Kelihatannya, tidak ada yang terlalu istimewa pada acara keakraban itu. Orang-orang menempati sebuah aula yang telah diatur dengan cukup nyaman. Ada sejumlah kursi dan meja, namun tidak terlalu banyak. Selain kelompok lare winih, hadir pula sejumlah menteri, dan beberapa pegawai istana.
Setelah sambutan singkat dari Mahapatih Parasara, dan perkenalan singkat antar kelompok, mereka kemudian masuk ke acara santai. Hidangan camilan dan minuman terlihat cukup berlimpah, disajikan di piring-piring di atas meja-meja kecil yang tersebar di ruangan itu, memudahkan siapa saja untuk mengambilnya.
Di salah satu bagian tampak Prabu Bomantara Patigaman, ayah Dibal, sedang berbicara dengan bersemangat, dengan beberapa calon peserta Pesta Windon dari kerajaan lain. Suara tawanya terdengar cukup keras.
Di bagian lain terlihat Jeng Kanthil sedang berbicara dengan Nyai Kapti.
Para lare winih berkumpul di dekat dinding. Tak jauh dari mereka, di sudut, ada semacam panggung kecil. Ada sejumlah pemain musik yang memainkan ketipung, rebab, seruling, serta beberapa alat musik lain. Nadanya terdengar cukup riang.
"Bagaimana dengan pelatihan kalian?"
Terdengar suara ramah di dekat para lare winih. Ternyata yang bertanya tadi adalah Kesuma Gandawangi, salah satu calon raja Kerajaan Jati Gendani.
"Tuan Kesuma Gandawangi?" ujar Lasih.
"Pelatihan kami cukup lancar, Tuan," jawab Andhaka. "Tapi, ada salah satu orang penting istana yang membelot, sehingga jadwal kami harus banyak berubah."
"Membelot?" ujar Kesuma Gandawangi mengernyit.
"Benar, Tuan. Namanya Nyai Adicara," Mayang Srini yang menjawab.
"Nyai Adicara? Membelot? Demi Yang Mahakuasa. Sayang sekali, ya?" katanya dengan nada prihatin. "Lalu bagaimana kelanjutan pelatihan itu?"
"Aki Guru yang langsung menangani kami," kata Andhaka.
Kesuma Gandawangi mengangguk-angguk.
"Oh, syukurlah. Kurasa itu hal yang tepat," ujar lelaki itu. "Oh ya, permisi lare winih, saya akan berbicara dengan Prabu Setra Mangkara di sudut sana."
"Silakan, Tuan," sahut Andhaka dan beberapa lare winih lain.
Lalu seseorang menggantikan tempatnya. Dia Jeng Kanthil, diikuti Nyai Kapti.
"Jeng Kanthil!" seru Mayang Srini semringah.
Jeng Kanthil memasang wajah kaget.
"Wah, kita pernah bertemu, ya?" ujarnya setengah melengking. "Kau adalah... adalah...."
"Saya Mayang Srini," ujar Mayang Srini, mengulurkan tangan untuk menyalami wanita itu. "Kita pernah bernyanyi bersama di Istana Pucunggrana."
"Ya, ya, ya.... Mayang Srini," sambut Jeng Kanthil dengan senyum memikat. Tapi ia membalas uluran tangan Mayang Srini seperlunya saja. Jika diperhatikan lebih mendalam, tampaknya Jeng Kanthil tidak terlalu ingat kepada anak perempuan itu.
Selanjutnya seluruh lare winih menyalami wanita pesohor itu.
"Kalian adalah calon-calon penerus pemerintahan Kerajaan Besar Sanggabuana? Wah, mengesankan sekali," ujar Jeng Kanthil. "Kelak jika aku menjadi seorang ratu, tentu aku akan memilih anak-anak seperti kalian untuk menjadi calon-calon penerusku."
Para lare winih merasa tersanjung.
"Tapi," lanjut wanita itu, "tentu saja aku akan memilih anak-anak dengan latar belakang yang jelas. Karena, bagiku, tidak layak seseorang diberi tugas penting bila latar belakang keluarganya saja tidak diketahui."
Para lare winih saling pandang. Mereka bingung, ucapan terakhir Jeng Kanthil itu ditujukan kepada siapa?
"Perhatian! Perhatian semuanya!" seorang laki-laki berseru dari atas panggung kecil di sudut. Semua yang hadir berpaling ke arahnya.
"Rasanya tidak lengkap jika tidak ada pertunjukan istimewa di sini, bukan?" lanjut lelaki itu. "Bagaimana jika kita meminta pada Jeng Kanthil untuk menyanyikan satu dua lagu untuk kita? Tentu banyak yang setuju?"
Segera terdengar suara-suara yang mendukung usulan itu. Wajah-wajah orang-orang terlihat semringah. Prabu Bomantara Patigaman bahkan memimpin para hadirin untuk bertepuk tangan.
"Ayo Jeng Kanthil! Kalau tidak keberatan, aku bersedia bernyanyi bersama Anda," seru raja dari Kerajaan Jati Gendani tersebut.
Rahajeng Kanthilsari tersenyum dengan senyuman yang paling menawan. Dan tanpa perlu diminta lagi ia naik ke panggung.
"Sebelum bernyanyi, kurasa kita perlu mendengar sepatah kata dari Jeng Kanthil terkait Pesta Windon," ujar lelaki di panggung tadi. "Nah, silakan, Jeng Kanthil."
"Ah, aku bingung memilih, apa yang akan kukatakan," ujar Rahajeng Kanthilsari sedikit manja.
"Mungkin Anda bisa sedikit bercerita tentang perasaan Anda sebagai salah satu calon raja atau ratu di Kerajaan Bagian?"
"Hmm, Anda pandai sekali membujuk," ujar Jeng Kanthil mengalah.
Laki-laki tadi tersenyum jenaka.
"Baiklah, selamat malam semuanya," ujar Sang Pesohor. "Rasanya bangga sekali aku bisa menjadi salah satu calon penguasa. Sebetulnya aku memberanikan diriku mencalonkan diri menjadi ratu karena aku telah membaca kisah hidup seseorang. Orang ini amat mengagumkan. Dia mempunyai tekad yang begitu kuat. Dan dia begitu masyhur. Dia adalah... Sang Putri Merah yang terkenal itu!
"Ya, kisah-kisah hidupnya memang amat mengesankan. Kurasa dia pantas menjadi seorang ratu. Dia bisa menjadi wanita pertama di Kerajaan Sanggabuana yang menjadi ratu. Namun, sebagaimana kita maklumi bersama, kita tak tahu di mana dia sekarang. Dia tak tentu rimbanya. Nah, ini sebuah keuntungan untukku! Karena dengan mengikuti Pesta Windon tahun ini, aku berpeluang besar mengalahkan Putri Merah itu. Akulah yang akan menjadi ratu pertama di kerajaan ini. Ya, dan nantinya akan banyak buku-buku yang mengukir namaku dengan tinta emas, sebagai ratu pertama! Itulah yang sangat kuidam-idamkan! Sang Putri Merah akan kukalahkan!"
Orang-orang bertepuk tangan gemuruh. Entah benar atau tidak alasan itu, ambisi Jeng Kanthil untuk menjadi ratu pertama itu membuat orang-orang bersemangat dan bergairah mendengarnya.
"Oh ya, aku tahu, untuk Anda para calon raja, aku tahu ambisi apa yang ada di dalam hati Anda semua," ujar Jeng Kanthil tersenyum simpul. "Setelah menjadi raja, apalagi alasan utamanya kalau bukan untuk menambah pasangan. Nah, hati-hati, karena nanti akan semakin banyak anak-anak yang lahir bukan dari pernikahan yang sah. Itu berbahaya bagi kedudukan seorang raja."
Suasana mendadak hening. Orang-orang tampak mematung. Ucapan Jeng Kanthil barusan kedengarannya sudah melanggar batas kesopanan. Namun, melihat gerak-geriknya, Jang Kanthil tampaknya hanya bercanda saja. Maka, satu dua orang mulai bertepuk tangan, dan tepuk tangan itu segera menular. Kembali tepuk tangan bergemuruh dikumandangkan untuk Jeng Kanthil. Kemudian wanita itu mengisyaratkan untuk mulai bernyanyi.
Jeng Kanthil menyanyikan sebuah lagu yang penuh rintihan, penuh kepedihan, tentang seseorang yang terluka hatinya akibat dikhianati oleh pasangannya.
***
Selanjutnya: Bagian 52 - KEKEJAMAN DI ISTANA HINGGILOKA
KAMU SEDANG MEMBACA
HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]
FantasyLasih, anak perempuan berusia sepuluh tahun, diundang ke Istana Hinggiloka oleh Maharaja Mahagraha. Di sana ia diperlakukan istimewa oleh Sang Maharaja, melebihi anak-anak lain yang juga diundang. Maka beredar selentingan Lasih sesungguhnya anak kan...