Bagian 42 - BEBERAPA LAPORAN

55 4 1
                                    

Para lare winih telah keluar dari Ruang Primpen.

Tampak percikan-percikan darah tersebar di pekarangan Istana Hinggiloka. Didampingi Panji Pataka dan Ki Waskita si Kepala Tabib, Laksmi Larasati diminta berkeliling untuk menyembuhkan korban-korban luka tusukan dan sayatan serangga-serangga Walang Cundrik.

"Jika tidak segera ditangani, mereka bisa kehilangan banyak darah," kata Ki Waskita. "Kita pilih yang luka-lukanya cukup parah dahulu, Nak."

Laksmi mengangguk-angguk. Dengan telaten ia mengusapkan telapak tangannya pada luka-luka mereka. Luka-luka itu pun pulih kembali. Namun ternyata cukup banyak prajurit dan penghuni istana yang terluka. Laksmi terlihat mulai kehabisan tenaga.

"Sudah cukup, Laksmi," ujar Panji Pataka. "Kulihat kau sudah lelah dan pucat. Sisanya biar diurus oleh tabib-tabib istana. Aku tahu, walaupun kelihatannya mudah, tapi kau perlu mengerahkan banyak tenaga untuk penyembuhan seperti itu. Dan Ki Waskita, saya rasa Anda perlu mengerahkan semua tabib sekarang untuk menyelesaikan sisanya."

"Baik, Aki Guru," sahut Kepala Tabib yang berhidung besar tersebut.

Seorang prajurit berbicara dengan Panji Pataka. Kemudian Aki Guru itu mengajak Pangeran Arcapada serta segenap lare winih untuk berkumpul di Ruang Sidang Utama. Di sana telah berkumpul para menteri, Mahapatih Parasara, serta Panglima Turangga Seta.

"Kita baru saja kecolongan," kata lelaki berbadan gemuk pendek bertopi besi. Dialah Panglima Turangga Sera. "Nyai Adicara berhasil melarikan diri sambil membawa sesuatu yang berharga milik Istana Hinggiloka. Tak perlu kukatakan apakah sesuatu yang berharga itu, yang jelas musuh memang ada di mana-mana, termasuk di sekitar kita."

Para menteri saling pandang bingung. Sedangkan para lare winih sudah tahu sebelumnya bahwa yang dibawa pergi oleh Nyai Adicara adalah denah terbaru ruang bawah tanah Istana Hinggiloka.

"Dan kita semua sudah melihat, para lare winih sudah bisa mulai bertugas," kata Mahapatih Parasara. "Contohnya kemampuan lare winih bernama Laksmi. Ia memiliki kekuatan penyembuhan luka. Dan jangan salah, lare winih yang lain juga memiliki kemampuan khusus mereka masing-masing."

Orang-orang yang hadir memerhatikan para lare winih.

"Kalau begitu, lare winih berbaju merah, yang entah siapa namanya, mempunyai kemampuan 'wajah bertuah'?" tanya Menteri Druwiksa yang berkumis tebal itu. "Sebab dia bisa memerintah serangga-serangga itu pergi dari benteng istana. Jika memang demikian, artinya tidak setiap lare winih itu baik. Karena siapapun yang memiliki kemampuan seperti itu pastilah dari golongan jahat."

Semuanya memandang Pandan Selasih. Tapi wajah cantiknya yang kini terbuka itu tampak tidak peduli.

"Atau dari golongan tidak sah," tambah Menteri Druwiksa.

Entah bagaimana, Lasih langsung mengerti bahwa ucapan terakhir Menteri Kearifan dan Kebijaksanaan itu mengarah pada perihal anak tidak sah. Dan hal itu membuat Pandan Selisih bangkit berdiri.

"Menteri Druwiksa yang terhormat, sebaiknya Anda mengurus saja pelaksanaan upacara Phujanbantala. Saya rasa, apa saja kemampuan para lare winih, bukan merupakan tanggung jawab Anda," ujar Lasih, lalu duduk kembali.

Menteri Druwiksa terbelalak. Yang lainnya juga tak kalah kaget. Ini pertemuan kedua kali lare winih dengan para menteri. Dan pada pertemuan ini Menteri Druwiksa dan Pandan Selasih berselisih pendapat lagi.

"Tolong jangan membuang waktu dengan berdebat," sela Mahapatih Parasara, membuat Menteri Druwiksa terpaksa menutup mulut dengan jengkel. "Pada pertemuan ini kita akan mendengarkan beberapa laporan tentang perkembangan terkini di Kerajaan Sanggabuana. Untuk yang pertama, silakan Menteri Druwiksa dengan laporan Anda."

Menteri Druwiksa berdiri.

"Dukungan untuk menyelenggarakan upacara Phujanbantala, atau pemujaan pada bumi, semakin meluas," ujarnya dengan nada pamer. "Bahkan Kerajaan Tanjungnawa di pesisir selatan itu akan mengadakan upacara serupa, yaitu Phujanbaruna, atau pemujaan terhadap laut. Dan dari Kerajaan Kelateng Alas di batas utara juga akan mengadakan upacara serupa pula, yaitu Phujanprabata, atau pemujaan terhadap gunung. Nah, Anda semua bisa melihat sendiri, upacara-upacara pemujaan itu mendapat dukungan dari banyak pihak. Upacara-upacara itulah yang harus kita laksanakan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan di segenap pelosok Kerajaan Sanggabuana ini."

"Apakah Anda mempunyai pandangan tentang cuaca yang berlangsung tadi?" tanya Mahapatih Parasara. "Anda lihat, tadi cuaca berubah-ubah dengan sangat cepat, sebentar mendung sebentar cerah. Masih yakinkah Anda bahwa penyebabnya adalah bumi yang sedang mengamuk?"

"Ya, tentu saja!" sahut Menteri Druwiksa. "Apalagi tadi disertai pula serbuan belalang-belalang sebesar lobak yang menyerang warga istana. Itulah sebabnya upacara Phujanbantala, Phujanbaruna, Phujanprabata, dan yang semacamnya harus segera kita selenggarakan."

"Terima kasih atas laporan Anda. Akan saya sampaikan kepada Maharaja," ujar Mahapatih. "Sekarang giliran Anda, Menteri Tarta, Menteri Perniagaan dan Kebranaan. Silakan laporan Anda."

Menteri Tarta berdiri.

"Saya hanya menegaskan saja. Pada saat ini Kerajaan Sanggabuana sedang mengalami perang keuangan dengan kerajaan-kerajaan tetangga dari seberang lautan," kata Sang Menteri. "Terus terang keadaan kita cukup tertinggal. Di luar sana mereka sudah terbiasa berdagang Serat Sokong di Banda Niaga. Sedangkan di sini Graha Brana kita hanya mengurusi masalah uang dan emas saja. Jika tidak menyesuaikan dengan mereka, kita pasti akan kalah. Apalagi lambat laun emas akan habis dikeruk dari bumi, bukan? Begitulah kekhawatiran saya, Mahapatih."

"Terima kasih, Menteri Tarta. Akan saya sampaikan pada Maharaja mengenai kekhawatiran itu," ujar Mahapatih Parasara. "Sekarang adakah kabar yang lainnya? Barangkali dari lare winih? Kalau tidak ada saya serahkan lagi pada Panglima Turangga Seta. Silakan, Panglima."

"Terima kasih Mahapatih," ujar Panglima Turangga Seta. "Setelah kejadian yang cukup merepotkan tadi, karena serbuan serangga-serangga besar dan perubahan cuaca yang mencengangkan, saya sudah membuat langkah-langkah untuk dijalankan oleh segenap penghuni istana. Yang pertama, malam ini semuanya menginap di Bangsal Atmaja. Semuanya, kecuali saya sendiri dan sejumlah pasukan khusus, serta beberapa orang tertentu. Kita tidak tahu apakah malam ini kita akan diserang atau tidak. Oleh karena itu, untuk berjaga-jaga, pagar jeruji besi di Bangsal Atmaja akan dinyalakan untuk melindungi mereka yang berada di dalamnya.

"Yang kedua, kita akan bergiliran antara berjaga-jaga dan beristirahat, baik yang berada di Bangsal Atmaja maupun yang berada di luar. Yang ketiga, segera laporkan bila ada sesuatu yang sekiranya membahayakan.

"Saya rasa cukup tiga hal itu saja untuk saat ini. Silakan semua menteri memberi petunjuk pada para bawahan Anda tentang ketiga hal tadi. Komando keamanan istana ada pada saya. Tapi untuk memudahkan, untuk pelaporan bisa saja kepada Mahapatih ataupun kepada para prajurit pasukan khusus. Nah, apakah ada pertanyaan? Tidak ada? Baiklah, silakan berkemas-kemas untuk bermalam di Bangsal Atmaja."

Para menteri segera meninggalkan Ruang Sidang Utama.

"Jadi, jeruji besi di Bangsal Atmaja itu suatu perlindungan, Aki Guru?" tanya Andhaka pada Panji Pataka.

Lelaki tua itu mengangguk.

"Benar," sahutnya. "Untuk saat ini, Bangsal Atmaja adalah bagian yang paling aman sebagai tempat berlindung."

Para lare winih tertegun. Selama ini, sebagian besar dari mereka, menganggap bahwa Bangsal Atmaja yang berjeruji itu serupa dengan penjara. Namun ternyata mereka keliru. Justru jeruji-jeruji itulah yang akan melindungi mereka dari kemungkinan bahaya.

"Ah, semoga jadwal makan malam kali ini lebih lama waktunya," ujar Arumdalu. "Soalnya kita harus makan cukup banyak. Sebab kita harus menyimpan tenaga, bukan?"

***

HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang