Kekacauan telah terjadi paling tidak di tiga tempat. Pertama di tempat pengungsian. Di sana orang-orang berlarian akibat serangan gerombolan serigala berkaki enam, alias Neman. Kedua, di kaki tangga awal Jalur Naga. Di situ Pangeran Arcapada, Maharaja Mahagraha, dan Panji Pataka menghadapi kawanan Wirukecu, trenggiling-trenggiling bersisik biru itu, yang siap menyengat mereka. Kemudian yang ketiga terjadi di pekarangan dalam benteng. Rombongan kelelawar pengisap darah sebesar kucing, alias Lawa Sengir, beterbangan mengejar-ngejar para prajurit dan sejumlah penghuni istana lainnya .
Karena rasa takut yang cukup memuncak, orang-orang di tiga tempat itu tidak menyadari adanya sedikit kejanggalan. Mereka memang diserang, namun tak ada satupun serangan yang mematikan. Tak ada orang yang terluka parah akibat serbuan Satwatiron-Satwatiron itu.
Neman-Neman di perkemahan menggeram-geram dan menyeringai buas, menggiring para pengungsi mendekat kembali ke benteng istana, sedikit demi sedikit. Hal ini terjadi juga di kaki telundakan awal Jalur Naga. Kawanan Wirukecu dengan ancaman sengatnya menggiring Pangeran Arcapada, Maharaja Mahagraha, dan Panji Pataka keluar dari ruang bawah tanah. Demikian pula di pekarangan istana. Orang-orang berhenti berlari karena kelelahan, dan Lawa-Lawa Sengir juga tidak beterbangan mengejar-ngejar mereka lagi. Satwatiron terbang itu lalu hinggap berjajar di tembok benteng, mengelilingi bagian dalam benteng itu.
"Ayo, semuanya berkumpul di benteng dan sekitarnya!" terdengar suara menggaung keras. Itu suara Pandan Selasih. Ia telah menemukan cangkang siput gunung besar di dekat terompet tempur, lalu menggunakannya sebagai pengeras suara. "Jangan coba-coba bertindak bodoh. Para Satwatiron yang mengiringi kalian sedang dalam keadaan bersiap siaga menunggu perintahku."
Orang-orang mulai berdatangan di bawah kawalan para Satwatiron. Tak ada yang mencoba bertindak di luar perintah Pandan Selasih, paling tidak untuk saat ini.
"Asal kalian semua tahu, di luar benteng istana sudah dikelilingi oleh pasukan Dindang Patrem, kodok besar berpisau," ujar Pandan Selasih dengan pengeras suara tersebut. "Jadi, siapa saja yang mencoba-coba kabur dari istana ini tak akan ada ampun."
Orang-orang saling pandang. Terlihat kebanyakan dari mereka merasa bingung mengenai apa yang sedang terjadi. Mengapa Pandan Selasih, yang dikenal sebagai lare winih berbaju merah itu, tiba-tiba berbicara seperti itu memakai pengeras suara. Isi pembicaraannya pun sangat mengancam.
"Sebentar lagi kalian akan mempunyai ratu baru, yaitu aku!" lanjut anak perempuan itu. "Kalian sudah merasakan sendiri diganggu oleh para Satwatiron, bukan? Satwatiron-Satwatiron itu berada di bawah kekuasaanku. Mereka adalah balatentara-ku.
"Kalian harus sadar, Satwatiron-Satwatiron itu tidak melukai kalian tadi, hanya menggertak saja. Itu memang kusengaja. Karena tidak semua orang harus mati. Karena aku tetap membutuhkan orang-orang hidup yang akan melayani keperluanku. Sekarang tinggal kalian pilih, akan patuh kepadaku dan selamat, atau membangkang kepadaku dan mati konyol."
Kemudian Lasih memerintahkan beberapa Wirukecu untuk menggiring Pangeran Arcapada dan Maharaja Mahagraha ke atas menara tak beratap. Ia juga berseru memanggil Dindang Patrem yang berada di luar benteng.
Dengan lompatan-lompatan yang mengagumkan, sejumlah kodok besar masuk ke pekarangan dan kemudian merambati menara itu. Dan dengan senjara patrem yang terhunus, Satwatiron itu mengancam Sang Pangeran dan Maharaja.
Selanjutnya Lasih berteriak memanggil Gadung Lelono agar menyerahkan mahkota yang dimintanya.
Sementara itu orang-orang hanya terpana menyaksikan kejadian yang berlangsung cepat tanpa bisa bertindak apa-apa.
"Lasih, bisakah kita bicara baik-baik saja?" tanya Pangeran Arcapada.
"Tentang apa? Apa kau mau membujukku menghentikan semua ini?" ujar Pandan Selasih. Rambutnya yang panjang berkelebatan diembus angin dingin.
"Benar, Lasih. Hentikan semua ini. Secara hukum kau memang bersalah karena sudah melakukan pembunuhan. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Kerajaan Sanggabuana, jika seseorang penduduk terbukti secara sah dan meyakinkan telah membunuh jiwa orang lain, maka ia diancam dengan hukuman yang sama," kata Pangeran Arcapada sabar. "Tapi kau tahu, kau bukanlah orang, Lasih. Bukan manusia. Kau adalah Jalmatiron atau manusia buatan, maka hukum itu seharusnya tidak berlaku padamu. Aku pernah berjanji padamu untuk membelamu, bukan? Nah, dengan cara inilah aku membelamu terbebas dari hukuman. Terserah kau nantinya akan pergi ke mana, tapi yang jelas kau tak akan dihukum mati."
Lasih tertawa hambar.
"Aku tidak tertarik dengan pembelaanmu. Karena aku akan menjadi ratu, menjadi orang nomor satu di Kerajaan Sanggabuana. Dengan begitu aku juga tidak akan dihukum. Aku bahkan bisa menghukum orang lain jadinya. Jadi, lebih baik kau membela saja hidupmu sendiri. Setelah penyerahan mahkota kepadaku yang disaksikan oleh banyak orang penting, maka kau dan ayahmu akan kuhabisi."
"Lasih?" ujar Pangeran Arcapada ternganga. Tapi Pandan Selasih terlihat tak peduli. Ia kembali berbicara menggunakan pengeras suara dari cangkang siput gunung besar.
"Mana Gadung Lelono? Seharusnya kau sudah datang membawa mahkota itu. Cepat ke sini!"
Gadung Lelono tergopoh-gopoh muncul di ujung atas tangga menara sambil membawa nampan berselimut kain sutera merah.
Pandan Selasih tertawa-tawa.
"Nah, perhatian semuanya, semua orang yang berada di benteng istana ini," ujar anak perempuan itu dengan pengeras suaranya. "Raja kalian, Maharaja Mahagraha, akan segera menyerahkan mahkota penerus Kerajaan Sanggabuana kepadaku. Itu artinya, kalian akan mempunyai seorang ratu baru, ratu wanita pertama di Kerajaan Sanggabuana. Akulah orangnya!"
Di bawah ancaman senjata-senjata patrem, Gadung Lelono menyorongkan nampan berselimut kain sutera merah itu kepada Maharaja Mahagraha. Sang Maharaja menyingkirkan kain merah tadi sehingga terlihatlah mahkota emas yang sangat indah, bagaikan bentangan sayap burung rajawali, berkilauan dengan taburan batu-batu permata jernih kekuningan.
"Lekas pasangkan di kepalaku!" ujar Lasih kedengaran tak sabar.
Maharaja Mahagraha mendekap sebentar mahkota itu, lalu mengulurkannya pada Pandan Selasih. Mahkota itu perlahan dipasangkan ke kepala anak perempuan itu. Lasih menantinya dengan senyum lebar penuh kemenangan.
Begitu mahkota tersebut terpasang, mendadak tubuh Lasih limbung seperti sedang membawa beban yang amat berat di kepalanya. Ia bergerak sempoyongan, dan nyaris saja anak perempuan itu terjatuh dari puncak menara jika tidak segera berpegangan pada pagar pembatasnya. Yang terjadi kemudian mahkota emas itulah yang meluncur jatuh.
Seseorang melompat, menangkap mahkota yang jatuh itu. Dia adalah Panji Pataka, yang segera mendekap benda berharga itu.
"Mahkota palsu!" jerit Pandan Selasih dengan wajah murka. "Mahkota itu seharusnya tanpa bobot dan ringan dipakai. Kurang ajar, kalian semua sudah mempermainkan aku. Kalian telah bersekongkol memberikan mahkota palsu itu kepadaku! Benar-benar tidak bisa diampuni!"
***
Selanjutnya: Bagian 85 - SENDIRIAN
KAMU SEDANG MEMBACA
HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]
FantasyLasih, anak perempuan berusia sepuluh tahun, diundang ke Istana Hinggiloka oleh Maharaja Mahagraha. Di sana ia diperlakukan istimewa oleh Sang Maharaja, melebihi anak-anak lain yang juga diundang. Maka beredar selentingan Lasih sesungguhnya anak kan...