Lasih beranjak ke pintu tenda.
"Kau mau ke mana, Nak?" tanya Ki Waskita si Kepala Tabib.
"Saya sakit perut, Aki. Saya sangat ingin buang air," sahut anak perempuan itu.
"Mari saya temani."
"Oh, tak usah Aki. Terima kasih. Biar tiga prajurit pengawal saya saja yang melakukan tugasnya."
"Baiklah," kata Ki Waskita mengangguk mengerti.
Langkah berikutnya cukup mudah bagi Lasih untuk mengecoh tiga prajurit pengawalnya. Dengan berpura-pura ingin buang air ia bisa lepas dari pengawasan mereka. Lasih mengambil jalan memutar, menjauhi prajurit-prajurit itu. Ia kabur menuju Istana Hinggiloka. Ya, ada dorongan kuat dalam hati anak perempuan itu untuk kembali ke istana. Dirinya seolah-olah sedang ditunggu oleh seseorang, atau sesuatu. Desakan perasaan yang kuat itulah yang membuatnya nekat untuk meninggalkan perkemahan.
Pandan Selasih berjalan cepat. Tapi geraman lembut dari arah samping membuatnya terperanjat dan berhenti melangkah.
Seekor singa muda tampak berjalan menuju arah yang sama. Jarak mereka hanya beberapa tombak saja.
"Dibal?" ujar Lasih.
Singa itu mengaum pelan. Kemudian tubuhnya bergelombang, lalu malih rupa menjadi Dibal Patigaman.
Lasih kembali berjalan, bahkan agak memepercepat langkahnya.
"Tunggu, Lasih. Kau mau ke mana?" tanya Pangeran dari Kerajaan Jati Gendani itu.
"Bukan urusanmu," sahut Lasih.
"Tentu saja itu urusanku. Kau kan ketua lare winih. Kita semua harus saling melindungi," kata Dibal lagi. "Jadi aku harus tahu apa yang akan kau lakukan."
"Bicaramu berlebihan," kata Lasih.
Dibal tertawa meskipun tak ada yang tampak lucu.
"Kau ketua yang baik, Lasih. Jauh lebih baik dibanding Andhaka yang keras kepala dan mudah marah itu," kata Dibal, sambil berjalan menjajari anak perempuan itu. "Aku mendukung penuh kau sebagai ketua kami. Jadi kuulangi lagi, kau hendak ke mana di malam selarut ini?"
Tiba-tiba langkah Lasih agak limbung dan anak itu nyaris jatuh tersungkur. Beruntung Dibal berhasil menangkap pundaknya sehingga anak perempuan itu hanya jatuh berlutut.
Lasih memegangi kain yang membebat lukanya. Wajahnya meringis.
"Demi bintang yang terang," kata Dibal. "Kau tidak apa-apa? Seharusnya kau tidak meninggalkan tenda, Lasih. Kau belum cukup kuat."
"Tinggalkan saja aku," ujar anak perempuan itu. "Aku bisa pergi sendirian ke benteng Istana Hinggiloka."
"Ke Istana Hinggiloka? Jadi ke sana tujuanmu? Tapi istana itu belum dinyatakana aman. Sebaiknya kau kembali ke perkemahan."
"Jika kau ingin kembali ke perkemahan, silakan pulang sendiri. Lagipula sejak tadi aku juga sedang sendirian."
Dibal tertegun atas kesungguhan hati Pandan Selasih.
"Kalau begitu naiklah ke punggungku. Kau akan lebih cepat tiba di sana tanpa membuang banyak tenaga," kata anak laki-laki berkepala besar itu.
Dibal segera malih rupa lagi menjadi singa muda. Singa itu menyeringai, memperlihatkan gigi-gigi yang tajam. Ia menggeram pelan, memersilakan Pandan Selasih naik.
***
Selanjutnya: Bagian 79 - MENJABAT KEMBALI
KAMU SEDANG MEMBACA
HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]
FantasyLasih, anak perempuan berusia sepuluh tahun, diundang ke Istana Hinggiloka oleh Maharaja Mahagraha. Di sana ia diperlakukan istimewa oleh Sang Maharaja, melebihi anak-anak lain yang juga diundang. Maka beredar selentingan Lasih sesungguhnya anak kan...