Bagian 80 - BERUCAP LEWAT PIKIRAN

44 3 0
                                    

Pangeran Arcapada dan Pandan Selasih meneruskan langkah menuju Istana Hinggiloka. Mereka berdiam diri, tidak saling berbicara. Dari sejumlah pertemuan antara mereka berdua, mereka memang selalu saling menghormati. Dan sejak diketahui bahwa Pandan Selasih seorang Jalmatiron, atau manusia buatan, nyaris tak ada perubahan sikap Pangeran Arcapada kepada anak perempuan itu. Hanya saja, Sang Pangeran justru merasa sikap Lasih kini menjadi lebih tegas dari yang sudah-sudah.

"Sebenarnya aku memerlukan kehadiran Mijil di antara kita," kata Pangeran Arcapada akhirnya berbicara.

Pandan Selasih sedikit mengerutkan alis.

"Mijil bisa membuat kita tembus pandang dan menghilang," lanjut Sang Pangeran. "Itu diperlukan, karena aku ingin masuk ke istana tanpa ketahuan."

"Mengapa begitu, Pangeran? Saya rasa jika Pangeran masuk secara terang-terangan pun tak akan ada yang menghalangi," ujar Pandan Selasih.

"Ini berkaitan dengan kepatuhan para peraturan. Kita tak boleh masuk benteng istana sebelum ada pengumuman bahwa istana aman untuk ditempati. Tapi ada sesuatu yang kukhawatirkan sehingga harus ada orang istana yang kuberitahu tentang sesuatu itu."

"Kalau boleh tahu, sesuatu itu apa?" tanya Pandan Selasih hati-hati.

Pangeran Arcapada melepas penutup-kepala bertanduk dua yang dipakainya sejak tadi, lalu menyerahkan pada Pandan Selasih untuk diteliti.

"Oh," kata Lasih pelan. "Penutup-kepala ini terdiri dari rangkaian batu-batu kuning jernih di bagian dalamnya. Ini mengingatkan saya pada... pada mahkota itu, Pangeran. Ya, mahkota yang kelak akan Anda pakai saat menjadi raja Sanggabuana. Mahkota itu juga terdiri dari rangkaian batu-batu kuning jernih seperti ini."

"Tepat sekali. Batu-batu permata manikam selabrani," ujar Pangeran Arcapada. "Aku berpikir, jika benda ini saja bisa digunakan untuk menggembalakan Satwatiron, bagaimana dengan mahkota itu? Tentu lebih dahsyat lagi, karena rangkaian manikam selabrani-nya lebih banyak dan lebih beragam ukurannya. Kau ingat, Lasih? Salah satu tugas lare winih semula adalah menjaga mahkota itu. Namun kemudian tugas itu digantikan oleh prajurit-prajurit Pasukan Khusus Kerajaan Sanggabuana pimpinan Gadung Lelono. Tapi aku tak pernah melupakan tugas awal itu, Lasih. Karena untuk apa kita diperkenalkan dengan mahkota itu jika tidak ada kaitannya dengan kita."

"Hmm, jadi sebetulnya mahkota itu jauh lebih berharga dari yang kita kira?" kata Pandan Selasih lambat-lambat.

"Benar sekali. Karena itulah aku ingin segera menjumpai Ayahanda Maharaja atau Aki Guru, untuk mengetahui lebih banyak tentang mahkota itu. Tak akan kutunda lagi," ujar Sang Pangeran.

"Mungkinkah Ludira Mahalaya mengetahui tentang mahkota itu, Pangeran? Dan salah satu tujuannya menyerang benteng istana adalah karena ingin merebutnya dari kita?"

"Bisa jadi," sahut Pangeran Arcapada. "Ingat bukan, bahwa Nyai Adicara pernah melihat mahkota itu? Lalu dia membelot. Kemungkinan besar ia bergabung dengan Ludira Mahalaya. Maka bisa jadi hal-hal mengenai mahkota itu sudah disampaikan wanita itu pada lelaki itu."

Pandan Selasih mengangguk-angguk.

Akhirnya mereka berdua sampai di ujung luar terowongan Jalur Naga. Sejumlah prajurit penjaga gerbang terowongan tampak kaget.

"Pangeran Arcapada?" ujar salah seorang dari mereka.

"Saya ingin masuk istana, Paman. Tolong buka pintu gerbangnya," kata Sang Pangeran.

"Maaf, Pangeran. Istana belum dinyatakan aman. Masih sedang dalam pemeriksaan. Terpaksa Anda tak boleh masuk."

"Tapi ada hal penting yang harus kubicarakan dengan Maharaja," kata Sang Pangeran lagi. "Tak bisa ditunda lagi."

"Maafkan saya, Pangeran. Saya tidak berani melanggar perintah. Tak boleh ada yang keluar masuk istana hingga ada keputusan lebih lanjut," kata prajurit kukuh. "Hal ini juga demi keselamatan Anda, Pangeran."

"Di luar istana juga sangat berbahaya," sela Pandan Selasih. "Apapun keadaannya, berada di dalam tembok benteng akan lebih aman untuk Pangeran Arcapada."

Si prajurit memandangi Lasih. Ada benarnya juga pendapat anak perempuan itu. Namun perintah untuk melarang siapapun masuk istana juga harus dipatuhi.

Tiba-tiba terdengar suara geraman. Lalu entah dari mana bermunculan serigala-serigala berkaki enam. Makhluk-makhluk itu mendekati pintu gerbang Jalur Naga sambil menggeram, menyeringai, memamerkan gigi-gigi tajamnya.

Para prajurit terkesiap kaget, namun tak lama. Sesaat kemudian, dengan gerakan sigap mereka membuka pintu jeruji, menarik lengan Pangeran Arcapada dan Pandan Selasih untuk masuk ke dalam terowongan Jalur Naga. Para prajurit lalu berjajar bersiaga di dalam pintu gerbang.

Tapi, seolah sambil lalu saja, serigala-serigala itu kemudian menjauh pergi. Mereka meninggalkan mulut terowongan. Untuk beberapa saat suasana hening dan orang-orang saling pandang.

"Kau benar, Putri Merah," kata prajurit penjaga pintu kemudian. "Aku sudah punya alasan kini, untuk membiarkan kalian berdua masuk ke dalam benteng istana. Tapi kami tak akan membiarkan kalian berdua saja. Kalian harus dikawal, paling tidak sampai kalian bertemu dengan orang yang tepat."

"Baiklah," kata Pangeran Arcapada setuju. Wajahnya terlihat masih bingung setelah menyaksikan Satwatiron-Satwatiron yang pergi begitu saja.

Kemudian Pangeran Arcapada dan Pandan Selasih berjalan di depan. Seorang prajurit bersenjata tombak dan tameng mengawal mereka dari belakang.

"Lasih, apakah kau yang telah memanggil serigala-serigala itu?" bisik Pangeran Arcapada.

Pandan Selasih tertegun sekilas, lalu mengangguk.

Pangeran Arcapada malah kaget sendiri. Berarti saat mereka berjalan bersama tadi, ada sejumlah serigala yang mengiringi perjalanan mereka. Serigala-serigala itu lalu muncul atas panggilan Pandan Selasih. Namun tak ada ucapan apa-apa dari mulut anak perempuan itu. Jadi, mestinya ada cara lain untuk memanggil mereka. Mungkin berucap lewat pikiran!

***


Selanjutnya: Bagian 81 - TAK ADA RAHASIA LAGI

HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang