu. "Mungkin anak perempuan ini bisa menyatukan kembali perguruan kami yang telah terpecah menjadi dua kubu, kubu yang aku pimpin, dan kubu Bledheg Sela. Mungkin saja dia calon pemimpin masa depan kami. Aku pribadi sangat mengharapkan hal itu. Karena, terus terang aku lebih senang jika kami bisa bersatu kembali dan bersama-sama mendukung Maharaja Mahagraha seperti dahulu."
Gludug Watu berhenti sebentar, kemudian berkata lagi,
"Menurutku, anak perempuan itu bukan cucu kandung, melainkan hanya cucu angkat Nyai Sirih saja. Jadi, kita benar-benar harus merunut silsilah anak ini. Dan kunci silsilah itu ada di tangan mantan dukun bersalin itu."
***
Selanjutnya: Bagian 64 - DI SEBUAH RUMAH PERISTIRAHATAN
KAMU SEDANG MEMBACA
HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]
FantasyLasih, anak perempuan berusia sepuluh tahun, diundang ke Istana Hinggiloka oleh Maharaja Mahagraha. Di sana ia diperlakukan istimewa oleh Sang Maharaja, melebihi anak-anak lain yang juga diundang. Maka beredar selentingan Lasih sesungguhnya anak kan...