Bagian 88 - NAMA YANG ABADI

118 4 3
                                    

Beberapa hari segera berlalu. Selama itu warga Istana Hinggiloka sibuk berbenah, membereskan, dan memperbaiki istana serta lingkungan sekitarnya. Namun segala hal yang telah terjadi masih saja menjadi pembicaraan hangat di antara mereka, sampai berhari-hari lagi sesudahnya.

 Namun segala hal yang telah terjadi masih saja menjadi pembicaraan hangat di antara mereka, sampai berhari-hari lagi sesudahnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pada suatu kesempatan Maharaja Mahagraha dan Permaisuri Batari Prameswari mengadakan jamuan makan malam. Para lare winih diundang dalam acara itu. Tampak sejumlah orang penting hadir pula, seperti Pangeran Arcapada, Panji Pataka, Gadung Lelono, Nyai Kapti, Ki Waskita, serta beberapa orang lainnya. Mereka menikmati makan malam itu sambil sesekali berbicara.

"Bersyukur kepada Yang Mahakuasa, Menteri Kinanthi Maheswari telah melahirkan putranya dengan selamat," kata Maharaja Mahagraha. "Kuucapkan selamat berbahagia padamu, Gadung Lelono."

"Daulat Gusti, terima kasih," sahut Gadung Lelono dengan wajah semringah. Lelaki bercambang tebal itu menambahkan, "Bayi kami laki-laki. Dan sesuai kesepakatan, kami beri nama Radyan Aruna Digdaya."

"Wah, nama yang gagah sekali," kata Maharaja.

Semuanya mengangguk setuju.

"Itu semua berkat bantuan Nyai Sirih," kata Gadung Lelono lagi. "Dia dukun bersalin yang tetap hebat meskipun sudah pensiun."

"Ah, sayang sekali Nyai Sirih tidak ikut hadir di sini," ujar Nyai Kapti. "Saya ingin sekali mengenalnya lebih akrab."

"Dia telah kembali ke Padepokan Perguruan Akik Merah dua hari yang lalu bersama pasukan pendekarnya," Panji Pataka yang menyahut. "Ada banyak hal yang harus diurus di sana, katanya. Betapapun, munculnya kembali pimpinan utama mereka merupakan kejutan besar bagi perguruan itu."

"Hmm... bagi saya hal itu juga sangat mengesankan," ujar Andhaka. "Ternyata Nyai Sirih adalah Dyah Lohita, ya? Yang sudah bertahun-tahun menghilang? Saya masih saja sulit memercayainya."

"Tapi kenyataannya memang benar begitu, Andhaka," sahut Dibal.

"Aku sependapat dengan kau, Nak," kata Ki Waskita, si Kepala Tabib yang berhidung besar itu, pada Andhaka. "Aku juga masih sulit memercayai kenyataan itu. Tapi kudengar hasil Uji Biang dan Kekerabatan, atau UBK, menyatakan bahwa benang-benang renik di tubuh Nyai Sirih atau Dyah Lohita sama persis dengan milik Pandan Selasih. Itu membuktikan bahwa Nyai Sirih adalah induk bagi Pandan Selasih. Itulah sebabnya mereka berdua bisa sangat mirip satu sama lain karena berasal dari bahan yang sama."

"Ah, Pandan Selasih yang malang," kata Laksmi Larasati si hitam manis. "Sayang sekali Lasih seorang pendendam. Ia tak tahan dengan sindiran, sejak dari semula. Hampir saja dia mencelakai Anda, Nyai Kapti. Dan juga Menteri Druwiksa. Dan perbuatannya yang amat kejam terhadap Rahajeng Kanthilsari saya rasa sulit untuk dimaafkan. Bayangkan, wanita pestan itu sampai dirobek dadanya dan dibetot jantungnya oleh makhluk Dindang Patrem atas perintah Lasih! Oh, aku selalu bergidik ngeri jika mengingatnya."

HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang